Bab 5
"Wah ternyata masakan kak Rayna enak ya, Ma." Suara Selvi terdengar riang. Dia bahkan mengambil salah satu bantal untuk menumpu kepalanya.
Rayna yang akan keluar kamar seketika menghentikan langkah saat mendengar percakapan ibu dan anak itu, ibu mertua dan adik iparnya. Keduanya tengah asyik berbincang di ruang tengah sambil rebahan menonton televisi.
"Iya, memang enak, Selvi. Pantas saja kakakmu memilih perempuan itu. Ada untungnya juga sih, karena dengan begitu Mama tidak perlu masak lagi. Cukup Rayna saja yang masak di rumah ini," ujar ibunya. "Sekali-sekali lah Mama santai nggak usah kerja di dapur."
"Iya, bener juga sih, Ma. Selvi juga tak perlu bantu beres-beres rumah. Sepertinya kak Rayna itu kampungan ya, Ma? Terlihat dari penampilannya yang udik begitu. Dia pasti tidak akan keberatan kalau harus mengurus rumah sebesar ini."
"Ah, bener kamu, Selvi. Pintar juga kakakmu. Padahal kemarin Mama sangat berharap kakakmu bisa menikah dengan Ghina. Itu lo, kepala cabang Bank tempat kakakmu bekerja."
"Oh, Mbak Ghina?" Mata gadis itu berbinar. "Mbak Ghina juga cantik sih, tapi dia kan wanita karir. Pasti nggak mau ngurus rumah. Ujung-ujungnya Selvi yang capek kalau harus mengurus rumah ini bantu-bantu Mama."
Bibir gadis itu mengerucut, menatap sang ibu dengan pandangan tak suka.
"Sudahlah, Selvi. Namanya juga jodoh. Suka tidak suka, ya harus di terima. Itu sudah pilihan kakakmu," sergah ibunya.
Hampir saja Rayna membatalkan niatnya untuk keluar dari kamar ini, tetapi dia menyadari hari menjelang petang dan dia harus segera memasak untuk makan malam. Rayna melangkah perlahan melintasi ruang tengah.
Kedua wanita berbeda generasi itu terlihat agak kaget saat melihat kehadiran Rayna yang tiba-tiba dan tanpa suara. Namun, sedetik kemudian mereka kembali kepada fokusnya menonton televisi. Sementara itu, Rayna tidak peduli. Dia melanjutkan langkahnya menuju dapur.
*****
"Lah, kamu mau kemana, Rayna?" Ibu mertuanya mengerutkan kening saat melihat penampilan Rayna yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Saat itu mereka sedang sarapan.
"Mau berangkat kerja,, Ma. Hari ini aku mulai masuk kerja. Kemarin hanya mendapat cuti selama empat hari. Hari ini aku masuk shift 1," jelasnya.
"Kamu mau kerja? Ziyad, bagaimana urusannya ini dengan pekerjaan rumah? Mama tidak mau ya, pekerjaan rumah jadi terbengkalai!" Perempuan tua itu menatap anak laki-lakinya yang terlihat acuh tak acuh.
Seulas senyum terukir dari bibir perempuan muda itu. Senyum tipis nan penuh arti.
"Biarkan saja Rayna bekerja, Ma. Lagi pula Rayna sudah berjanji akan tetap menghandle pekerjaan rumah. Mama tidak usah khawatir," sahut Ziyad.
"Benarkah begitu, Rayna? Mama tidak mau ya, pekerjaan kamu jadikan alasan untuk mengabaikan rumah tangga. Tugas seorang istri itu di rumah, Rayna!"
"Benar, Ma. Aku sudah menyiapkan makan siang untuk Mama, Ziyad dan Selvi. Paling nanti tinggal dipanaskan saja. Nasi pun sudah siap di magic jar. Mama tinggal makan saja. Rumah dan seisinya sudah aku bersihkan, sedangkan pakaian nanti sepulang kerja aku mencucinya," tegas Rayna.
Orang-orang tidak perlu tahu alasan yang sebenarnya, kenapa ia terus bekerja. Rayna akan menyimpan rahasia itu , selama Ziyad juga mau menyimpan rahasianya.
Perempuan tua itu mengangguk-angguk. "Baiklah, kalau begitu. Awas saja kalau rumah sampai berantakan. Mama akan meminta kamu berhenti kerja. Paham, kamu?!"
"Paham, Ma," sahut Rayna sembari mengecek ponselnya. Ojek yang dipesannya sudah sampai di halaman rumah. Perempuan muda itu segera bergegas meninggalkan ketiga orang yang tengah sarapan itu. Dia tidak perduli perutnya yang baru terisi teh hangat.
Ziyad punya aturan, dia baru bisa makan setelah semua orang di rumah ini makan, alias makan dari sisa makan orang serumah. Wah, kalau menunggu mereka kelar sarapan, bisa-bisa ia terlambat kerja.
"Tujuan sesuai aplikasi ya, Mbak," ujar sang driver. Rayna mengangguk sembari menerima helm dan memakainya.
Lima belas menit kemudian Rayna sampai gedung Al-Fatih Mart. Waktu menunjukkan pukul 6.55. Lima menit lagi toko ini buka.
"Cie, pengantin baru hari ini masuk kerja ...." Suara seseorang wanita membuatnya terkejut.
"Aya!" Senyum Rayna terkembang. Dia memeluk rekan sejawatnya itu.
"Rayna, gimana rasanya jadi pengantin?" goda Aya, gadis berambut sebahu yang bertahun-tahun menjadi sahabat Rayna selama bekerja di Al-Fatih Mart.
"Apaan sih? Ihhh ...." Pipi gadis itu bersemu merah.
"Gimana rasanya? Enak nggak?" bisik Soraya.
"Enak?" Rayna tertawa keras. Bahunya sampai dan membuat Soraya tercengang. Gadis itu menatap sahabatnya dalam-dalam.
"Nggak usah ngomong begituan ah. Ntar kalau kamu sudah nikah, kamu pasti akan merasakannya juga," Kata-katanya penuh ambigu.
Mereka bersama-sama masuk ke dalam ruangan saat pintu depan toko sudah terbuka.
Rayna bekerja sebagai kasir sementara Soraya berada di posisi pramuniaga. Mereka adalah team solid yang selalu memiliki jadwal shift yang sama.
Al-Fatih Mart adalah minimarket jaringan. Perusahaan ritel yang memiliki puluhan ribu toko di seluruh Indonesia dan kini masih terus berkembang. Bahkan di toko Rayna juga menyediakan layanan coffee shop untuk pelanggan.
"Permisi teman-teman." Tiba-tiba seorang wanita cantik muncul di hadapan mereka.
"Ya, Mbak Tiara," ucap Soraya dan Rayna berbarengan.
"Belakangan ini di beberapa toko banyak terjadi kecurangan. Oleh karena itu tim dari pusat akan melakukan inspeksi mendadak, jadi kita tidak tahu kapan dan bagaimana cara mereka melakukannya. Untuk itu, kalian semua saya harapkan untuk bekerja dengan baik dan tentu saja jujur dan teliti. Mengerti?" jelasnya.
"Ngerti, Mbak," tanggap Soraya.
"Baiklah. Kalau begitu silakan kembali bekerja ya." Perempuan berwajah cantik yang menjabat sebagai chief of store itu melenggang pergi meninggalkan mereka menuju ruang kerjanya.
"Bagaimana ini, Aya?" Mendadak Rayna merasa cemas, karena bagaimanapun posisinya berkaitan erat dengan keluar masuk barang dan uang.
"Tidak gimana-gimana, Rayna. Selama ini toko kita tidak ada kecurangan. Semuanya bersih."
"Aku hanya merasa sedikit cemas, Aya."
"Kalau kamu ada masalah, kami pasti bantu kok. Kita kan satu tim?" hibur Soraya mengingatkan.
"Tapi Mbak Tiara ...." Rayna menggelengkan kepala. Dia kenal betul dengan kepala tokonya itu, karena ia lebih dulu bekerja di sini sebelum Soraya.
"Ah, tenanglah. Tidak usah dipikirkan tentang Mbak Tiara. Kayak kamu tidak tahu saja bagaimana dia dan orangnya seperti apa!" Soraya menempelkan jari telunjuknya ke bibir Rayna untuk sesaat kemudian segera berjalan pelan melewati rak demi rak, memulai pekerjaannya.
*****
Rayna merasa jantungnya hampir berhenti berdetak. Siang ini tim dari pusat sudah sampai di toko. Mereka memeriksa beberapa hal terkait dengan keluar masuk uang dan barang.
Seorang lelaki dewasa nan tampan tengah duduk di kursi yang biasa ia tempati. Dia asyik menatap data-data yang tersaji di layar laptop yang biasa Rayna gunakan untuk transaksi. Wajahnya nampak serius, sementara jemarinya terampil mengklik mouse.
"Selesai!" serunya sembari mengacungkan jempol. "Kalian semua adalah tim yang sangat amanah. Selamat ya.."
Lelaki itu bangkit dari kursi dan menyuruh Rayna kembali menempati tempat duduknya.
"Tidak perlu takut. Kami nggak akan menggigit kok. Kalau kalian memang bisa dipercaya, kami semua akan sangat mengapresiasi." Sebuah tepukan lembut mendarat di bahunya, membuat Rayna seketika merasakan gelenyar di dadanya.
Lelaki itu masih berdiri disampingnya dengan posisi yang amat dekat, seolah mengerti dengan kegelisahan Rayna. Dia baru menyadari satu hal. Mungkin wanita muda di sampingnya ini memiliki tingkat kegugupan yang berlebih. Tanpa sadar, ia kembali mengusap pundak wanita itu, menepuknya pelan.
Rayna memejamkan mata, membiarkan lelaki itu terus menyentuh bahunya, seolah terhipnotis. Entah kenapa hatinya terasa hangat. Gadis itu baru tersadar saat aroma tubuh lelaki itu menghilang dari indera penciumannya.
Saat dia membuka mata, lelaki itu memang benar-benar tak lagi di dekatnya. Dari tempat duduknya dia melihat pintu ruang kerja Tiara yang terbuka. Rayna tersenyum tipis.
Bab 139 "Jodoh itu ibarat cerminan diri. Di detik ini aku baru sadar, aku memang tidak pantas untukmu. Kamu memang pantas untuk bersanding dengan Ravin," gumam Ziyad. Matanya tak lepas dari layar ponsel yang menayangkan adegan demi adegan kegiatan Rayna bersama Al-Fatih Mart Foundation. Perempuan muda itu nampak begitu tulus menyalami para orang tua di salah satu panti jompo yang ia kunjungi. Meskipun tak pernah ada lagi kontak dengan Rayna, tetapi lelaki itu senantiasa mengikuti perkembangan Rayna melalui akun media sosial Al-Fatih Mart yang ia follow. Ya, hanya itu jalan satu-satunya untuk mengetahui perkembangan dari perempuan yang bahkan sampai kini masih tetap dia cintai. Semua akses sudah tertutup. Rayna sudah menikah dengan Ravin, bahkan kini memiliki anak, Akalanka Mirza Zahair Narendra. Tak ada gunanya ia terus berharap. Mencintai dalam diam. Itu yang ia lakukan sekarang. Ziyad tersenyum kecut. Biarlah semua orang menganggapnya bodoh. Tapi hanya itu yang tersisa dari sosok
Bab 138 "Selamat, Tuan. Anaknya laki-laki, sehat, tak kurang suatu apapun dan ganteng seperti daddynya," canda dokter Viona. Dia sendiri yang menyerahkan langsung bayi mungil di dalam bedongan itu kepada Ravin. "Terima kasih, Dok." Ini jelas sebuah keajaiban bagi Ravin. Bisa menggendong bayi yang merupakan darah dagingnya sendiri merupakan mimpinya sejak lama dan kini menjadi kenyataan. Ravin melangkah menghampiri sang istri yang terbaring lemah di ranjang. Wanita itu mengulas senyum termanis. "Ini putra kita, Sayang," ujarnya sembari duduk di kursi dekat ranjang. Matanya menatap wajah mungil itu lekat-lekat. "Tentu saja. Terima kasih sudah menyambut kehadirannya." "Apa yang kau katakan, Sayang?!" Refleks tangannya terulur menutup mulut Rayna. "Kehadirannya sudah lama kutunggu dan hari ini aku sangat bahagia karena sekarang aku memiliki seorang pewaris. Pewaris Al-Fatih Mart yang sekarang tumbuh dan berkembang semakin besar, melebarkan sayap sampai ke negeri tetangga," ujarnya
Bab 137 "Bukan, Sayang. Lagi pula aku sudah memutuskan untuk tidak lagi memantau mereka. Dean dan Roy akan ditarik sebagai pengawal pribadiku, menggantikan Adam dan Damian yang telah resmi menjadi pengawal pribadimu mulai hari ini." "Kenapa bisa begitu?" Rayna tersentak. "Karena kita sudah punya kehidupan masing-masing. Ada banyak hal yang lebih penting untuk kita perhatikan, Sayang. Jadi mulai hari ini stop! Ziyad dan keluarganya kita keluarkan dari tema pembicaraan kita sehari-hari. Are you oke?" tegas Ravin. Tangannya terulur menangkup wajah perempuan itu, mendongakkannya, lalu mendekatkan wajahnya sendiri, mengecup bibir ranum itu dengan lembut. Rayna menggeliat. Tubuhnya menghangat seketika. "Berjanjilah untuk move on dari cinta dan suami pertamamu itu, Sayang. Seperti aku juga yang move on dari istri pertamaku," lirih lelaki itu. Rayna menatap pemilik wajah dengan rahang yang tegas itu dalam-dalam. Ada kesungguhan dan ketulusan di sana. Ravin benar. Setelah selesai soal kem
Bab 136Perempuan muda itu menoleh. "Kak Rayna!" Suaranya bergetar.Rayna menubruk gadis itu, memeluknya dengan erat, meskipun beberapa detik kemudian menyadari saat mereka berpelukan, ada yang mengganjal. Bukan cuma perutnya, tetapi juga perut Selvi."Selvi, kamu sedang hamil?" Tanpa sadar tangan perempuan itu mengusap perut besar milik Selvi.Gadis itu mengangguk. "Seperti yang Kakak lihat," sahutnya getir"Kamu sudah menikah?" Pertanyaan itu terasa begitu konyol. Otaknya berusaha keras mengingat-ingat. Dia dan Ravin memang memantau Ziyad dan Selvi, meskipun tentu tidak bisa 100%. Sampai sejauh ini suaminya tidak pernah menceritakan soal Selvi. Setiap kali ditanya, Ravin selalu bilang Selvi dalam keadaan baik-baik saja. Tetapi nyatanya....Laila berinisiatif untuk membawa Selvi, Rayna dan Vania masuk ke rumahnya yang bersebelahan dengan bangunan itu."Ini anak Angga?" Rayna kembali mengusap perut besar Selvi dengan lembut saat mereka sudah duduk di sofa."Iya, Kak." Butir-butir beni
Bab 135"Terima kasih, Sayang. Kamu adalah istriku dan ratuku. Kamu tidak perlu merubah apapun dari dirimu. Semua yang ada pada dirimu sudah sempurna. Aku juga tidak menuntutmu terlibat penuh dalam kegiatan di perusahaan, kalau memang kamu tidak menginginkannya. Cukuplah kamu mendampingiku, setia padaku, karena aku benci dengan yang namanya penghianatan." Ravin menghela nafas berat.Antara Bella dan Rayna sungguh berbeda dan Ravin menerima Rayna mutlak apa adanya. Dia hanya menginginkan kesetiaan, setelah apa yang Bella torehkan kepadanya. Buat apa memiliki istri cantik, cerdas, berpendidikan tinggi, tetapi punya kebiasaan memelihara pria pemuas hasrat? Ini sangat menjijikan!Keduanya menikmati waktu beberapa saat di taman sebelum akhirnya bangkit. Ravin memeluk pinggang istrinya posesif. Namun baru beberapa langkah keduanya mengayunkan kaki, mendadak ponsel Ravin berdering"Panggilan video dari Axel," cicit Rayna. Sepasang suami istri itu berpandangan."Angkat saja, Hubby. Siapa tahu
Bab 134 "Istrimu?!" Perempuan yang hanya mengenakan dress di atas lutut tanpa lengan itu mengibaskan rambutnya. "Apakah aku tidak salah dengar? Apakah ini benar-benar istrimu?" Dia menunjuk Rayna dengan ekspresi keheranan. Matanya tak lepas mengamati penampilan Rayna yang mengenakan gamis dengan jilbab yang menutupi kepala sampai tonjolan di dadanya. Memang, pakaian yang dikenakan oleh Rayna berharga cukup mahal dan model kekinian. Namun di mata Chintya, gaya berpakaian Rayna seperti orang udik, kampungan! "Lho, memangnya kenapa, Chintya?" Ravin menatap Chintya dengan pandangan tak suka. "Ah, tidak apa-apa. Aku hanya heran dengan seleramu. Kamu terlihat sangat berubah, Ravin. Aku pikir setelah kamu menceraikan Bella, kamu akan mencari wanita yang jauh lebih baik dari mantan istrimu itu." Chintya mencoba menutupi keterkejutannya dengan tertawa kecil. "Dan Rayna adalah wanita yang jauh lebih baik dari Bella," ujar Ravin sinis. Sekalian saja dia menumpahkan isi hatinya, mampung bert