Share

Kedatangan ibu mertua

Bab 4

Bukan cuma memenuhi seisi dapur, ternyata bau masakan Rayna sampai ke ruang tamu, menyadarkan Ziyad yang tengah melamun di sofa. Lelaki itu bangkit dari tempat duduk saat dia merasakan perutnya keroncongan. Terakhir dia hanya sarapan di hotel dan itupun tak membuat perut kenyang. Maklum, porsi sarapan di hotel tidak sama dengan porsi sarapan orang kebanyakan, seperti mereka yang terbiasa sarapan dengan nasi komplit.

Ziyad terus membawa kakinya menuju dapur. Dia ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh Rayna.

Pemandangan yang pertama kali dilihatnya adalah sesosok perempuan yang tengah mengaduk masakan di panci. Penampilan Rayna sama seperti sebelumnya, saat mereka bertengkar di kamar barusan. Rupanya gadis itu belum berganti pakaian. Rambut sepundaknya diikat dengan karet gelang, memperlihatkan leher jenjangnya yang mulus.

Ziyad meneguk salivanya saat melihat keindahan itu, tapi hanya sesaat. Dia segera teringat apa yang sudah dapatnya dari gadis itu, membuatnya merasa mual sendiri.

"Dia cuma perempuan murahan. Keindahan tubuhnya sudah disentuh orang lain sebelum aku menyentuhnya." Ziyad mengingatkan dirinya sendiri agar tidak terlena dalam pesona gadis itu.

"Masak apa, Rayna?" tegur Ziyad.

Refleks Rayna menoleh. "Telur geprek dan sayur lodeh tahu tempe, Ziyad," sahutnya.

Lelaki itu mengangguk. Dia menarik kursi dan duduk menghadap meja makan persis seperti seorang majikan yang minta di layani.

"Siapkan makan untukku. Aku ingin makan!" perintahnya.

"Tunggu sebentar lagi.  Masakannya hampir matang." Rayna mengecilkan api kompor. Sayur lodeh tahu tempenya beberapa menit lagi akan matang sempurna.

Rayna mengambil piring saji dan menaruh telur geprek dan meletakkannya di hadapan Ziyad.

"Buat apa kamu mengambil dua buah piring?" tegurnya saat melihat perempuan itu mengambil dua buah piring dan menaruhnya di meja makan.

"Tugasmu adalah melayaniku, bukan makan bersamaku! Ambilkan nasi dan sayur lodehnya juga, Rayna. Cepat!" Suara Ziyad meninggi. Dia benar-benar merasa lapar, apalagi saat melihat santapan lezat di atas meja makan.

Rayna menggelengkan kepala. Hatinya mencelos, tapi dengan segera ia bisa menyabarkan dan menguasai diri. 

"Baiklah," ucap Rayna. Dia segera menata hidangan, tak lupa menuangkan air minum dan menyiapkan serbet dan tissue ke hadapan laki-laki itu.

"Makanlah," ujarnya. Perempuan itu memilih mencuci tangan dan peralatan bekas masaknya barusan.

Baru saja ia menyelesaikan basuhan terakhirnya, tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi.

"Sana ke depan!  Coba lihat siapa yang datang," perintah Ziyad. Lelaki itu asyik mengunyah makanannya.

Rayna bergegas melangkah keluar. Dia melihat dari balik pintu, dua orang perempuan berbeda generasi tengah berdiri di teras.

"Mama," tegur Rayna setelah membuka pintu. Dia mengenali perempuan tua itu sebagai ibu mertuanya

Rayna mengulurkan tangan, meraih tangan ibu mertuanya dan menciumnya dengan takzim.

"Silakan masuk, Ma, Selvi. Mari kubantu membawakan barang-barang Mama." Rayna tersenyum manis.

Dia mengambil tas besar dari tangan perempuan tua itu, membawanya ke dalam dan meletakkannya di samping sofa di ruang tamu.

"Mama mau langsung istirahat atau mau makan siang? Kebetulan Rayna sudah masak," tawarnya. Dia menatap pasangan ibu dan anak gadis itu.

"Makan siang?" Gadis bernama Selvi itu tampak berbinar. "Wah... Kita makan yuk, Ma. Aku ingin tahu gimana rasanya masakan Kak Rayna."

"Benarkah?" Rayna tersenyum lebar. "Kalau begitu, mari kita ke dapur!"

Kedua perempuan berbeda generasi itu tidak jadi duduk di sofa, melainkan langsung mengikuti langkah Rayna menuju ruang dapur. Dari meja makan, nampak Ziyad melambaikan tangan.

"Sini, Ma. Tumben Mama sama Selvi langsung kemari? Aku kira tadi besok," ucap Ziyad.

"Tidak, Ziyad. Mama sudah tak sabar ingin tinggal di rumahmu. Pengap rasanya kalau harus menumpang di rumah bude mu. Di sana banyak orang," keluh ibunya. Dia menarik kursi dan duduk di atasnya.

Ibu dan Selvi menginap sementara di rumah saudara mereka selama beberapa hari menjelang dan sesudah resepsi pernikahan Ziyad dengan Rayna. Rencananya mereka memang akan tinggal di rumah Ziyad, mengingat Selvi yang akan melanjutkan kuliah di kota ini.

"Maklumlah, Ma. Namanya juga keluarga besar. Anak bude Darsinah kan memang banyak. Maklum saja," sahut Ziyad menghibur.

Rayna menyodorkan piring untuk Selvi dan ibu mertuanya. "Silahkan makan, Mama, Selvi. Maaf ya, cuma seadanya. Aku tidak tahu kalau Mama dan Selvi akan datang lebih awal. Makanya aku cuma masak untuk kami berdua saja."

"Tak apa, Rayna. Ini bukan salahmu." ujar ibu mertuanya. "Tapi untuk nanti malam, masaklah lebih banyak."

"Tentu." Rayna tersenyum manis.

Dia agak sedikit lebih lega karena mertuanya tidak mengeluarkan kata-kata kasar, ya setidaknya untuk hari ini. Entahlah kalau besok, lusa dan hari-hari berikutnya. Rayna tidak bisa menjamin. Apalagi kalau Ziyad mengadu kepada ibunya tentang kekurangannya.

Bukankah anak itu adalah hasil didikan dari orang tua, terutama ibu? Ziyad adalah lelaki yang sangat mendewakan sebuah keperawanan di malam pertama. Bukankah tidak mustahil sang Ibu pun memiliki cara pandang yang serupa?

******

Setelah mengantar ibu mertua dan adik iparnya ke kamarnya masing-masing untuk beristirahat, Rayna kembali ke dapur. Dia bermaksud untuk menuntaskan makan siangnya yang sempat tertunda.

Perempuan itu hanya menggelengkan kepala menyaksikan piring kotor bekas makan yang berserakan dan makanan yang habis tak bersisa, kecuali secuil telur geprek dan sayur lodeh pun hanya tinggal kuahnya saja.

Rayna merasakan perutnya sudah berdemo minta diisi.

"Apa boleh buat. Aku harus makan makanan sisa. Sudah jadi resiko kena giliran makan paling akhir," keluhnya. Rayna mengambil nasi, lantas menumpahkan sisa sayur lodeh dan telur geprek ke piringnya.

Kalau menurutkan rasa di hati, rasanya dia tidak selera makan. Namun, berpikir untuk bertahan hidup dengan situasi dan kondisi pernikahannya juga memerlukan tenaga dan energi. Dia harus tetap makan. Dia tidak mau sampai jatuh sakit, karena tidak akan ada seorangpun yang  akan mau merawatnya.

Sepanjang makan, dia terus berpikir bagaimana caranya membagi waktu antara di rumah dan minimarket.

Semula dia berpikir untuk resign dari pekerjaannya setelah menikah. Akan tetapi kalau dia resign, ia tidak akan memiliki pemasukan. Padahal dia adalah tulang punggung keluarga. Dia perlu mengirim uang untuk ibunya di kampung.

Setelah selesai makan, Rayna segera membersihkan meja makan, mengangkat piring-piring kotor dan mencucinya sekalian. Dapur pun sudah nampak rapi. Perempuan itu menghela napas lega. Dia segera kembali ke kamar.

"Ini alas untuk kamu tidur!" ucap Ziyad sembari melemparkan sebuah kasur lipat kepada Rayna saat gadis itu baru saja masuk ke dalam kamar.

Perempuan itu mengangguk, lantas menggelar kasur di sudut ruangan

"Ziyad, mulai besok aku akan kembali masuk kerja," beritahunya.

"Ya, itu terserah kamu, asalkan urusan rumah jangan terbengkalai, karena kamu sudah kubayar untuk itu," tegasnya dingin.

"Aku mengerti," sahut Rayna.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ana Johana
Tak guna ni laki...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status