"Di mana dia?" gumam Aji sambil celingukan, mencari sosok Rani dalam kerumunan di lobi Mall. Bahkan lobi mulai sepi karena akan tutup sebentar lagi.
"Bukannya ucapanku sudah sangat tegas, kalau dia harus menunggu di sini." Ardian memandangi nomor kontak atas nama Rani. Ingin sekali ia menghubungi nomor tersebut. Tapi pasti akan meninggalkan jejak di sana dan akan dicurigai Heru atau orang suruhannya. Yang kemudian posisi mereka akan terlacak.
"Mana bisa menghubunginya kalau ponselnya saja ditinggal di kompleks." Ardian mengomel. Kesal. Seolah buntu. Bagaimana jika mereka tak bertemu Rani, dan wanita itu malah tertangkap oleh Heru dalam pelariannya.
"Coba saja kita punya uang, pasti kita bisa melawan Heru dengan bantuan mafia juga. Ck. Keren sekali hidup dia," keluh Ardian meratapi kemiskinan hidupnya. Hingga merasa sulit untuk bergerak, mau pun bersaing dengan orang lain yang punya banyak uang.
"Bahkan setelah membunuh orang dan menguntit kita pun bisa le
"Kalau begitu kita bisa melacak keberadaan Rani dan dua idiot itu sekaligus, dari nomor ponsel mereka juga." Heru menyahut.Pengacara itu memiliki ide yang mengejutkan. Sesuatu yang tak terpikirkan oleh Heru, hingga ia membuang waktu terlalu lama."Huum. Anda benar. Lakukan tanpa ancaman dan memberi peringatan pada mereka agar tak sempat kabur. Ingat waktu kita hanya 24 jam," sambung sang pengacara mengingatkan sekaligus memberi semangat pada pria itu."Benar juga." Heru kembali membenarkan. Ia segera menghubungi anak buahnya untuk melacak nomor Ardian dan Aji dalam waktu bersamaan."Halo, aku akan mengirim nomor mereka. Jangan lupa beritahu posisi mereka padaku! Oya, kemungkinan besar istriku ada bersama mereka juga!" perintah Heru. Dia ingat kali terakhir melihat Rani bersama Ardian di parkiran hotel. Juga tetangganya yang suka bergosip, mengatakan Rani pergi dengan pria yang dia yakini adalah Aji.Di ujung telepon, mereka seperti mendapat secerc
Baru saja tangan lengan gadis itu lepas, Aris menariknya kembali. Menatapnya lebih dalam. Lalu kembali, mengirimkan kehangatan lebih lama dari sebelumnya. Laila benar-benar telah membuatnya gila sekarang.Ia tak rela gadisnya itu menemui pria lain, bahkan jika nanti mata pria bejat itu hanya memandangnya.Tak ada yang bisa Laila lakukan selain pasrah. Meski ia merasa sesak dan kesulitan bernapas. Mana bisa menolak keromantisan yang datang dari pria yang dicintainya?"Ehm, maaf," ucapnya tersengal. Aris yang sebenarnya belum merasa puas, terpaksa melepaskan Laila. Takut gadis itu muak atas perilakunya.Laila yang dadanya juga naik turun karena menahan napas sebelumnya, mengangguk. Ia menunduk malu sebentar. Namun, melihat wajah Aris yang tampaknya gelisah, dan merasa bersalah atas perlakuannya tadi, Laila memberanikan diri mendekatkan kepala dan membalas ciuman suaminya.Mata Aris melebar. Ia lalu tersenyum kala gadis itu telah selesai menarik kepal
"Apa yang terjadi, Mas?" tanya Rani yang panik.Mendengar obrolan Rani dan Ardian, Aji segera menghentikan mobilnya."Apa terjadi sesuatu?" Wanita di samping Aji mengulang pertanyaan. Sejak tadi hatinya terus dipenuhi was-was."Ya," sahut Aji tanpa menoleh pada Rani. Ia memperhatikan orang-orang di depan sana. Mereka malambai ke semua mobil yang lewat.Mata Aji melebar kala menangkap beberapa wajah di depan sana. "Bukankah mereka yang mengajarku dan Ardian tadi?""Ya, Mas?""Gawat kita harus pergi!" Aji segera menyalakan mobil dan berputar arah. Masuk ke gang untuk mengambil jalan lain."Ada apa, Mas?" Rani sangat ingin jawaban."Ran, buang ponselku ke luar!" seru Aji pada Rani."Hah? Buang?""Mereka melacak ponselku. Sebelumnya panggil Ardian dan beritahu hal yang sama. Oya, jangan lupa menghapus semua chat dan daftar panggilan di sana." Aji mengingatkan.Ia tak berani membuka kaca jendela dan meneriaki Ar
Mata Heru sontak membuka, kala mendengar suara seseorang berteriak. Mengerjap, mencari kesadaran dengan berusaha mengingat apa yang terjadi sebelum ia tidur.Setelah Sadar sedang ada di mana dan ingat apa yang dilakukan sebelum ini, pria itu mencari sosok yang harusnya ada di sampingnya."Ke mana pengacara itu?" gumamnya sembari melepas sabuk pengaman yang melingkar di tubuhnya.Sebelum ke luar, Heru menyempatkan diri melihat pada arloji yang melingkar di tangan kiri."Sial, aku ketiduran lebih dari 30 menit," umpatnya kesal.Ia kemudian merogoh ponsel di hapenya. Melihat percapakan dengan Laila. Ada satu balasan dari gadis itu.[Aku sudah sampai.]Pria itu pun segera keluar mobil. Mencari Laila, dan pengacara sekali gus."Apa Laila sudah pulang? Lalu di mana pria itu?" tanya Heru celingukan mencari sosok kedua orang tersebut."Suara apa tadi? Siapa yang berteriak malam-malam begini? Apa aku cuma mimpi?" Pria itu kemudia
"Apa salahku?" Laila membulatkan mata."Kamu yang sudah membangunkan macan tidur. Jangan salahkan aku jika sesuatu terjadi di dalam sana." Aris mengucap santai dan pelan. Melirik sebentar ke arah Laila untuk melihat ekspresinya.Aris geleng-geleng. Senang. Laila tampak speechless mendengar ucapannya.Setelah sampai dan memarkirkan mobil kesayangan, Aris mulai menyiapkan barang-barang yang sudah disiapkan di ransel.Pemuda itu segera membuka pintu dan keluar. Namun, merasa ada yang salah hingga ia perlu diam sebentar, mengamati seseorang harusnya sudah mengikutinya.Saat berbalik, ia masih melihat Laila duduk manis di dalam mobil. Aris mendesah. Ada apa dengan gadis cantik itu?Tak membuang waktu ia pun mendekat dan mengetuk pintu mobil. Laila pun tersentak, dan menoleh ke arahnya."Tidak turun?" tanya Aris menautkan dua alisnya. Tampaknya Laila benar-benar takut kalau dia akan menerkamnya di dalam sana.Tak ada jawaban. Setelah
"Argh! Sial! Ada apa denganmu dan gadis itu?!" teriak ayah tiri Laila.Heru merasa butuh penjelasan dari pengacara, tapi penjelasannya terkesan berbelit."Kamu ini padahal pengacara, tapi kenapa ucapanmu sulit kupahami?" keluh Heru. "Mana tampilanmu lebih parah dari pada pengemis!""Ehm. Ya ... ini karena aku kesakitan!" kilahnya. Pengacara itu terus mencuci wajahnya di bawah air kran yang mengalir dengan posisi berjongkok. Untung saja di sekitar gedung itu ada kran-kran yang bisa menyala dan mengalirkan air."Apa mulutmu juga sakit?" tanya Heru sembari mencoba menghubungi nomor Laila yang tadi sempat tak bisa dihubungi. Heru merasa muak pada pengacara itu, yang kentara berusaha menutupi kejadian sebenarnya.Panggilan pada Laila tersambung. Namun, tidak juga diangkat."Sial, kenapa tak diangkat? Dia menantang ku rupanya." Heru bertanya kesal.Ia lalu beralih pada sang pengacara. "Sebenarnya apa yang kamu lakukan padanya. Ini gara-gara
Barangkali ini yang dinamakan setelah hujan badai, ada kalanya pelangi hadir dalam kehidupan seseorang. Dan ia yakin pelangi dalam hidup Laila adalah Aris.❤❤❤Sekarang ini, satu-satunya cara memancing Rani, Aji dan Ardian sekaligus adalah dengan menahan Laila di sisinya.Belum lagi pria itu menyimpan ponselnya, tiba-tiba ponsel itu bergetar. Saat melihatnya, mata Heru. Buru-buru ia mengangkat panggilan paling ditunggu-tunggunya."Laila." Heru menaikkan satu sudut bibir. Merasa puas karena pada akhirnya gadis itu menghubunginya."Sudah kuduga, ia tak bisa mengabaikan ancamanku. Tinggal menyebut nama Bundanya, dia akan terbirit-birit mencariku." Pria itu menoleh pada pengacara, menyombongkan kehebatannya bisa memaksa Laila mengikuti semua kemauannya.Pengacara gelagapan karena itu. Karena sebelumnya sudah membocorkan rencana Heru pada gadis belia tersebut."Kenapa sikapmu jadi aneh begitu. Ck." Heru mendecak sembari mengklik icon berwa
Gadis itu sangat takut pada pikirannya. Bukan menutup kemungkinan, Aris yang sangat mengininya, tiba-tiba berbalik sangat jijik dan membencinya kalau sampai dia hamil anak Heru.❤️❤️❤️"Jadi ... apa masalah kita sudah selesai sekarang?" tanya Aris sambil menyenggol bahu Laila."Ya?" Mata Laila melebar. Ekspresinya seketika berubah."Bukannya tadi aku bilang akan bersabar sampai masalah kita selesai?" Aris menggoda Laila dengan mengingatkan kalimat yang dibisikkan sebelum ini."Kalau udah selesai kita mau ... apa?" Laila berpura-pura polos dengan ekspresi yang tengah berpikir keras."Hem?" Pemuda itu menarik kepala dan menautkan kedua alis, penuh tanya pada Laila. "Gak tau?"Laila membulatkan mata sembari menggeleng."Hem? Bener?" tanya Aris lagi. "Hem? Hem? Hem?" Pria itu menggerakkan kepala, terus menggoda.Hal itu tentu saja membuat Laila tertawa."Jadi gimana?" Aris kini bicara dengan serius. "Aku dah bayar hot