Share

BAB 10 KERESAHAN DUA INSAN

#POV FIRDA

Kelopak mata ini serasa berat kubuka seakan ada beban yang menindih diatasnya. Lamat-lamat ada sinar putih yang masuk di netra mata ini. 

Begitu mata terbuka seribu tanya dalam pikiran yang terus mengembara. Atap putih ini, jendela besar warna hijau toska yang beda dengan kamarku dirumah.  Selang infus yang menggantung diatasku  serta tangan yang begitu sulit kugerakkan.

"Dimanakah  aku, disurgakah ini? Kenapa sepi sekali?"

"Kenapa badanku terasa sakit seperti ini, mengapa ada infus yang menggantung di atasku. Apa yang terjadi padaku ?" 

Batinku terus bertanya.

"Kau sudah sadar  Miana sayang ?" 

Aku menoleh perlahan pada suara yang menanyaiku.

"Mas Bion?" pekikku kaget melihat lelaki berseragam dokter itu berdiri disamping ranjang.

"Ia aku, Sayang," ujar mas Bion sambil terus menatapku.

Aku merasa risih dipanggil sayang seperti itu seakan-akan aku masih pujaan hatinya saja. Aku khawatir kalau ada yang salah paham mengira aku ada hubungan dengan dokter Bion.

"Apa yang terjadi denganku Mas?" tanyaku padanya.

"Akulah yang mesti bertanya padamu Miana, aku menemukanmu terbaring diujung lorong di gotong beramai-ramai oleh security yang patroli. Beruntung ada perawat yang lewat memberitahuku. Awalnya aku pun tak tahu jika pasien itu dirimu ," papar mas Bion.

Aku terdiam sejenak mengembalikan alam pikirku yang belum sepenuhnya kembali pada kesadaranku.

"Mas, jangan kau panggil aku dengan Miana," protesku pada lelaki berseragam dokter itu.

Bion Adhitama Raharja hanya tersenyum menatap Firda Ayuni Miana. Dihatinya terus memuji kecantikan wanita yang pernah dia kecewakan karena harus berbakti kepada orang tua.

"Mas, tolong lepaskan infusku aku sudah sehat aku mau pulang, aku kangen sama anak-anakku. Aku khawatir mereka bingung mencariku," ujarku memelas.

"Kau masih sama seperti yang dulu Miana, saat menginginkan sesuatu begitu kekeh. Jangan pulang sekarang ini menjelang dinihari, lagian kau barusan sadar, kondisimu badanmu masih belum stabil," ucap dokter Bion.

"Sudah berapa jam aku disini Mas?" tanyaku pada Mas Bion.

Firda berusaha memiringkan tubuhnya menghadap dokter Bion lelaki yang pernah jadi sandaran hidupnya itu. Saat beringsut badannya agak kesulitan dengan sigap dokter Bion mengangkat tubuh Firda.

Tatapan mata mereka beradu, hembusan nafas dokter Bion menyalurkan kehangatan di wajah Firda Ayuni Miana. Semburat merah pipinya tak bisa ditutupi, urat-urat cinta itu sedikit tersambung. 

"Mas, turunkan aku. Nanti ada yang salah paham dengan kita," tukasku 

"Siapa, suamimu?" tanya dokter Bion.

"Bukan," jawabku singkat.

"Lalu siapa?" tanya mas Bion.

"Istrimu Mas, jangan sampai dia salah mengerti dengan keberadaanku. Wanita akan merasa sakit jika di duakan. Cintailah istrimu dengan benar, bertanggung jawablah hingga akhir. Dia adalah pilihan terbaikmu," ucapku panjang lebar padanya.

Dokter Bion menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan seakan ingin melepaskan beban di rongga dadanya.

"Miana, bolehkah Mas Bion bertanya?"

"Tanya apa Mas ?"

"Suamimukah yang membuatmu seperti ini? Bahagiakah hidupmu ?" tanya lelaki yang masih gagah  didepanku.

Aku seperti tersedak daging berkilo-kilo mendengar pertanyaan yang tak ku duga itu. Aku harus bisa menutupi semua hal yang terjadi padaku. Aku sunggingkan senyum untuk menutupi semuanya.

"Nggak lah Mas, masa ada suami menghajar istrinya hingga terluka begini, aku sampai detik ini sangat bahagia dengan keluargaku," ujarku dengan seriang mungkin.

"Jika suamimu baik, jika keluargamu bahagia mestinya mereka berada disini menunggumu yang sedang sakit, hampir dua hari lho nggak ada yang mengabarkan kamu ke rumah sakit ini," ucapnya panjang lebar.

Aku terdiam pura-pura tidak mendengar perkataannya.

"Aku mengantuk Mas Dion, badanku lemas. Aku pingin tidur supaya besok pagi aku bisa pulang kekeluargaku,"  jawabku

Pura-pura kupejamkan mata ini di hadapannya, lalu kutarik selimut dengan tangan kiri keatas menutupi seluruh tubuhku. Aku berharap besok pagi kondisi tubuhku pulih dengan cepat dan segera bugar.

"Baiklah jika kau tak mau menjawab aku tak mau memaksamu, istirahatlah aku akan menjagamu malam ini," ujar dokter Bion sambil menarik sofa untuk di buat rebahan.

*

Di rumah bu Zahra.

"Kau harus bertanggung jawab menemukan menantu kesayanganku itu, kemana istrimu setelah kau perlakukan tidak manusiawi . Ini sudah hampir dua hari Firda tidak pulang," hardik bu Zahra pada anaknya dengan kesal.

Lelaki itu tidak menjawab hardikan ibunya, dia tertunduk lesu, sejuta sesal tergambar diraut wajahnya.

Gunarso Hadi Prayoga nampak kusut baru tiba dirumah ibunya langsung disemprot semburan panas oleh wanita yang melahirkannya itu. Hampir dua hari dia mencari istrinya kesemua tempat yang diperkirakan didatangi Firda tapi tidak ketemu. 

"Ayah, kemana mama? Kok tidak pulang-pulang. Ayah jahatin ya kok sampai nenek marah sama Ayah," tanya Randi anak bungsunya yang masih TK A itu ceplas ceplos.

Gunarso menatap anak bungsunya dengan penuh rasa bersalah akibat kesalahannya jadi semuanya berantakan. Lelaki kecil itu diangkatnya penuh kasih dan didukkan dalam pangkuannya, kemudian dia peluk dengan erat seakan ingi mengatakan maaf pada anaknya itu.

"Hari ini sama Ayah dulu ya di rumah nenek," ucap Gunarso pada anak bungsunya.

"Nggak mau, Ayah bau kecut. Ayah jorok," Randi mengendus bahu ayahnya yang hampir dua hari tak tersentuh air itu.

"Aku kangen sama mama Yah? Carikan mamaku Yah!" rengek Randi.

Sambil menggoyang-nggoyangkan tangan  Gunarso, Randi terus merajuk.

"Ayo Randi sini, tidur lagi sama Nenek. Lihat tuh hari masih gelap. Supaya besok kalau ketemu Mama adik Randi tambah ganteng dan Mama tambah cinta," bujuk bu Zahra. 

Wanita itu langsung mengangkat Randi dari pangkuan ayahnya dengan kasar kemudian membawanya ke kamar dan meninggalkan Gunarso yang masih terduduk di sofa sedang meratapi hidupnya. 

Kepulan asap rokok tampak menggulung-nggulung di ruang tengah sesekali desahan nafas panjang mengiringinya. Pikiran Gunarso terus berkecamuk memikirkan dimana Firda. Ponsel Firda tak bisa di hubungi, kemana gerangan Firda. Lamat-lamat terdengar suara ibunya menyanyikan lagu nina bobo untuk Randi yang merindukan mamanya itu.

Lelaki yang dua hari lalu dengan gagah berlagak seperti suami idaman sekarang benar-benar tak bernyali. 

Zana Karunia istri sirinya itu dia tinggalkan begitu saja dirumah sakit karena dapat telpon ibunya kalau Firda belum pulang hingga malam hari. 

Aina anaknya masih dirumah sakit sementara Firda belum ditemukan. Dia benar-benar merasa lelah jiwanya hingga dia terkulai lemas diatas sofa  terbang ke alam mimpi karena kelelahan.

*

POV AUTHOR

Suara adzan subuh bertalu-talu di setiap musholla dan masjid sekitar rumah Bu Zahra. Wanita itu bergegas mengambil air wudlu dan menunaikan sholat. 

Hawa dingin yang menusuk tulang tak menyurutkan niatnya untuk berjamaah di Musholla dekat rumah. Dalam sujud khusuknya  dia selipkan doa untuk menantu kesayangannya agar terjaga keselamatan serta dilindungi dari segala hal yang jahat dimanapun dia berada.

Bulir-bulir bening merembes ke sajadahnya itu memohon pertolongan agar rumah tangga anak semata wayangnya itu diselamatkan. 

Setelah puas mengadu pada sang kholiq bu   Zahra bergegas pulang kerumahnya langsung kedapur membuatkan sarapan untuk para cucunya itu.

"Gunarso Bangunlah ! Segera mandi sana kemudian sholat subuh, mintalah pertolongan pada Alloh," gugah bu Zahra pada Gunarso yang masih terlentang di sofa itu.

Gunarso langsung bangkit dan melenggang masuk kamar mandi tanpa membantah sepatah katapun  ibunya itu karena dia tahu bahwa wanita yang bijak itu masih marah padanya.

Tetesan air yang membasahi tubuh dan kepala  Gunarso seakan mengembalikan seluruh tenaganya yang hilang dua hari ini. 

Dia pijat-pijat kaki yang terasa bengkak itu dibawah shower air hangat. Lelaki itu sedikit merasakan kenyamanan dan kesegaran. Tiba-tiba dia teringat kalau hari ini Aina harus pulang.

Dia bergegas berganti pakaian dalam kamarnya, kemudian mencari dompet coklat kesayangannya itu. Gunarso harus membayar kekurangan biaya rumah sakit senilai lima juta rupiah. 

"Ting," 

Notifikasi uang masuk berbunyi di ponselnya. Gunarso bergegas mencari pesan masuk dalam ponselnya tersebut karena hari ini memang hari gajian di perusahaanya. Dia bersyukur pas butuh uang pas gajian datang pikirnya. 

Gunarso bertekat,"Satu persatu masalah dalam hidupku akan kuselesaikan dengan bijak."

Saat membuka  notifikasi tertangkap dalam netra matanya di layar ponsel membikin sesak dadanya yang tadi mulai longgar. Dia seakan tak percaya melihat nilai nominal dalam M-banking itu. Lelaki itu terduduk lemas di pinggiran ranjang dalam kamarnya itu. Belum hilang rasa kagetnya, notifikasi dalam layar ponsel muncul kembali.

"Ting!"

 Sekilas Gunarso menangkap tulisan yang masih berjalan itu mengenai laporan kinerjanya.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status