Richelle berusaha untuk menutupi rasa gemetar di tubuhnya. Dia tidak ingin wartawan menilai keterpaksaan dirinya untuk berdiri disamping Daimiro. Tidak, ini bukan karena dia ketakutan. Dia hanya bingung, mengapa Daimiro bertindak sejauh ini? Waktu berlalu, mereka kembali ke rumah ketika sore. Richella langsung menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Matanya melirik pemandangan langit-langit kamarnya yang terasa sendu. Apa yang salah? Dia gelisah dengan tidak menentu “Kenapa tidak mandi?” Daimiro masuk ke dalam kamar. Ia melepaskan dasinya, dan membuat Richelle tersentak karenanya. Ia mengganti posisinya duduk, menekuk lututnya menyatu dengan dadanya dan menatap Daimiro dengan sayu. Fikirannya hanya dipenuhi dengan pertanyaan yang tidak menentu. Meskipun begitu, mulutnya tidak bisa mengatakan apapun. “Kenapa?” Daimiro menyingsing lengan kemejanya hingga siku. Sorot matanya nampu melelehkan hati Richella. Di depan mereka, kalangan pembisnis, rekan kerja, dan media. Daimiro seperti dew
Rose sedang memulihkan diri di rumah karena patah tulang ringan. Itu hanya seminggu setelah masa-masa indah, karena Sean terstimulasi oleh hasil akhir ujian tengah semesternya dan mengantarnya ke sekolah. Satu-satunya keuntungan adalah dia memiliki sopir untuk menjemput dan mengantarnya selama cedera. Rose belum beradaptasi dengan kehidupan awal. Dia tidur grogi untuk dua kelas. Dalam keadaan linglung, dia samar-samar merasakan seseorang di depan matanya. Ketika dia membuka matanya, ruang kelas kosong. Hanya Matthew dari Kelas 5 yang berdiri di depannya dan menatapnya dengan cemberut. Rose ingat bahwa Matthew dan Andrew menekannya seperti bukit hari itu, hampir sekarat, dan merasakan lengannya sakit lagi. Dia mendongak dan saling menatap miring. "Mengapa kamu di sini?" Matthew memandang rendah Rose, yang cuek dan frustrasi. Senang melihatnya tanpa jalan memutar, tetapi tidak mungkin. Siapa yang membiarkan dirinya memuk
Jerman,Hamburg Kabut menutupi daun pepohonan yang menelan malam gelap. “Arghh! Sakit! Jangan dipaksa!” suara serak Richella, menelan gerangan lebih dalam dari pria dengan tubuh mengkilap dibalut keringat. Ia menyisir kasar leher angsa putih milik Richelle, nafas berat yang menggebu. “Berikan hanya untukku!” baritone yang berbisik melewati daun telinganya. Mata Richelle terpejam menanggung perih daripada rasa nikmat yang entah seperti apa rupanya. Gairah malam yang mendayu dengan sakit yang menjalar di tulang belakangnya. Lantas, dimana rasa nikmat bercinta? *** Pupilnya terbuka perlahan, menyusul dengan bulu mata yang naik dan turun mengikuti irama kedipan. Urat wajahnya meringis, dan aroma keringat sisa semalam masih terasa. Richella menyapu ruangan kamar dengan netranya. “Azam?” bibir madunya menyebut nama pria yang menggelora tadi malam. Sedemikian kuatnya efek minuman tequila yang terpaksa ia minum, sebagai bukti cintanya untuk pria itu. Padahal, selama satu tahun hubungan m
Seorang pria berusia lima puluh tahun, ada bekas luka di alisnya. Dia duduk dibalik meja hitam, sembari menatap keluar jendela dari lantai paling atas kantornya. Ia sudah tidak bisa merokok, harus menahan diri karena peringatan keras dari dokternya. “Permisi pak?” seorang pria jangkung, dengan stelan serba hitam masuk ke dalam ruangan itu. “Bagaimana?” “Sudah dipastikan pak!” Beberapa uban sudah terselip di balik rambut hitamnya. Uang memberikan segala baginya, dia pun mendapatkan perawatan yang sangat baik dari dokter pilihan. Dialah tuan Varo, Direktur rumah sakit. Kegigihannya diakui oleh pesaingnya, hingga ia bisa mendirikan rumah sakit terbaik di kota. “Hah! Sepertinya aku kurang tegas mendidik putraku! Dia mungkin mengira aku tidak bisa melakukan apapun di usiaku ini ya, ha ha ha” Varo tertawa dengan berwibawa Matanya kembali terangkat “Dimana gadis itu sekarang?” “Dia masih bekerja di bagian dapur! Ada hal penting pak yang harus anda tau!” ucap Galang, pria yang sudah be
Sebelum Richella mendengar boarding announcement . Bandara menjadi tempat yang akan menyakitkan untuk ia kenang. Ia berdiri di depan pria yang kini setengah mati ia cintai. Jemarinya menyentuh perutnya, mempertahankan bayi yang juga ia harapkan lahir dalam keadaan selamat. “Jangan menangis! Aku akan menyusulmu! Cobalah untuk kuat selama ada disana, mengerti?” Azam menyentuh pipi lembut Richell. Mereka terlihat seperti pasangan romantic, bagi siapapun yang melirik ke arah mereka. Richelle terpukul mendengar kalimat Azam. Sudah cukup ia membuang air mata selama ini. Sekarang di depannya ada masa depan yang menanti. “Berjanjilah kau akan datang kesana, sayang!” Richelle memeluk Azam begitu erat, terbenam dalam aroma yang tidak ingin dia lepaskan. “Iya! Aku akan menyusulmu! Seperti rencana kita!” Azam berucap Kelegaan hati, itulah yang Richelle pertahankan. Ia tidak peduli bagaimana waktu bisa berjalan begitu lambat. Di ujung nanti, dia juga akan berjalan berdampingan bersama Azam di
“Aduhh!” Richelle mengeluh, perlahan matanya terbuka. Alat monitor yang berbunyi, aroma ruangan yang begitu kental. Jendela kaca geser terbuka lebar, menunjukkan awan cerah berbaur dengan langit biru. “Di-Dimana ini?” Dia memaksa diri untuk duduk, hingga rasa ngilu diseluruh tubuhnya terasa. Tangan yang pegal, kaki yang perih, dan perut nya yang terasa sangat ngilu. “Ya ampun! Tu-tubuhku!” dia meringis. Matanya teralihkan ke arah pintu geser bercorak bunga di depannya. Seseorang membuka pintu ruangan itu. Pria dengan T-shirt hitam masuk dan mereka langsung saling beradu tatap. “Kau sudah bangun rupanya!” baritone pria itu terdengar asing untuk Richell. “S-siapa kau?” Richelle teringat dengan serangan yang dia terima. Meskipun tubuhnya menahan rasa perih bertubi-tubi, dia mencoba untuk mundur padahal tidak banyak pergerakkan yang bisa dia lakukan di atas tempat tidur, dan alat medis melekat di tubuhnya. “Kenapa? Aku bukan salah satu dari mereka! Tidak perlu takut padaku!” “Kau
“A-aku berakhir seperti ini?” Richelle bergumam. Dia memandang pantulan seluruh tubuhnya yang mengenakkan gaun pengantin di depan cermin panjang. Ruangan tunggu untuk pengantin wanita sebelum masuk ke altar pernikahan.Untuk permukaannya saja, Richelle sudah mengetahui siapa Daimaro. Founder perusahaan mobil yang bahkan mendapatkan penghargaan tahun lalu berskala internasional, dialah putra sang walikota di tempat asalnya.Lalu kenapa dari sekian banyak wanita, Daimaro memilih dirinya? Ini perihal balas budi di masa lalu yang Daimaro sudah katakan kepada Richelle, meskipun Richelle masih belum tau pasti tentang itu.“Nona Richella! Sudah waktunya!” seorang wanita dengan gaun putih, dan rambut yang ditata sanggul formal datang menghampirinya. Dia Mona, sekretaris yang sudah bekerja dengan Daimaro enam tahun lebih. Boleh dibilang, keluarganya sudah melayani keluarga besar Daimaro sejak dulunya.“A-apa? Sekarang?” Richelle tersentakDaimaro hanya memberikan waktu satu malam untuk mendeng
“Apa dia sudah tidur?” Daimiro duduk di mini bar sayap kanan dari rumahnya. Tidak ada orang tua, dan rumah ini begitu besar untuk menampung dirinya. Meskipun dia mempekerjakan beberapa pegawai di rumah ini, tetap saja dia merasa sepi.“Setelah minum obat, dia sudah tidur! Apa kau tidak terlalu menekannya, tuan Dai?” Mona menuangkan sampanye ke gelas berukuran kecil, dia harus memastikan atasannya itu tidak minum terlalu banyak. Besok ada rapat mengenai barang import yang sempat tertunda, salah satu pegawai menggelapkan uang dan itu menjadi masalah yang masih cukup mudah diatasi oleh Daimaro.“Kalau aku tidak bersikap keras padanya, dia akan hanyut dengan mentalnya dan menjadi gadis lemah! Sudah cukup aku mendengar kehidupannya buruk tentangnya”“Dia, gadis yang malang!”“Hmmm, aku akan membuatnya menyadari perang yang sebenarnya!”“Kenapa tidak berencana untuk mencintainya saja, tuan?”“Mencintainya? Aku tidak tertarik, Mona! Aku hanya bertanggung jawab sampai balas dendamnya terlepas