Jam menunjukkan pukul tiga sore. Elodie masih bersembunyi di dalam perpustakaan, ia tidak berani keluar kelas sebelum Rafael dan teman-temannya meninggalkan sekolah. Elodie yang baru saja mengerjakan beberapa tugas-tugas hingga pulang paling akhir. Gadis itu menyergah napasnya panjang dan menahan napas saat mendengar suara tawa Rafael dan teman-temannya di luar sana. "Ya Tuhan? Kenapa mereka tidak cepat pergi?" lirih Elodie dengan wajah waspada. Ia terduduk di bawah pintu perpustakaan sekolah dan diam menahan pintu agar terlihat seperti dikunci dari dalam. Elodie membuka tasnya dan ia membaca sebuah pesan masuk di ponselnya. Pesan itu dari Rafael yang terus mengirimkan pesan-pesan menakutkan pada Elodie."Bagaimana, Jay? Kau ditolak juga oleh Elodie?" Suara Rafael terdengar di luar. "Heem. Dia memang sangat cantik, susah sekali didapatkan!" Suara Jay terdengar diikuti tawa anak-anak lainnya. "Kau sendiri bagaimana, Raf? Katanya kau bilang kau akan mendapatkan Elodie. Mana buktin
Hari sudah gelap, Elodie duduk di kursi yang berada di depan meja belajarnya. Ia menekuk kedua lututnya dan terdiam menatap lampu belajar bercahaya kuning di hadapannya. Sudah tiga kali ia menghubungi Kai tapi panggilannya tidak dijawab oleh Kai. Entah ke mana laki-laki itu? "Sayang..." Suara Giselle membuka pintu membuat Elodie menoleh cepat. Gadis itu tersenyum tipis menatap sang Mama. "Mama," lirihnya. Giselle berjalan perlahan dengan sedikit terpincang-pincang. Elodie beranjak dari duduknya saat itu juga ketika melihat Mamanya berjalan tanpa menggunakan tongkat. Gadis itu menutup mulutnya dengan kedua mata melebar. "Mama ... Mama sudah bisa berjalan?!" pekiknya kaget sambil menutup mulut. Giselle mengangguk dan tersenyum manis. "Iya, Sayang. Mama sudah bisa berjalan sedikit-sedikit. Minggu depan Mama akan ke sana lagi, Mama akan melakukan pengobatan lagi ke Krasterberg." Mendengar hal itu, Elodie mengangguk dengan penuh antusias. Ia memeluk Giselle dengan sangat erat dan
Kai dan Elodie menunggu kedatangan Kal yang menuju ke rumah sakit siang ini. Sampai tak berselang lama, Kal pun tiba dengan mobil hitam milik Gerald. Melihat sosok laki-laki dewasa itu turun dari dalam mobil, senyuman manis langsung tercetak di bibir Elodie. Gadis itu melambaikan tangannya. "Paman...!" Elodie berlari ke arah Kal dan langsung memeluknya. Kal tertawa, laki-laki itu mengusap lembut pucuk kepala Elodie. "Nona Elodie ... ya ampun, berapa hari kita tidak bertemu, hm?" Kal menatapnya gemas. "Sudah berhari-hari, Paman. Aku sangat merindukan Mama dan Papa," ujar gadis itu. Dari arah teras rumah sakit, Kai menatap mereka berdua. Kai tidak berpikir yang aneh-aneh dengan pemandangan di depannya kini. Laki-laki itu berjalan mendekati mereka berdua hingga Kal menatapnya lekat. "Terima kasih sudah menjaga Elodie," ucapnya dengan tulus. "Sama-sama. Sampaikan salamku pada Om Gerald, Paman," ucap Kai. Kal mengangguk. Laki-laki berbalut jas hitam itu menoleh pada Elodie. "Mar
"Jadi kau yang memasak ini semua, hm?" Kai tersenyum manis menatap Elodie yang duduk di hadapannya. Gadis cantik itu menganggukkan kepalanya dengan wajah cantik berseri-seri. "Iya. Mama yang mengajariku dan Mama juga bilang makanan apa saja yang Kakak sukai. Jadi ... sekarang Elodie tahu," ujar gadis itu tersenyum manis hingga lesung pipinya tampak jelas. "Aku juga akan belajar memasak, supaya Kakak tidak perlu repot-repot memasak untukku. Aku saja yang memasak untuk Kakak suatu saat nanti." Kening Kai mengerut sambil menghentikan kunyahannya dan tersenyum lembut. "Suatu saat nanti?" lirihnya bertanya. "Kapan itu?" Elodie sontak terkejut, gadis itu mengerjapkan kedua matanya dan kikuk. "Emmm ... I-itu—""Nanti, kalau sudah menjadi istriku, hm?" sahut Kai sambil tertunduk memakan makanan kesukaannya. Elodie tidak menyahuti lagi. Ia tertunduk dengan wajah memerah malu. Kai hanya tersenyum melihat ekspresi malu-malu Elodie. Diam-diam, Kai mulai memiliki kebiasaan yang membuatnya
Keesokan harinya, Elodie masih berada di kediaman Amara. Sejak gadis itu bangun tidur, ia tidak mendapati Kai di rumah. Amara bilang kalau Kai pergi pagi-pagi sekali dan terburu-buru karena ada pasiennya yang harus melakukan operasi mendadak. Mendengar hal itu, Elodie pun paham bagaimana Kai dan pekerjaannya. Kini, Giselle berada di dapur, ia menemani Amara yang tengah memasak. "Elodie boleh makan seafood?" tanya Amara melirik gadis itu.Elodie menoleh dan gadis itu menggeleng. "Maaf, Ma. Aku tidak bisa memakan seafood. Nanti alergiku kambuh, aku bisa pingsan dan sesak napas." "Hah? Serius?" Amara menoleh sambil terkejut-kejut. Elodie mengangguk. "Iya, Ma. Aku seperti Mamaku, kami sama-sama alergi terhadap udang." "Ya ampun, Sayang ... Kemarin sore saat berbelanja Mama terlanjur membeli udang," ujar Amara. "Tapi tidak apa-apa, Elodie makan dengan sup daging sapi buatan Mama saja, ya..." "Iya, Ma." Elodie tersenyum manis. "Kalau Kak Kai? Apa nanti siang Kakak akan pulang?" "Sep
Panggilan sayang yang Kai lontarkan membuat Elodie tercengang. Sudah dua kali ia dipanggil sayang oleh laki-laki itu. Elodie tersipu, ia memeluk boneka beruang yang Kai belikan dan gadis itu meletakkan kembali buket bunga itu di atas meja. "Kakak mau tidur di mana malam ini?" tanya Elodie menatapnya. Kai tersenyum tipis. "Di kamar sebelah saja. Kau tidurlah di sini," jawab laki-laki itu. Elodie mengerjapkan kedua matanya dan memperhatikan Kai yang kini meletakkan jas putihnya di atas sofa. Laki-laki itu berdiri di depan meja rias melepas arloji yang ia pakai. Melihat pemandangan ini, Elodie teringat saat ia masih kecil. Dulu Mamanya sangat sibuk saat Papanya pulang kerja. Bertanya sudah makan atau belum? Bagaimana seharian ini bekerja? Dan masih banyak lagi. Elodie tergerak untuk bertanya meskipun ia ragu dan tidak percaya diri. "Kak," panggilnya pelan. "Hm?" Kai bergumam, laki-laki itu menoleh ke belakang padanya. "Emm ... Kakak sudah makan malam?" tanyanya. Kai berdehem pe