"Satu malam denganmu tak akan cukup untukku. Aku ingin menikmati lebih banyak malam lagi denganmu, Giselle Marjorie." Situasi yang pelik membuat Giselle Marjorie membutuhkan banyak uang untuk pengobatan putri kecilnya yang menderita penyakit keras di usia tiga tahun. Tak punya siapapun lagi, wanita itu memberanikan diri meminjam uang pada atasannya di kantor, padahal ia baru beberapa minggu bekerja di perusahaan itu. Namun, Giselle dikejutkan dengan fakta bahwa bosnya ternyata adalah Gerald Gilbert—mantan suami dan sekaligus Papa kandung anaknya. Laki-laki itu sangat membencinya karena kesalahpahaman di masa lalu, yang membuat Gerald berusaha membalaskan dendam butanya pada Giselle. Gerald bersedia memberi pinjaman dengan sebuah penawaran gila, yaitu tidur bersama kapanpun Gerald ingin! Apakah Giselle akan menerimanya begitu saja?
View More"Nyonya, nyawa putri anda bisa tidak tertolong..."
Tubuh Giselle Marjorie menegang seketika. Sepasang matanya berkaca-kaca mendengar apa yang dikatakan oleh dokter.
"Tolong berikan yang terbaik untuk anak saya, dok. Saya mohon..." pinta Giselle, suaranya bergetar menahan tangis.
Sambil menghindari tatapan sayu Giselle, dokter itu mengangkat stetoskopnya, lantas menarik nafas panjang.
"Maaf, Nyonya, kami tidak bisa bertindak lebih jauh sebelum tunggakan dilunasi," ucap sang dokter.
Giselle menarik jas dokter tersebut seraya berlutut, "Saya akan berusaha melunasi semua biaya pengobatannya, saya berjanji!"
Dokter itu tampak kelabakan. Ia membantu Giselle untuk berdiri dengan susah payah, lalu meminta maaf karena tidak bisa melakukan tindakan apapun saat ini.
Giselle tertunduk dengan bahu terkulai di lorong rumah sakit begitu dokter pamit pergi. Air matanya berdesakan di pelupuk mata mengiringi kepedihan di hatinya.
Biaya pengobatan yang menunggak itu hampir menyentuh lima ratus juta. Dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?
Elodie—putri kecilnya yang masih berusia tiga tahun—mengidap penyakit hepatitis sejak lahir. Giselle-lah yang membesarkan anaknya seorang diri, berjuang mati-matian untuk bertahan hidup dan juga memperjuangkan nyawa putri kecilnya.
Ia sudah berpisah dengan suaminya tiga tahun lalu. Lebih tepatnya saat Elodie masih dalam kandungan.
Saat itu suaminya mengalami kecelakaan dan koma. Giselle dipaksa oleh mertuanya untuk bercerai dan pergi dari hidup mereka.
Giselle menghela napas berat, menatap Elodie yang terbaring pucat dan tampak kurus kering. Air mata terus menetes membasahi pipinya saat menggenggam tangan mungil putrinya.
Giselle tidak tahu harus meminjam uang ke mana lagi. Ia tidak memiliki siapapun selain ibu tiri yang sama sekali tidak peduli padanya.
"Tunggu," lirihnya, teringat sesuatu. "Apa aku meminjam uang pada kantor saja?"
Giselle menggigit bibir bawahnya. Tapi ia bahkan belum genap satu bulan bekerja di sana. Rasanya tak terlalu benar apabila ia langsung mengajukan pinjaman.
Namun, itulah satu-satunya jalan. Giselle berusaha meneguhkan hati dan mengelus lembut pipi Elodie dengan sayang.
"Tunggu Mama ya, Sayang. Mama pasti akan membawa uang untuk biaya pengobatan Elodie." Giselle mengecup kening putri kecilnya, lalu bergegas pergi.
Sambil berjalan di lorong rumah sakit, Giselle menghubungi kepala staf dan memberi tahu maksud dan tujuannya.
Tak berapa lama, ia tiba di sebuah gedung pencakar langit di tengah kota. Giselle segera menemui kepala staf yang telah menunggunya. Sebelumnya, Giselle sudah meminta izin cuti hari ini. Tetapi karena keperluan yang mendesak, ia kembali datang ke kantornya.
"Selamat pagi, Bu," sapa Giselle pada atasannya.
Wanita dengan balutan blazer abu-abu itu menoleh cepat dan berjalan mendekati Giselle yang berdiri di dekat pintu.
"Giselle, aku sudah menyampaikan permintaan kepada manajemen. Kau diminta datang ke ruangan CEO di lantai lima sekarang juga."
Giselle tampak bingung. Mengapa ia diarahkan ke ruang CEO alih-alih divisi keuangan?
Namun, karena kepala staf memintanya segera pergi, Giselle pun hanya bisa patuh.
"Baik, Bu. Terima kasih banyak, saya akan segera ke sana."
Segera Giselle berjalan cepat menuju sebuah lift. Detak jantungnya berpacu, untuk pertama kalinya, seorang karyawan rendahan sepertinya akan bertemu dengan pemilik perusahaan Royal Group, perusahaan terbesar di kota Luinz.
Saat pintu lift terbuka, Giselle tiba di sebuah lorong sepi dan hanya ada beberapa ruangan di sana. Wanita itu melihat dengan jelas ruangan CEO di depan sana.
Giselle meremas jemari kedua tangannya dengan gugup. Batin Giselle berkecamuk saat tangannya mengetuk pintu.
“Masuk!” sahut suara bariton dari dalam yang semakin membuatnya gelisah.
Giselle memutar gagang pintu ruangan itu, lalu berjalan perlahan dan menatap ke arah meja kerja CEO, seorang laki-laki duduk di sana membelakangi Giselle.
"Selamat pagi, Pak. Maaf menyita waktunya sebentar," ucap Giselle menyapa dengan sopan.
Hening, tidak ada jawaban sejenak dari bossnya itu. Giselle menunggu dengan perasaan tak menentu.
"Giselle Marjorie."
Suara bariton pria yang tegas dan pelan, membuat Giselle tersentak pelan dan menegang di tempat.
Suara itu ... Giselle sangat mengenalinya!
Kursi hitam itu kini berputar. Tampak sosok laki-laki tampan dengan balutan tuxedo navy yang kini menatap lekat ke arah Giselle dengan wajah dingin dan tatapan matanya yang tajam.
Giselle ternganga melihat sosok laki-laki di depannya. Detak jantungnya berpacu hebat.
Iris biru mata indah Giselle bergetar. "G-Gerald," lirihnya hampir tak bersuara.
Dia adalah Gerald Gilbert, mantan suami yang Giselle tinggalkan tiga tahun yang lalu.
Pria itu tersenyum miring melihat reaksi Giselle. "Jadi karyawan baru yang ingin bertemu denganku dan meminjam uang itu adalah kau ... mantan istriku?"
Giselle tidak menjawab. Ia tertunduk, meremas rok selututnya dengan gelisah.
Bagaimana mungkin ia bertemu dengan Gerald di sini? Mengapa ia tidak tahu bahwa bosnya adalah mantan suaminya sendiri?!
Namun, Giselle sudah tidak bisa mundur lagi. Nyawa anaknya sedang dipertaruhkan.
Giselle menelan ludah susah payah, lalu berkata dengan suara tercekat, "Sa-saya ingin meminta bantuan Pak Gerald."
Pak Gerald ... panggilan itu membuat Gerald mengetatkan rahangnya. Rautnya tampak mengeras melihat Giselle. Wanita yang meninggalkannya saat koma, menceraikannya secara sepihak, lalu tiba-tiba muncul dengan wajah sedih dan mengemis meminta pertolongannya!
Gerald lantas mendekati Giselle yang berdiri menundukkan kepalanya.
"Bagaimana bila aku tidak berbelas kasih padamu, Giselle?" tanyanya dengan suara dingin. "Bukankah dulu kau meninggalkanku begitu saja dalam keadaan koma?"
Sontak, Giselle langsung mengangkat wajahnya. Jantungnya berdegup kencang menatap wajah dingin milik Gerald.
"Ma-maafkan saya di masa itu, Pak Gerald," ujar Giselle, berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. "Tapi saya benar-benar membutuhkan uang sekarang."
Laki-laki itu tersenyum sinis, kilatan licik terpancar dari kedua matanya. Seolah melihat wanita yang pernah menyakitinya kini memohon-mohon padanya adalah sesuatu yang menyenangkan.
"Hanya lima ratus juta?" ucap pria itu dengan nada cemooh.
Giselle mengangguk pelan. "Saya akan segera membayarnya kembali, Pak. Saya tidak keberatan jika gaji saya dipotong setiap bulannya. Saya akan melakukan apapun jika Pak Gerald bersedia membantu saya."
Gerald tertawa remeh mendengarnya, lalu kembali duduk di kursi kebesarannya, sambil menatap Giselle dengan penuh perhitungan.
"Kau akan melakukan apapun?" tanya laki-laki itu dengan seringai licik.
Giselle menganggukkan kepala meskipun tubuhnya kini sudah gemetar.
"Ya, saya akan melakukan apapun yang Anda inginkan," jawab Giselle, air mata menggenang di pelupuk matanya.
Ekspresi Gerald tidak berubah. Air mata wanita itu hanya membuatnya semakin muak!
"Bekerja di sini selamanya pun belum tentu bisa melunasi uang itu, kau perlu cara lain untuk melunasi uang itu padaku," katanya.
Kedua mata indah milik Giselle mengerjap pelan. "La-lalu dengan cara apa saya harus melunasinya?"
Seringai tipis di sudut bibir Gerald membuat Giselle gentar.
"Tidur denganku."
Matahari sudah berada di ujung barat. Cahaya kuning jingga terasa hangat bersinar masuk ke dalam celah jendela kaca kamar rawat inap Giselle. Wanita cantik dengan luka-luka di sekujur tubuhnya itu tampak membuka kedua matanya perlahan-lahan. Iris birunya mengedar di dalam ruangan kamar inapnya. Detak jantungnya berpacu, jemari tangannya meremas selimut dengan napas naik turun. Ia tidak lagi tidur di atas lantai kayu di gubuk gelap, tumpukan jerami, tikus dan serangga yang menemaninya. Tempat yang ia rasakan kini sangat hangat, nyaman, dan tenang. 'Aku ada di mana?' batinnya dengan penuh rasa takut. 'A-apa aku benar-benar masih hidup? Aku tidak lagi di dalam gubuk itu lagi 'kan?' Air mata berkabut di kedua mata Giselle. Hingga ia menatap ke arah jendela kamar dan cahaya matahari yang terang menyinari wajahnya. Suara kicauan burung di luar seolah berbicara kalau Giselle saat ini sudah selamat. Dalam diam ia merasakan sekujur tubuhnya terasa kaku dan kaki kirinya sangat sakit. Gag
Kabar Giselle sudah ditemukan sudah diterima oleh Keluarga Martin. Mereka benar-benar merasa lega, meskipun tidak tahu bagaimana kondisi Giselle saat ini.Di kediaman mereka, kini ada Sergio yang ingin menjemput Elodie. Namun sejak tadi Sergio di sana, ia tidak melihat Elodie sama sekali. "Ya ampun, Sergio ... jadi Giselle hendak dibakar oleh wanita jahat itu?" Amara menutup mulutnya dengan tatapan tak percaya. "Benar, Nyonya. Tapi, Nyonya Giselle berhasil kabur dan pergi bersembunyi di dalam hutan," jelas Sergio dengan wajah sedihnya. Martin menyergah napasnya panjang. "Johan semalam menghubungiku, dia bilang penjahatnya sudah tertangkap, dia mengatakan kalau Giselle sudah tiada karena gubuk tempat Giselle disekap telah dibakar. Aku dan istriku sangat sedih, kami menangisi Elodie yang tertidur. Tidak tega kalau dia bangun apa yang harus kami jelaskan." "Syukurlah kalau Giselle baik-baik saja," jawab Amara. Sergio hanya terserah tipis. Ia tidak mengatakan bagaimana kondisi Gisell
Pukul lima petang, Gerald sampai di rumah sakit kota Lasster. Sepanjang perjalanan, Giselle sempat terbangun dan mual-mual meskipun tidak memuntahkan apapun sebelum wanita itu tidak sadarkan diri. Sesampainya di rumah sakit, para dokter segera menangani Giselle di sebuah ruangan khusus. Di sana, Gerald masih ditemani oleh Dean dan Sergio. Tampak Gerald mondar-mandir di depan ruangan pemeriksaan. "Sudah dua jam, dan matahari juga sudah bersinar, tapi dokter belum juga keluar," ucap Gerald dengan suara cemasnya, ia menatap ke dalam pintu kaca buram di depannya. Dean mendekat dan menepuk pundak Gerald. "Giselle akan baik-baik saja, Rald. Percayalah..." Gerald terdiam dan mengangguk dengan kedua matanya yang sembab. "Ya, istriku pasti baik-baik saja." Di sana, Sergio duduk di bangku rumah sakit. Ia sibuk dengan ponselnya.Sergio yang mengontrol beberapa orang di luar seperti Stefan, Hendre, dan Reiner untuk setiap tugas masing-masing.Dean mengembuskan napasnya pelan. "Pemuda yang d
Suara rintihan kecil terdengar dari bibir Giselle. Sekujur tubuhnya basah kuyup dan kacau, kaki kirinya sakit tak tertahankan.Sekuat tenaga yang tersisa, Giselle merangkak dengan kedua lututnya melewati sebuah semak-semak hutan di tepian laut yang gelap. Hingga ia menginjak kerikil-kerikil kecil. "Hah ... Hah!" Giselle ambruk dan terbaring di atas kerikil-kerikil itu. "Apakah aku akan mati di sini?" Giselle menatap langit yang gelap. Kedua matanya ia pejamkan perlahan. Giselle merasakan sesuatu mendekatinya. Ia merasakan suara dengkusan napas cepat dan hangat seekor hewan yang kini menjilati wajahnya. Giselle kembali membuka kedua matanya. Ia menatap seekor anjing berwarna cokelat keemasan jenis Golden retriever kini mengendus dan mengitarinya. "Ka-kau tidak memakanku, kan?" lirih Giselle mengusap kepala hewan itu di sela napasnya yang seolah hampir terputus. Sejenak Gerald terdiam, ia teringat apa yang Kal katakan padanya. Ia memiliki seekor anjing di tengah hutan, yang bisa m
Empat mobil mendekati membelah jalanan malam di pesisir pantai Palonia di pukul setengah satu dini hari. Di depan sana, Gerald dan Sergio melihat sebuah tempat tampak terbakar menyala-nyala api. Sergio semakin menaikkan kecepatan mobilnya. "Semoga bukan tempat itu, Tuan," ucap Sergio, suaranya gemetar dan tangannya pun tampak gemetar memegang kemudi mobil. "Tidak mungkin, Sergio!" jawab Gerald. Sergio memutar kemudi mobil berbelok ke arah tempat itu. Di sana, mereka melihat beberapa orang tampak berdiri di depan gubuk terbakar itu dan terkejut melihat siapa yang datang. "Jangan bergerak!" teriakan itu terdengar dari belakang, diikuti suara tembakan yang sangat keras. Gerald menatap sosok Laura di depan sana. Wanita itu tergemap dan ketakutan sambil mengangkat kedua tangannya saat polisi berlari ke arahnya, beberapa polisi juga berlari mengejar para penculik yang berlari. Namun di sana, hanya Kal yang diam dan menyerahkan diri. Meskipun Gerald kini tidak peduli padanya. Gerald
Sepeninggal Kal dari dalam ruangan sempit itu, Giselle duduk di lantai dengan wajah sembab dan tangis terisak-isak. Di tangannya, tergenggam erat pisau lipat yang Kal berikan padanya tadi. Kedua mata Giselle melebar menatap tempat dipenuhi dengan jerami tersebut. Jerami dengan api, pasti mudah terbakar. Jerami, gubuk kayu yang sudah rapuh...'Tidak, aku tidak boleh mati! Aku percaya Kal tidak akan berbohong. Di bawah sini benar-benar ada pintu keluar!' Giselle menangis ketakutan. Dress putihnya benar-benar sangat kotor, penampilannya yang acak-acakan dan Giselle seperti orang gila dikurung dua hari tiga malam di tempat mengerikan ini. Saat rasa panik dan ketakutan menyerang Giselle. Tiba-tiba derap langkah kaki terdengar di sana. Giselle terkesiap saat pintu di hadapannya terbuka. Laura berdiri di sana menatap Giselle dengan tatapan tajam dan marah. "Tamat sudah riwayatmu, Giselle!" ucap Laura dengan wajah memerah.Laura tersenyum smirk dan merogoh saku jaket yang ia pakai dan m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments