Setelah dua hari Gerald menetap di Lasster, laki-laki itu sibuk dengan pekerjaan dan juga proyeknya yang menguras banyak waktu dan pikirannya. Seperti saat ini, Gerald dan Sergio baru saja keluar di dalam ruang meeting di kantor Jorden Deniester. Mereka membahas beberapa hal mengenai proyeknya. "Sepertinya Tuan tidak bisa langsung pergi ke luar negeri," ujar Sergio menoleh pada Gerald."Heem. Proyek ini menyita banyak waktu," jawab Gerald sambil mengangguk. Mereka berjalan keluar dari dalam gedung perusahaan besar milik Jorden Deniester. Gerald masuk ke dalam mobil dan ia duduk di bangku belakang. Laki-laki itu merogoh saku tuxedo hitamnya dan ia mendapatkan pesan dari Giselle. Pesan yang membuat Gerald berdecak kesal. "Wanita ini, keras kepala sekali," gerutunya. "Kenapa, Tuan?" "Berapa kali aku sudah mengatakan padanya untuk tidak usah bekerja, tetap saja berangkat bekerja," jawab Gerald sambil memijit pangkal hidungnya. Mendengar hal itu, Sergio terkekeh. "Sepertinya, Nyony
"Kau tidak apa-apa, Sayang, hm? Dia tidak melukaimu, kan?" Gerald meraih lengan Giselle dan mencari-cari apakah wanitanya terluka atau tidak. Gerald hanya menemukan memar memerah di pergelangan tangan Giselle. Wanita itu menggelengkan kepalanya sebelum Giselle merengkuh erat leher Gerald dan memeluknya dengan sangat erat. "Aku takut, Gerald ... dia datang dan tiba-tiba marah!" seru Giselle gemetar. Gerald mendekapnya erat, ia menyembunyikan wajah Giselle pada ceruk lehernya. "Tenanglah, dia sudah pergi. Tenanglah, Sayang," bisik Gerald mendekapnya erat. Pandangan Gerald teralihkan pada Elodie yang masih mengintip di balik pintu. Gerald melepaskan pelukannya pada Giselle dan menatap wanita itu dengan tatapan khawatir. Gerald merapikan rambut Giselle yang berantakan dan mengusap pipinya yang basah sebelum laki-laki itu menatap putrinya. "Sini, sayang," panggilnya pelan. Elodie langsung membuka pintu dan berlari berhambur pada Gerald bersama Mamanya. Anak itu ikut memeluk sang P
Udara dingin menyambut pagi hari di Lasster. Giselle yang baru saja bangun dari tidurnya, wanita itu bergegas membersihkan tubuhnya dan ia segera menyiapkan sarapan untuk Elodie. Saat berjalan ke dapur, Giselle membuka ponselnya dan melihat pesan dari Gerald. "Dia pasti sebentar lagi akan sampai," ucapnya sambil menatap jam di dinding. Giselle tersenyum dan ia menyandarkan punggungnya pada lemari es. "Lebih baik aku sekarang menyiapkan sarapan kesukaan Gerald dan Elodie," gumam Giselle. "Mereka berdua menyukai menu masakan yang sama." Giselle membuka lemari es dan wanita itu mengambil beberapa keperluan memasak. Cukup lama ia berkecimpung di sana, rumah masih sepi karena Elodie belum bangun. Hingga tak lama kemudian, Giselle mendengar bunyi bell pintu depan rumahnya yang berbunyi. Wanita itu berjalan ke depan dengan cepat. "Tunggu sebentar!" pekiknya dengan bibir sedikit tersenyum. Giselle tahu, siapa yang datang saat ini. "Baru saja aku membuka pesannya, dia sudah sam
Laura panik bukan main atas ancaman yang Gerald tujukan padanya siang tadi. Wanita itu cemas dan ketakutan, bagaimana kalau Gerald benar-benar serius dengan ucapannya. Di tengah rasa panik dan peningnya, Laura tidak mendapatkan pembelaan apapun dari orang tua Gerald. Mereka berdua justru menyuruhnya pergi. Wanita cantik itu, mengemudikan mobilnya membelah jalanan malam. Laura mengumpat kesal, ia mengusap wajahnya kasar. "Sial! Apa yang harus aku lakukan sekarang?!" Laura menggebrak kemudi mobilnya. Ia mengusap wajahnya kasar. "Tidak mendapatkan Gerald, masih dipenjara juga! Aku tidak mau sesial itu!" pekik Laura geram. Wanita itu mendengus, ia membelokkan stir mobilnya dan masuk ke dalam kawasan sebuah cafe mewah yang berada di tengah kota Luinz. Laura turun dari dalam mobilnya, ia berniat untuk menenangkan pikirannya sendirian malam ini. Namun, saat Laura masuk ke dalam tempat itu, tanpa sengaja Laura melihat sosok laki-laki yang kini tengah berbincang dengan beberapa ora
Beberapa jam perjalan dari Lasster ke Luinz. Gerald kali ini pulang bersama dengan ajudan barunya—Harland. Sepanjang perjalanan, mereka berdua saling diam dan raut wajah Gerald terlihat kaku menahan amarah yang besar. Saat matahari sudah hampir menyentuh sore hari, barulah Gerald sampai Luinz. Ia memerintahkan pada Harland untuk ke kediaman orang tuanya saat itu juga. Mobil hitam Gerald berhenti di kediaman rumah berlantai dua yang megah dan luas. Gerald menatap rumah itu dengan tatapan marah yang besar. "Tuan, sepertinya Nona Laura ada di sini. Mobilnya ada di depan," ujar Harland menatap mobil merah di depan sana. Tanpa menjawab, Gerald langsung bergegas turun dari dalam mobilnya. Laki-laki itu melangkah cepat masuk ke dalam rumah orang tuanya. Di ruang keluarga, Gerald melihat Mamanya dan juga Laura di sana, di ruang sebelah ada Papanya yang kini menatap kedatangannya. "Gerald, kau sudah pulang?" tanya Charles menutup surat kabar yang ia baca. Sontak, Marisa dan Laura menole
"Jadi, selama beberapa hari kau tidak masuk kerja karena mantan suamimu sudah tahu kalau kau di sini?!" Alissa melotot menatap Giselle yang duduk di hadapannya dan bercerita.Anggukan menjadi jawaban yang diberikan oleh Giselle pada sahabatnya itu. Alissa yang datang ingin menjenguk Giselle yang sedang sakit, justru mendengar kabar yang mengejutkan. "Dia mengikuti Dean," jawab Giselle pelan. "Tapi, di sisi lain aku merasa senang, Alissa. Aku melihat Elodie sangat bahagia bertemu dengan Papanya kembali." Wajah Alissa menjadi sedih mendengarnya. "Itu sudah jelas, Giselle. Aku tahu kalau Elodie mungkin juga berat menerima Dean. Tapi, ngomong-ngomong ... apa Dean tahu kalau Gerald ke sini?" "Heem. Mereka ribut di restoran di dekat taman kemarin, aku yakin Dean pasti akan marah. Tapi aku sudah mengembalikan semua barang-barang yang dia belikan untukku. Aku benar-benar berniat menjauh darinya tanpa aku tahu kalau Gerald ternyata ke sini," jelas Giselle pada sahabatnya itu. Alissa mengu