Pukul lima petang, Giselle terbangun saat ia mendengar suara getaran ponselnya di atas nakas kamar. Wanita itu mengerjapkan kedua matanya. Giselle yang hendak beranjak pun ditahan oleh Gerald. Laki-laki itu ikut bangun, berdecak sambil mengusap wajahnya. "Siapa, Sayang? Sejak semalam ada yang menelfonmu terus," ujarnya dengan nada kesal. "Aku tidak tahu," jawab Giselle menggelengkan kepalanya. Gerald mengulurkan tangannya meraih ponsel itu dan lagi-lagi ia melihat nomor yang semalam. Ia segera menjawab panggilan itu tanpa banyak cakap. "Halo!" sentak Gerald dengan wajah kesal. "Siapa kau, hah?! Kenapa kau selalu menghubungi istriku!" "Emm ... di mana Giselle?" Suara bariton seorang pria itu membuat kedua alis tebal Gerald menukik. "Kau siapa?!" desisnya kesal. "Maaf Tuan Gilbert, aku tidak ada perlu denganmu, tapi dengan Giselle." "Tapi Giselle itu istriku, sialan! Kau siapa?!" pekik Gerald marah. Kekehan terdengar dari balik panggilan itu. "Saya kenalannya. Baru beberapa
Sepanjang perjalanan pulang, Giselle merasa berdebar-debar setelah ia bertemu dengan Dean. Giselle ingin menceritakan semuanya pada Gerald setelah ini. Sesampainya di rumah, Giselle melihat mobil hitam milik suaminya ada di halaman rumah. Giselle segera turun dari dalam mobil dan berjalan masuk ke rumah. "Sayang, kau sudah pulang?" Giselle menatap Gerald yang duduk di ruang keluarga sendirian, memangku laptopnya. "Hm. Aku baru saja pulang, ada berkas ketinggalan. Tapi sepertinya aku meminta Sergio saja yang mengantarkannya ke kantor." Gerald menjelaskan sembari melepaskan tuxedo hitamnya. Sedangkan Giselle, wanita cantik itu duduk di samping Gerald dan ia menatap suaminya. Tetapi pandangan Gerald tertuju pada laptop yang dia pangku saat ini. "Sayang, kata dokter tadi, bulan depan kita sudah bisa melihat gender anak bayi kita. Sepertinya ... dia anak laki-laki," ujar Giselle. "Benarkah?" Gerald menatapnya dengan lekat. Giselle menganggukkan kepalanya. "Heem, tapi masih perkiraa
"Halo, Alissa ... kau berada di cafe mana saat ini? Aku berangkat sekarang, kirimkan alamatnya padaku..." Giselle baru saja keluar dari dalam gedung rumah sakit. Karena Gerald tidak bisa mengantarkan ia cek kehamilan, maka Giselle berangkat sendiri. Selain itu, ia juga harus pergi bertemu dengan Alissa untuk membahas acara pertunjukan di sekolah anak-anaknya besok. Kini, Giselle berjalan kaki dari rumah sakit menuju ke cafe tempat Alissa berada. Jaraknya juga tidak terlalu jauh. "Hmm? Alissa di cafe yang mana?" gumam Giselle mencari-cari. Giselle hendak masuk ke dalam sebuah cafe di depannya, namun tanpa sengaja seorang anak kecil berlari hingga menubruk orang di belakang Giselle, dan laki-laki berpakaian formal itu menyenggol lengan Giselle hingga tas yang Giselle bawa terjatuh dan buku-buku pemeriksaan juga berceceran di jalan. "Astaga..." "Maaf, Nyonya. Biar saya yang ambilkan," ujar laki-laki itu. Giselle memegangi perutnya yang sudah sedikit besar, ia juga mengambi
Seperti apa yang dikatakan oleh Mamanya semalam. Elodie harus menunjukkan sendiri pada Papanya tentang undangan dari sekolah. Anak perempuan bertubuh mungil itu, baru saja bangun tidur. Elodie berjalan menuruni anak tangga membawa surat undangan dari sekolah yang ingin ia berikan pada sang Papa. "Papa..." Elodie memanggil Gerald dari arah ruang keluarga. "Iya, Sayang," jawab Gerald dari arah ruang kerjanya. Elodie dengan antusias berlari ke sana. Sedangkan Giselle, wanita itu berada di ruang makan menyiapkan sarapan. Giselle dengan perasaan cemas, bagaimana kalau Gerald sampai tidak bisa datang?Perlahan, Giselle meletakkan gelas berisi susu miliknya. Wanita itu berjalan tanpa suara menuju ke ruangan kerja suaminya.Terdengar suara Elodie di dalam sana yang sangat antusias. "Papa ... apa Papa sibuk?" tanya Elodie, anak itu berjinjit mengintip ke atas meja kerja sang Papa. "Iya, Sayang. Ada apa, hm? Elodie mau sesuatu?" tanya Gerald, laki-laki itu meletakkan berkas di tangannya d
Beberapa bulan kemudian...Setelah Gerald dan Giselle kembali tinggal di Lasster sejak satu bulan yang lalu. Kehidupan mereka tidak jauh-jauh dari kesibukan dan pekerjaan yang selalu ada di setiap harinya. Termasuk Gerald, dia selalu sibuk dengan kantor barunya di ibu kota. Pekerjaan yang seolah tidak ada habisnya baik dikerjakan pagi, siang, dan malam. Hingga Giselle yang sudah hamil lima bulan lebih, dia selalu mencoba mengalah menyikapi suaminya yang sibuk, sekalipun ia sangat merindukan Gerald akhir-akhir ini.Seperti malam ini, baru saja makan malam selesai Gerald sudah kembali ke ruang kerjanya. Giselle pun mendekatinya, ia berjalan masuk ke dalam ruangan kerja yang suami yang berantakan. "Sayang," panggil Giselle pelan. "Heem?" Gerald mengangkat wajahnya menatap Giselle yang berdiri di ambang pintu, memegangi perutnya yang sudah terlihat besar. "Ada apa, Sayang? Kenapa ke sini? Istirahatlah, ini sudah malam." Giselle duduk di kursi yang berada di hadapan meja kerja Gerald.
Butuh berjam-jam bagi Gerald dan Giselle untuk sampai di Lasster. Mereka berangkat pukul sepuluh pagi, dan sampai di Lasster pada malam hari. Sesampainya di rumah mereka di Lasster, Elodie langsung tidur setelah mandi dan ganti baju. Sedangkan Giselle, wanita itu menatap pakaiannya, juga pakaian suami dan anaknya di lemari. "Sayang, sudahlah. Cepat istirahat, dilanjutkan besok saja. Ini sudah malam," ujar Gerald yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi usai membersihkan tubuhnya. "Ini juga hampir selesai," jawab Giselle menutup pintu ruangan ganti. Giselle berjalan menuju meja rias, wanita itu meletakkan pita rambutnya di meja rias dan berjalan ke arah ranjang. Jemarinya meraba dinding dan menekan saklar mematikan penerangan kamar mereka. Gerald masih duduk di tepi ranjang, memunggungi Giselle. Giselle tertunduk lesu, di dalam hatinya yang terdalam ia yakin kalau Gerald pasti sedih. Meninggalkan Mamanya dalam keadaan seperti itu hanya demi keinginan Giselle untuk segera kemb