Matahari sudah berada di ujung barat. Cahaya kuning jingga terasa hangat bersinar masuk ke dalam celah jendela kaca kamar rawat inap Giselle. Wanita cantik dengan luka-luka di sekujur tubuhnya itu tampak membuka kedua matanya perlahan-lahan. Iris birunya mengedar di dalam ruangan kamar inapnya. Detak jantungnya berpacu, jemari tangannya meremas selimut dengan napas naik turun. Ia tidak lagi tidur di atas lantai kayu di gubuk gelap, tumpukan jerami, tikus dan serangga yang menemaninya. Tempat yang ia rasakan kini sangat hangat, nyaman, dan tenang. 'Aku ada di mana?' batinnya dengan penuh rasa takut. 'A-apa aku benar-benar masih hidup? Aku tidak lagi di dalam gubuk itu lagi 'kan?' Air mata berkabut di kedua mata Giselle. Hingga ia menatap ke arah jendela kamar dan cahaya matahari yang terang menyinari wajahnya. Suara kicauan burung di luar seolah berbicara kalau Giselle saat ini sudah selamat. Dalam diam ia merasakan sekujur tubuhnya terasa kaku dan kaki kirinya sangat sakit. Gag
Kabar Giselle sudah ditemukan sudah diterima oleh Keluarga Martin. Mereka benar-benar merasa lega, meskipun tidak tahu bagaimana kondisi Giselle saat ini.Di kediaman mereka, kini ada Sergio yang ingin menjemput Elodie. Namun sejak tadi Sergio di sana, ia tidak melihat Elodie sama sekali. "Ya ampun, Sergio ... jadi Giselle hendak dibakar oleh wanita jahat itu?" Amara menutup mulutnya dengan tatapan tak percaya. "Benar, Nyonya. Tapi, Nyonya Giselle berhasil kabur dan pergi bersembunyi di dalam hutan," jelas Sergio dengan wajah sedihnya. Martin menyergah napasnya panjang. "Johan semalam menghubungiku, dia bilang penjahatnya sudah tertangkap, dia mengatakan kalau Giselle sudah tiada karena gubuk tempat Giselle disekap telah dibakar. Aku dan istriku sangat sedih, kami menangisi Elodie yang tertidur. Tidak tega kalau dia bangun apa yang harus kami jelaskan." "Syukurlah kalau Giselle baik-baik saja," jawab Amara. Sergio hanya terserah tipis. Ia tidak mengatakan bagaimana kondisi Gisell
Pukul lima petang, Gerald sampai di rumah sakit kota Lasster. Sepanjang perjalanan, Giselle sempat terbangun dan mual-mual meskipun tidak memuntahkan apapun sebelum wanita itu tidak sadarkan diri. Sesampainya di rumah sakit, para dokter segera menangani Giselle di sebuah ruangan khusus. Di sana, Gerald masih ditemani oleh Dean dan Sergio. Tampak Gerald mondar-mandir di depan ruangan pemeriksaan. "Sudah dua jam, dan matahari juga sudah bersinar, tapi dokter belum juga keluar," ucap Gerald dengan suara cemasnya, ia menatap ke dalam pintu kaca buram di depannya. Dean mendekat dan menepuk pundak Gerald. "Giselle akan baik-baik saja, Rald. Percayalah..." Gerald terdiam dan mengangguk dengan kedua matanya yang sembab. "Ya, istriku pasti baik-baik saja." Di sana, Sergio duduk di bangku rumah sakit. Ia sibuk dengan ponselnya.Sergio yang mengontrol beberapa orang di luar seperti Stefan, Hendre, dan Reiner untuk setiap tugas masing-masing.Dean mengembuskan napasnya pelan. "Pemuda yang d
Suara rintihan kecil terdengar dari bibir Giselle. Sekujur tubuhnya basah kuyup dan kacau, kaki kirinya sakit tak tertahankan.Sekuat tenaga yang tersisa, Giselle merangkak dengan kedua lututnya melewati sebuah semak-semak hutan di tepian laut yang gelap. Hingga ia menginjak kerikil-kerikil kecil. "Hah ... Hah!" Giselle ambruk dan terbaring di atas kerikil-kerikil itu. "Apakah aku akan mati di sini?" Giselle menatap langit yang gelap. Kedua matanya ia pejamkan perlahan. Giselle merasakan sesuatu mendekatinya. Ia merasakan suara dengkusan napas cepat dan hangat seekor hewan yang kini menjilati wajahnya. Giselle kembali membuka kedua matanya. Ia menatap seekor anjing berwarna cokelat keemasan jenis Golden retriever kini mengendus dan mengitarinya. "Ka-kau tidak memakanku, kan?" lirih Giselle mengusap kepala hewan itu di sela napasnya yang seolah hampir terputus. Sejenak Gerald terdiam, ia teringat apa yang Kal katakan padanya. Ia memiliki seekor anjing di tengah hutan, yang bisa m
Empat mobil mendekati membelah jalanan malam di pesisir pantai Palonia di pukul setengah satu dini hari. Di depan sana, Gerald dan Sergio melihat sebuah tempat tampak terbakar menyala-nyala api. Sergio semakin menaikkan kecepatan mobilnya. "Semoga bukan tempat itu, Tuan," ucap Sergio, suaranya gemetar dan tangannya pun tampak gemetar memegang kemudi mobil. "Tidak mungkin, Sergio!" jawab Gerald. Sergio memutar kemudi mobil berbelok ke arah tempat itu. Di sana, mereka melihat beberapa orang tampak berdiri di depan gubuk terbakar itu dan terkejut melihat siapa yang datang. "Jangan bergerak!" teriakan itu terdengar dari belakang, diikuti suara tembakan yang sangat keras. Gerald menatap sosok Laura di depan sana. Wanita itu tergemap dan ketakutan sambil mengangkat kedua tangannya saat polisi berlari ke arahnya, beberapa polisi juga berlari mengejar para penculik yang berlari. Namun di sana, hanya Kal yang diam dan menyerahkan diri. Meskipun Gerald kini tidak peduli padanya. Gerald
Sepeninggal Kal dari dalam ruangan sempit itu, Giselle duduk di lantai dengan wajah sembab dan tangis terisak-isak. Di tangannya, tergenggam erat pisau lipat yang Kal berikan padanya tadi. Kedua mata Giselle melebar menatap tempat dipenuhi dengan jerami tersebut. Jerami dengan api, pasti mudah terbakar. Jerami, gubuk kayu yang sudah rapuh...'Tidak, aku tidak boleh mati! Aku percaya Kal tidak akan berbohong. Di bawah sini benar-benar ada pintu keluar!' Giselle menangis ketakutan. Dress putihnya benar-benar sangat kotor, penampilannya yang acak-acakan dan Giselle seperti orang gila dikurung dua hari tiga malam di tempat mengerikan ini. Saat rasa panik dan ketakutan menyerang Giselle. Tiba-tiba derap langkah kaki terdengar di sana. Giselle terkesiap saat pintu di hadapannya terbuka. Laura berdiri di sana menatap Giselle dengan tatapan tajam dan marah. "Tamat sudah riwayatmu, Giselle!" ucap Laura dengan wajah memerah.Laura tersenyum smirk dan merogoh saku jaket yang ia pakai dan m