Elodie dan Kai kembali ke apartemen pukul setengah sepuluh malam. Kai membawakan banyak belanjaan milik Elodie ke dalam kamarnya. Gadis itu kini duduk di tepi ranjang dengan balutan piyama hangat berwarna putih, ia menatap beberapa obat yang dokter berikan padanya. "Kak, ini obat tidur," ujar Elodie menunjuk sebuah obat. "Heem. Kalau kau bisa beristirahat tanpa obat itu, jangan diminum." Elodie mengangguk patuh, Kai berjalan mendekatinya dan meletakkan boneka ikan lumba-lumba berukuran besar di pangkuan Elodie. Laki-laki itu menekuk kedua lututnya di hadapan Elodie dan ia tersenyum mendongak menatap wajah Elodie yang tampak pucat. "Dua hari lagi, Kakak akan bekerja. Kau baik-baik di apartemen, jangan ke mana-mana sebelum Kakak pulang, oke?" Kai mengelus pipi Elodie. "Heem," jawab gadis itu menganggukkan kepalanya. "Rumah sakit tempat Kakak bekerja, yang tadi kita datangi itu 'kan?" "Iya, Sayang." Kai mengangguk. Elodie tidak menjawab lagi, ia tetap menatap wajah Kai. Laki-lak
Elodie tertidur pulas sejak pagi hingga sore hari. Pukul enam petang baru ia terbangun dari tidurnya. Gadis itu terdiam menyandarkan punggungnya sambil menatap sekitar mencari-cari. 'Perasaan aku tadi duduk di balkon berdua dengan Kak Kai, tapi kenapa aku tiba-tiba ada di sini?' batin Elodie dengan perasaan bingung. Perlahan, gadis itu menyibakkan selimutnya dan berjalan keluar dari dalam kamar. Elodie membuka pintu kamar perlahan-lahan. Ia mendengar Kai tengah berbincang dengan seseorang di telfon. "Om jangan khawatir, Elodie baik-baik saja di sini. Malam ini saya akan membawa Elodie ikut bersama saya ke psikiater, teman saya, Om," ujar Kai pada seseorang di balik panggilan telfonnya itu. "Terima kasih, Kai. Om percayakan Elodie padamu. Saat ini Rafael masih belum ditemukan, Om masih terus mencari bajingan itu!" seru Gerald di balik telfon. "Iya, Om. Om fokuskan untuk mencari Rafael. Urusan Elodie ... dia aman bersama saya." "Heem. Terima kasih, Kai." "Sama-sama, Om." Tak la
Pukul lima pagi Kai dan Elodie baru sampai di bandara kota Fratz di Krasterberg. Elodie tampak pucat dan lemas, bahkan suhu tubuhnya hangat dan ia terdiam sejak di pesawat. Kau menyadari Elodie tidak enak badan, laki-laki itu menatapnya saat mereka berjalan bersama. "Badanmu panas, Elodie," ucap Kai lirih. "Kepalaku tiba-tiba pusing," jawab gadis itu memegangi lengan Kai. "Duduk dulu sebentar," bujuknya. Kai meminta Elodie duduk. Ia melepaskan mantel hangat yang ia pakai dan menyelimuti kedua pundak kecil Elodie dengan nyaman. Kai mengelus kepala Elodie dan memijitnya perlahan. Hingga ponsel milik Kai berdenting, Kai merogoh saku celana bahan hitam yang ia pakai dan ia melihat pesan bahwa taksi yang ia pesan telah menunggu di depan bandara."Taksinya sudah sampai, Sayang. Kita pulang sekarang, hm?" bujuk Kai pada Elodie. Gadis itu mengangguk patuh dan kembali beranjak dari duduknya. Elodie dan Kai berjalan keluar meninggalkan bandara, mereka berdua melihat taksi di depan sana da
"Kai, kau yakin akan kembali ke Krasterberg malam ini?" Chen mendatangi apartemen Kai setelah Kai menelfonnya. Laki-laki itu tampak mengomelinya dan melihat Kai merapikan barang-barangnya yang akan ia bawa ke Krasterberg. "Kai! Oh ayolah kawan! Bagaimana dengan pekerjaanmu di sini?!" seru Chen menahan kangen Kai. Kai menatapnya tajam. "Kau mau membantuku atau tidak?! Aku ke Krasterberg aku juga punya tujuan, Chen! Ada hal yang jauh lebih penting dari pekerjaanku yang harus aku utamakan!" Kai menjawabnya dengan kesal. Chen terdiam, laki-laki itu mendengkus pelan dan ia tidak mau kaget lagi dengan Kai yang sudah berkeras kepala. "Ya ... maaf, aku pikir karena hal apa kau pulang ke Krasterberg lagi. Sayang karirmu," lirih Chen menatapnya. "Apalagi, pagi tadi ... ramai sekali berita tentang Elodie dan video yang tersebar itu. Aku sangat syok! Gadis sependiam itu..." "Pergilah, Chen!" seru Kai tiba-tiba. Chen sontak menoleh menatapnya. "Ke-kenapa kau main usir-usir saja, hah?! Tadi
Hari sudah malam. Elodie sendirian di dalam apartemen milik Kai. Sore tadi, Amara pulang dijemput oleh sopir, hingga kini Elodie sendirian dan menunggu Kai pulang kerja. Gadis itu duduk diam di dalam kamar Kai. Wajahnya terlihat sendu. "Kenapa Mama dan Papa tidak ke sini? Mereka bilang akan ke sini lagi. Apa Mama dan Papa pergi ke Krasterberg?" gumamnya lirih menoleh ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Elodie menatap gelapnya malam dari balik dinding kaca di kamar itu. Ia mengembuskan napasnya panjang dan merasakan kesepian di sana. Namun, sekuat mungkin Elodie berusaha memastikan kalau ia sangat aman berada di sini dibandingkan di tempat lain. Ia hanya ingin ditemani. Elodie berjalan ke arah nakas kamar. "Mungkin aku harus menelfon Mama," gumam gadis itu. Elodie membuka laci dan ia meraih ponselnya di sana. Gadis itu menyalakan kembali ponselnya yang mati. Saat ponsel itu menyala dan koneksi internet terhubung. Ekspresi wajah Elodie berubah memucat dan te
"Sayang, jangan memegang ponsel dulu untuk beberapa hari ini supaya kau tenang. Kau mengerti?"Kai mengusap pucuk kepala Elodie dengan lembut. Gadis yang hampir kembali ke alam mimpi itu pun terbangun lagi. Elodie membalikkan badannya beralih menatap Kai yang duduk di sampingnya. "Kenapa, Kak?" tanyanya. "Aku memang tidak akan ke sekolah lagi," jawab gadis itu. Kai mengangguk. "Ya, di sini saja dan jangan ke mana-mana. Aku akan menemanimu seharian ini." "Heem." Elodie mengangguk patuh. Kai mengusap pucuk kepala Elodie dan laki-laki itu beranjak dari kamarnya. Ponsel milik Kai terus bergetar. Pesan-pesan masuk dari nomor Elodie yang terhubung ke ponselnya sangat ramai. Kai berdiri di depan kamarnya, ia melihat semua pesan masuk di grup sekolah dan semua teman Elodie melontarkan kata-kata yang tidak pantas, hingga setidaknya ada yang merasa kasihan pada Elodie. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Kai. Laki-laki itu menyugar rambut hitamnya dan mendongakkan kepalanya. "Om