Malam sudah cukup larut bahkan untuk di bilang makan malam itu tentu saja sudah sangat terlambat. Sedangkan Ivy masih duduk di kursi meja makan menunggu kedatangan suaminya. Ivy menatap semua makanan yang dihidangkan malam ini, Ivy bahkan tidak menyentuh sedikitpun makanan yang ada disitu. Ivy berniat makan bersama dengan suaminya, tapi ternyata sang suami tidak datang.
"Apa dia lupa?" gumamnya pelan.
"Tapi, bagaimana bisa lupa? Bukankah dia yang menyuruh semua pelayan menyiapkan ini? Lalu, aku harus bagaimana?" ujar Ivy lagi.
Ivy menghela napas dalam lalu kemudian berdiri dari posisinya. Ivy kembali melihat makanan yang ada di atas meja dan memegangi perutnya yang terasa lapar.
"Sudahlah aku makan besok pagi saja, sebenarnya aku sangat ingin makan bersamanya. Bukankah ini kali pertama kami bertemu? Lalu, kenapa dia tidak menemuiku?" ujarnya lalu meninggalkan meja makan.
Ivy sudah akan kembali ke kamarnya, tapi tiba-tiba saja seseorang berdiri di hadapannya. Ivy mengangkat kepalanya dan melebarkan matanya tidak percaya melihat laki-laki berkulit lebih putih darinya, berambut coklat gelap dan juga berwajah tegas.
"Siapa?" tanyanya sembari memundurkan kakinya selangkah.
"Ivy Marionet?" ucap laki-laki itu dengan nada bertanya.
"Em."
“Apa kau ini Ag,,,Agnito? Ah,,,kenapa aku jadi lupa nama depannya?” sambung Ivy lagi.
“Winter Agnito, putra mahkota di daerah timur.”
“Seingatku suamiku bukan putra mahkota,” tukas Ivy yang mengira kalau Winter adalah suaminya.
“Memang dia bukan putra mahkota,” ujar Winter.
“Lalu untuk apa kau kesini? Apa kau datang bersama suamiku?” tanya Ivy sembari menatap Winter.
“Tidak.” Winter menjawab dengan singkat.
“Jadi?”
“Aku ingin melihatmu saja, aku penasaran. Siapa Ivy Marionet yang sukses mendapatkan Race Agnito,” tukas Winter.
“Ha?”
“Race bukan laki-laki gampangan yang bisa siapapun dapatkan. Siapa sebenarnya kau ini, Iv? Kenapa paman dan bibi justru memilihmu menjadi istri Race?” ujar Winter lagi.
***
Pagi ini Ivy terlambat bangun, semalam dia terlalu banyak menggunakan sihirnya untuk menutupi semua bekas luka di badannya supaya tidak ada yang melihat. Dia juga tidak makan malam, jadi tenaganya benar-benar tidak tersisa. Miranda sudah masuk ke kamar Ivy beberapa waktu lalu dan meletakkan susu panas di meja dekat ranjang Ivy. Melihat Ivy masih belum juga bangun Miranda mendengus kesal.
"Sepertinya hanya ini tanda kalau dirinya memang putri bangsawan, selalu telat bangun pagi," gerutu Miranda yang kemudian meninggalkan kamar Ivy begitu saja.
Beberapa jam kemudian Ivy yang sudah mengumpulkan tenaganya lagi terbangun. Ivy menggeliat lalu kemudian menguap, dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar dan sangat terkejut saat melihat ada laki-laki yang duduk di kursi dekat jendela.
"Aaaaaa!!!" teriak Ivy dan kemudian menggeser posisinya.
Laki-laki yang melihat ke arah luar jendela itu lalu melihat ke arah Ivy dengan kening mengkerut.
"Kenapa berteriak?" ucapnya.
"Si,,,siapa, kau? Kenapa bisa ada di dalam kamarku?" tanya Ivy dengan suara ketakutan.
Laki-laki yang lebih menarik daripada Winter di mata Ivy itu tersenyum tipis. Dia berdiri dan mendekat ke ranjang Ivy.
"Hei! Hei! Jangan mendekat! Disitu saja!" ucap Ivy kembali menggeser posisinya.
"Kenapa aku tidak boleh duduk disini? Aku, berhak atas tempat ini juga."
Ucapan laki-laki itu membuat otak Ivy bekerja, dia lalu menutup mulutnya terkejut.
"Agnito,,,Ag,,,aisshhh siapa namamu?" tanya Ivy yang benar-benar tidak bisa mengingat nama suaminya sendiri.
“Race Agnito, bagaimana bisa kau tidak mengingat nama suamimu sendiri. Cepatlah bangun! Aku, tunggu di meja makan.”
Race kemudian berdiri dan berjalan akan meninggalkan kamar Ivy. Dengan cepat Ivy menahan tangan Race.
“Tunggu!”
Race terkejut dengan yang Ivy lakukan, tanpa sadar Race justru menepis tangan Ivy kasar. Sekarang gantian Ivy yang terkejut dengan sikap Race. Ivy menatap tangannya yang di tepis oleh Race dengan sedikit kasar.
***
"Tidak akan ada pesta penyambutan ataupun pesta untuk memperkenalkan dirimu. Aku, terlalu sibuk untuk mengurus itu semua," ucap Race sembari sibuk memotong daging panggang menu makan siangnya dengan Ivy hari ini.
"Lalu, jangan pernah menungguku pulang. Aku, tidak akan pulang ke paviliun ini kecuali ada hal mendesak. Jadi, silahkan berhubungan dekat dengan semua pelayan yang ada disini. Jika kau membutuhkan sesuatu bilang saja pada Miranda, dia adalah pelayan terlama dan sangat paham dengan paviliun ini," sambung Race lagi.
Race lalu memasukkan sepotong daging ke mulutnya dan sibuk mengunyah, sedangkan Ivy sendiri hanya mengaduk-aduk sup cream yang dia pilih untuk makan siang.
"Satu lagi, kita memang suami istri. Tapi, jangan berharap aku akan melakukan kewajibanku sebagai suami padamu. Aku, juga tidak akan menuntut apapun padamu. Tapi, kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Kau, akan tetap mendapatkan hakmu sebagai istriku disini. Aku, akan mencukupi semua kebutuhanmu tapi tidak dengan kebutuhan suami istri," ucap Race penuh dengan penekanan dan menatap Ivy dengan lekat sekarang.
Ivy yang sudah melihat ke arah Race sejak mendengar ucapan Race tadi, melebarkan matanya tidak percaya. Ivy menelan ludahnya dengan susah payah, dia sedang menahan dirinya sendiri untuk menanyakan apa maksud Race mengucapkan ini semua padanya.
"Ada yang ingin kau tanyakan?" ujar Race lagi.
"Kalau tidak ada yang ingin kau tanyakan, lanjutkan makanmu! Aku, akan kembali ke base camp pelatihan. Aku, seorang pemimpin prajurit kerajaan, jadi aku tidak bisa bersantai dan beramah tamah makan 3 kali sehari bersamamu. Mulailah beradaptasi disini!" sambung Race lagi.
Race lalu berdiri dan berjalan meninggalkan Ivy yang sedari tadi diam saja. Ivy meremas sendok makannya dengan erat lalu kemudian memejamkan matanya sejenak.
“Jadi, kenapa kau mau menikah denganku jika kau tidak memiliki waktu untuk berpura-pura menjadi suami? Seharusnya kau menolak saja perjodohan kita. pernikahan ini tidak harus terjadi jika kau tidak mau. Ak.,,,aku memilih tetap tinggal di barat jika kau menolak menikah denganku. Bukankah, kita memang tidak pernah saling mengenal satu sama lain? Kenapa, kau justru sibuk menjelaskan hal yang bisa saja kau hindari, Race?”
***
"Nyonya muda tidak makan lagi?" tanya Selina.
Melihat Gareta masuk ke dalam dapur dengan membawa nampan berisi makanan yang sepertinya tidak disentuh oleh Ivy. Selina menjadi semakin khawatir pada Ivy.
“Iya, sepertinya dia sedikit kesusahan beradaptasi disini. Jenis makanan disini juga sangat berbeda dengan di utara. Makanan disini sedikit berminyak sepertinya,” ujar Gareta menanggapi.
“Ah,,,kau benar, Gareta,” tukas Selina sependapat.
Tidak lama Miranda datang dan tertawa mencibir kedua rekan kerjanya itu. Miranda lalu mengambil sepotong ayam yang dimasak saus oleh Selina tadi. Miranda tanpa ragu lalu memasukkan sepotong ayam itu ke mulutnya.
"Itu bukan karena makanan yang membuat Nyonya muda Ivy tidak mau makan," ujarnya dengan mulut penuh.“Lalu?” tanya Gareta dan Selina bersamaan.
“Nyonya muda itu tidak diharapkan disini. Tuan muda Race saja tidak mau menemuinya, apalagi keluarga besar Agnito. Sudah sangat jelas perjodohan mereka berdua ini hanya untuk kepentingan keluarga Agnito saja. Tuan besar pasti memiliki tujuan sendiri dengan menikahkan Tuan muda Race dengan Nyonya muda Ivy. Yang jelas Nyonya muda Ivy itu bukan istri ataupun menantu disini,” tutur Miranda.
“Lalu apa?” tanya Gareta lagi.
“Tawanan.”
Ivy yang sejak tadi ada di balik pintu dapur membalikkan badannya dan meremas bajunya erat. Ivy yang tadinya ingin minta dibuatkan jus untuk menambah tenaganya, justru mendengarkan hal buruk itu dari gosip pelayan-pelayannya sendiri. Ivy menghela napas dalam lalu mengurungkan niatnya untuk minta dibuatkan jus.
"Ternyata dimanapun, aku ini tidak lebih dari tawanan. Aku, diambil karena aku dibutuhkan dan bermanfaat bagi mereka.”
Untuk menghilangkan perasaan sedihnya Ivy berjalan-jalan di area paviliun. Sialnya Ivy justru berjalan terlalu jauh ke dalam hutan.
“Aku dimana? Ke arah mana supaya bisa kembali ke paviliun? Kenapa jalannya jadi bercabang dua?”
Ivy terlihat kebingungan melihat kedua jalan bercabang di hadapannya. Ivy menarik napas dalam dan menutup matanya pelan. Setelah membaca beberapa mantra, Ivy kembali membuka matanya dan kemudian melihat kedua jalan setapak itu lagi bergantian. Ivy lalu tersenyum senang saat melihat satu jalan yang begitu terang. Ivy lalu tanpa ragu berjalan menyusuri jalan setapak itu untuk pulang ke paviliun.
Ivy baru saja sampai di paviliun saat gelap. Ivy terkejut ketika melihat ada Race di hadapannya.
“Dari mana saja? Kau, tidak tahu hari sudah gelap?” hardik Race.
“Aku, jalan-jalan keliling paviliun,” jawab Ivy sedikit ketakutan.
“Lalu, kenapa pergi sendiri? Seharusnya kau minta salah satu pelayan menemanimu, Miranda misalnya. Bukankah aku sudah bilang kau itu tanggung jawabku disini!”
Race terdengar semakin marah.
“Maaf, aku tidak tahu kalau ini akan membuatmu marah. Aku, pikir kau juga tidak akan pulang ke sini. Bukankah kau bilang akan pulang jika hanya ada hal mendesak?”
“Kalau aku tidak pulang memangnya kau akan menghabiskan seharian untuk jalan-jalan? Ini sudah malam. Aku, dengar kau bahkan tidak makan pagi dan makan siang. Kau, mau mati disini ha? Jika ingin mati jangan di paviliun ku! Jangan melakukan hal yang membahayakan apapun itu jika kau memang mau menjadi istriku!” ujar Race lagi.
“Kenapa aku harus menuruti ucapanmu, Race? Bukankah jika aku tidak ada akan lebih baik bagimu?” tanya Ivy menatap Race lekat dan mulai memberanikan dirinya untuk membantah Race.
“Jangan membantahku, Iv! Kau tidak punya hak membantahku disini!”
“Lalu apa hakku? Diam saja saat semua memperlakukanku sebagai tawanan dimanapun aku berada?”
Ivy terus saja menatap Race yang juga menatap Ivy dengan tajam.
“Kau, bukan tawanan justru kau itu ancaman bagiku terutama Winter.”
Beberapa bulan kemudianGareta masuk ke dalam kamar Ivy dengan membawa banyak kotak, hingga wajah Gareta hampir tidak terlihat."Nyonya muda, ini pakaian baru dari Tuan muda Race," ucap Gareta yang kemudian memohon izin untuk masuk ke ruang ganti.Ivy menghela napas dalam karena mulai lelah dengan sikap Race. Suaminya itu benar-benar melakukan tanggung jawabnya sebagai suami. Race mencukupi semua kebutuhan Ivy, bahkan bisa dibilang berlebihan. Hanya saja Race jarang sekali pulang ke paviliun, mungkin hanya 2 minggu sekali. Itu pun hanya sebentar dan hanya marah-marah pada Ivy yang selalu salah di depan Race.Setelah meletakkan baju-baju yang Race berikan untuk kesekian kalinya untuk Ivy, Gareta keluar dan menghampiri Ivy yang duduk di kursi dekat jendela."Nyonya muda, ingin makan siang apa? Selina dan koki sedang menyiapkan daging saus, apakah tidak apa-apa?""Apa saja akan aku makan, Gareta. Em,,,boleh aku bertanya?" ujar Ivy kemudian."Tentu saja, Nyonya muda.""Siapa yang membawa
"Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Winter pada seorang ahli kesehatan dari kerajaan yang sengaja Winter panggil untuk memeriksa Ivy."Nyonya Ivy baik-baik saja, Tuan Winter," ucap ahli kesehatan itu."Lalu, kenapa dia bisa pingsan seperti itu?" tanya Winter lagi masih belum kehilangan rasa khawatirnya sedikitpun."Sepertinya Nyonya Ivy hanya kelelahan, saya juga tidak tahu apa penyebabnya. Sekarang kondisinya sudah baik-baik saja dan hanya perlu istirahat," ujar ahli kesehatan itu lagi.Winter baru menghela napas lega sekarang, Winter lalu menganggukkan kepalanya dan beralih melihat ke arah Ivy yang sedang terlelap tidur."Apa sebenarnya yang terjadi? Dia, tidak mungkin pingsan hanya karena kelelahan secara tiba-tiba," ucap Winter di dalam hati.Setelah ahli kesehatan yang memeriksa Ivy pergi, Winter lalu duduk di kursi yang ada di samping ranjang Ivy. Winter terus saja memandangi Ivy dengan wajah penuh dengan tanda tanya. Lamunananya terhenti saat pintu kamar Ivy terbuka cukup ke
"Jangan gunakan sihirmu sembarangan! Ingat, disini berbeda dengan di utara. Orang timur menganggap seorang penyihir itu orang yang jahat dan manipulatif, mengerti!"Race bicara dengan serius sembari menatap Ivy tajam. Ivy melihat ke arah Race sekilas lalu kemudian kembali menunduk. Kepalanya mengangguk mengiyakan dengan pelan, Race sendiri terus memperhatikan Ivy yang berdiri di hadapannya. Sejurus kemudian Race menautkan alisnya karena merasa heran, Race lalu melihat ke kanan dan kiri sepi tidak ada siapapun di depan paviliun ini. Sejak tadi juga Race hanya berdua bersama Ivy."Kemana para pelayan?" tanya Race pada Ivy.Ivy terkejut karena tidak mengira kalau Race akan menanyakan hal ini. Ivy mengangkat kepalanya dan menatap Race dengan takut-takut."Aku, tidak tahu.""Bagaimana bisa tidak tahu? Bukankah aku sudah bilang minimal ada 1 orang yang harus menemanimu kapanpun itu.""Aku tahu.""Lalu? Kemana mereka? Miranda? Selina? Gareta? Pergi kemana mereka?"Race terus bertanya mendesa
Ivy melenguh pelan, dia lalu menggerakkan badannya yang terasa kaku. Ternyata Ivy justru tertidur di kursinya, Ivy lalu menguap dan melihat ke arah jendela."Aku, tidur sambil duduk?" ujarnya.Ivy lalu mencoba berdiri tapi tiba-tiba dia terhuyung karena merasa badannya begitu lemah."Apa karena aku tidak makan apa-apa kemarin? Sepertinya aku tidak memiliki tenaga lagi," ucap Ivy sembari duduk di kursinya lagi.Ivy menarik napas dalam lalu kemudian kembali melihat ke luar jendela."Hari ini sepertinya sangat cerah, aku ingin jalan-jalan keluar," ujar Ivy bermonolog.Tidak lama pintu kamar Ivy terbuka pelan dan Ivy tidak menghiraukan itu. Ivy mengira itu pasti Gareta atau kalau tidak Selina, Ivy bahkan tidak mengira kalau itu Miranda. Karena sejak kedatangan Nyonya besar Maria, Miranda sama sekali tidak mengurus kebutuhannya sedikitpun."Aku, belum mau makan ataupun mandi, Gareta, Selina," ucap Ivy tanpa menoleh sedikitpun dan tetap melihat keluar jendela.Anehnya tidak ada tanggapan ap
"Sejak kapan istriku itu temanmu?" tanya Race kemudian meneguk minumannya cepat.Winter melihat Race sekilas lalu kemudian tersenyum tipis."Sejak pertama kali kami bertemu," ujar Winter menjawab."Bagaimana bisa? Kau, bahkan baru mengenalnya dan sekarang mengklaimnya teman. Apa-apaan?"Race terdengar tidak suka dengan ucapan Winter, Race lalu kembali meneguk minumannya lagi."Kenapa responmu seperti itu? Kau, cemburu? Bukankah sejak awal kau menikahi Ivy hanya karena tidak mau repot-repot menolak perjodohan itu. Sejak awal kau juga sudah tahu kalau Ivy itu hanya alat kedua orang tuamu untuk melebarkan bisnis ruby mereka," ujar Winter panjang lebar mengembalikan tujuan awal Race menikah dengan Ivy.Race menatap tajam Winter, kali ini ucapan Winter sukses membuatnya diam seribu bahasa. Sejak awal memang Race tidak memiliki tujuan mendekati Ivy, ataupun menjadi suami Ivy yang sebenarnya. Race hanya ingin terhindar dari tekanan untuk cepat menikah sekaligus membantu kedua orang tuanya da
Plakk!!!Tamparan keras mendarat ke pipi Miranda, tepat sekali saat Race datang ke taman. Race terbelalak melihat apa yang Ivy lakukan pada Miranda."Ivy!" hardik Race lalu menarik tangan Ivy kasar untuk menjauh dari Miranda.Ivy menatap ke arah Race dengan wajah terkejut, sedangkan Miranda sendiri memegangi pipinya yang terasa panas lalu kemudian mulai terisak."Maaf, jika kata-kataku salah, Nyonya muda Ivy. Aku, tidak bermaksud membuat anda marah. Tuan muda Race sudah menunggu anda untuk makan siang. Aku, tidak mengira kalau kata-kataku mengajak anda untuk pulang ke paviliun justru membuat anda marah," ucap Miranda sembari terisak.Ivy melihat ke arah Ivy dengan wajah tidak percaya sekarang."Wah,,,bagaimana bisa kau bicara seperti itu sekarang? Kau, tadi bahkan mengatakan aku ini anak pungut."Ivy yang biasanya lembut dan penurut tiba-tiba saja mendadak marah, Ivy berteriak dan melepas tangan Race yang memegang tangannya sekarang. Race melebarkan matanya tidak percaya melihat kelak
Race dan beberapa ksatria kerajaan melawan mahluk-mahluk aneh yang tiba-tiba menyerbu base camp. Winter bahkan juga ikut turut serta dalam melawan mahluk-mahluk itu. Akhirnya setelah hampir berjam-jam melakukan perlawanan, akhirnya mahluk-mahluk itu kalah dan lenyap dengan sendirinya. Situasi di base camp benar-benar tidak terkendali. Tanah di base camp banyak berlubang, beberapa ruby dan batu pengasih berserakan begitu saja. Race menghela napas berat lalu kemudian mengerang frustasi melihat kondisi base camp."Bagaimana bisa makhluk seperti itu muncul? Siapa yang mengutus mereka untuk menjarah disini?" ujar Race bertanya-tanya sendiri."Race!" panggilan Winter itu membuat Race menoleh dan melihat ke arah Winter yang sekarang sedang berlari ke arahnya."Race, kau baik-baik saja?" tanya Winter sembari memperhatikan sepupunya itu dari atas hingga bawah."Aku, baik-baik saja, Winter. Kau, sendiri?" tanya Race yang juga memperhatikan Winter dari atas hingga bawah juga."Aku, tidak apa-apa
Ivy terus mencoba melawan para mahluk aneh yang sedikit mirip babi hutan tapi juga seperti banteng. Ukurannya tidak terlalu besar hanya saja jumlahnya cukup banyak. Ivy terus menggunakan sihir yang dia miliki untuk melawan mahluk itu. Sedangkan Race dan Winter mengikuti ucapan Ivy untuk mengungsikan semua pengawal yang ada di base camp itu. Setelah merasa semua pengawal sudah aman, Winter lalu berlari masuk ke dalam basecamp lagi. Race mengikuti Winter lalu kemudian menahan tangan Winter supaya tidak masuk ke dalam."Biar aku saja, Winter."Winter melihat ke arah Race lalu kemudian menepis tangan sepupunya itu kasar."Bukan saatnya berdebat aku boleh masuk atau tidak. Ivy ada di dalam, dia perempuan dan sedang melawan mahluk-mahluk aneh yang bahkan jumlahnya saja sangat banyak."Setelah bicara seperti itu Winter lalu berlari masuk ke dalam basecamp, dia menuju lapangan latihan tanpa berlama-lama lagi berdebat dengan Race. Sedangkan Race sendiri berdecak kesal lalu kemudian ikut berlar