Beberapa bulan kemudian
Gareta masuk ke dalam kamar Ivy dengan membawa banyak kotak, hingga wajah Gareta hampir tidak terlihat.
"Nyonya muda, ini pakaian baru dari Tuan muda Race," ucap Gareta yang kemudian memohon izin untuk masuk ke ruang ganti.
Ivy menghela napas dalam karena mulai lelah dengan sikap Race. Suaminya itu benar-benar melakukan tanggung jawabnya sebagai suami. Race mencukupi semua kebutuhan Ivy, bahkan bisa dibilang berlebihan. Hanya saja Race jarang sekali pulang ke paviliun, mungkin hanya 2 minggu sekali. Itu pun hanya sebentar dan hanya marah-marah pada Ivy yang selalu salah di depan Race.
Setelah meletakkan baju-baju yang Race berikan untuk kesekian kalinya untuk Ivy, Gareta keluar dan menghampiri Ivy yang duduk di kursi dekat jendela.
"Nyonya muda, ingin makan siang apa? Selina dan koki sedang menyiapkan daging saus, apakah tidak apa-apa?"
"Apa saja akan aku makan, Gareta. Em,,,boleh aku bertanya?" ujar Ivy kemudian.
"Tentu saja, Nyonya muda."
"Siapa yang membawa baju-baju itu? Apakah Race mengirimnya dengan kereta lagi?" tanya Ivy yang sebenarnya sudah tahu kalau Race tidak mungkin membawanya sendiri untuknya.
Melihat pelayannya tidak bisa menjawab dan seperti sedang menatapnya iba. Ivy lalu tersenyum dan kemudian menggerakkan tangannya cepat mengusir Gareta.
"Tidak usah di jawab! Aku, sudah bisa menebak jawabanmu, Gareta. Kembalilah ke dapur!"
Malam harinya di kamarnya, Ivy yang sangat kesepian susah tidur. Terlebih lagi Ivy selalu mengingat kedatangannya adalah ancaman bagi Race. Ivy beringsut turun dari ranjang dan berjalan menuju jendela kamarnya. Ivy melihat keluar jendela dan melihat ke bawah.
“Apa kalau jatuh dari sini akan terasa sakit?”
“Ini pasti akan lebih sakit dari pukulan Ibu ataupun Charly.” sambung Ivy lagi bermonolog.
Brakkk!!!
Pintu kamar Ivy terbuka dengan keras dari luar.
“Kau, gila? Bukankah aku bilang kalau mau mati jangan di paviliun ku!”
Race menyeret Ivy menuju ranjang. Race mendudukkan Ivy sedikit kasar hingga membuat Ivy hampir saja jatuh ke belakang.
“Kau, gila?” hardik Race lagi.
“Aku?” tanya Ivy polos.
“Iya, siapa lagi? Kalau kau tidak gila, untuk apa kau berpikiran lompat dari jendela itu?”
“Lompat? Bagaimana dia bisa tahu kalau aku berpikir seperti itu?” batin Ivy bingung.
“Jawab! Kenapa diam saja? Kau, tidak akan sedikitpun kekurangan disini. Aku, akan bertanggung jawab atas dirimu, finansialmu, makanmu, baju dan semua kebutuhanmu. Jadi, diamlah! Duduk tenang, nikmati hidup mewahmu disini tanpa memiliki pikiran untuk mati. Mengerti?” bentak Race lagi mengejutkan Ivy.
Ivy menatap Race lekat, memang benar semua yang Race katakan. Dia hidup serba berkecukupan, mewah dan juga tidak kekurangan apapun. Hanya saja Race tidak mengerti perasaan Ivy, Race tidak tahu bagaimana inginnya Ivy hidup normal seperti orang lain. Terlebih lagi statusnya sekarang sudah menjadi seorang istri, tentu saja Ivy ingin diperlakukan layaknya seorang istri bukan seperti tawanan seperti yang Miranda katakan.
Race menatap tajam Ivy dan melihat mata sang istri berkaca-kaca. Race menarik napas gusar lalu kemudian menghembuskannya kasar. Race juga mengusap wajahnya sekarang. Melihat Race yang begitu frustasi seperti itu, Ivy menarik tangan Race dengan ragu. Ivy lalu menggenggam tangan Race tanpa permisi.
"Maaf, Race," ucapnya lirih.
Race terkejut dengan ucapan Ivy, dia yang biasanya akan langsung menepis tangan Ivy kasar sekarang justru diam saja dan hanya menatap Ivy dengan mata melebar.
"Aku, akan menuruti ucapanmu, Race. Aku, tidak akan berpikiran untuk mati lagi. Sekali lagi aku minta maaf karena sudah membuatmu marah seperti ini," ucap Ivy lagi dengan mata berkaca-kaca sudah akan menangis.
“Kenapa kali ini aku diam saja disentuh gadis ini? Kenapa, aku harus khawatir dengan mimpi yang selalu hadir padaku tentang gadis ini? Ada apa sebenarnya padaku sekarang?” batin Race bermonolog.
***
Di paviliun Bungalo, tempat tinggal Race. Race dan Winter sedang minum-minum bersama malam ini.
"Kau, yakin tidak ingin menemui Ivy lagi?" tanya Winter.
“Iya,” singkat Race mengiyakan.
“Kau, aneh sekali, Race. Dia itu istrimu bukan orang asing.”
“Aku, tahu.”
“Lalu, kenapa sikapmu seperti itu? Bukankah kau akan menyakiti hatinya yang lembut?”
Race melihat ke arah Winter sekilas, Race lalu kembali meneguk minumannya.
"Aku, sudah bertanggung jawab padanya. Aku, mencukupi semua kebutuhannya, ada banyak pelayan yang menemaninya, dia hidup mewah dan tidak akan kurang satu apapun. Kurang apa lagi?" ujar Race.
“Race, Ivy bukan hanya membutuhkan itu semua. Bukankah dia lebih membutuhkan perhatian dan juga dirimu lebih dari apapun.”
Winter sedikit tidak sependapat dengan sepupunya itu.
Race tersenyum smirk lalu kembali menuangkan minuman ke gelasnya.
"Ini hanya pernikahan karena perjodohan, Winter. Lagipula pada akhirnya kami akan berpisah, aku tidak memiliki niatan untuk hidup selamanya dengan gadis itu."
"Kalau pikiranmu seperti itu, kenapa kau menerima perjodohan ini? Tidakkah kau sedang menyakiti seseorang sekarang?" tanya Winter lagi dengan ekspresi wajah berubah serius dan terlihat tidak senang dengan sikap Race sekarang.
"Karena ini takdirku. Pada akhirnya takdir ini juga untukmu, Winter. Di masa depan, aku akan melakukan apapun untuk dirimu putra mahkota," ucap Race yang sukses membuat bingung Winter.
“Untukku?” tanya Winter lagi.
“Iya, Ivy itu wanita tidak baik untukku ataupun untukmu. Aku, akan menghentikannya sebelum kau yang menjadi korban pertama karena Ivy.”
“Apa maksudmu, Race? Kenapa aku jadi korban Ivy? Siapa sebenarnya gadis itu?”
Winter semakin bingung dengan ucapan Winter.
“Putri bangsawan dari barat,” ujar Race enteng.
“Aku, juga tahu, tapi apa maksudmu dengan aku menjadi korban pertama Ivy?”
“Turuti saja perkataanku, Winter!”
“Apa pikiranku tentang Ivy benar?” batin Winter.
***
Ivy sedang berkeliling taman samping paviliun tempat tinggalnya sendirian. Ivy terlihat takjub melihat taman bunga yang tertata rapi.“Ternyata di paviliun yang berisi orang-orang dingin dan pelayan ketus ini, banyak bunga cantik yang tumbuh. Bunga apa ini? Anggrek ungu?”
Ivy tersenyum senang dan tangannya terulur tanpa ragu-ragu untuk memegang bunga itu. Seseorang menarik tangan Ivy cepat.
“Kau, ini benar-benar bodoh atau bagaimana?” ucap Winter.
Ivy mengerutkan keningnya melihat kedatangan Winter di paviliunnya.
“Kenapa?”
“Kau, tidak tahu?”
“Apa?”
“Bunga itu beracun, Ivy. Kau, tidak tahu?”
“Aku, tidak tahu sama sekali, Bunga secantik ini bisa beracun?”
Ivy terlihat bingung dan memandang bunga itu lagi.
“Kau, memang sangat polos, Iv. Kau, benar-benar tidak memegangnya bukan?” tanya Winter memastikan lagi.
“Em,,,aku belum memegangnya. Terima kasih sudah mencegahku memegangnya.”
“Ngomong-ngomong ada apa, kau datang kesini, Winter? Apakah ada urusan dengan Race? Kami tidak tinggal seatap,” tanya Ivy lagi.
“Aku tahu.”
“Lalu?”
“Bisa kita bicara berdua saja?” tanya Winter berwajah serius.
Winter dan Ivy berakhir berjalan-jalan keliling taman sembari terus mengobrol.
“Jadi, kau tidak tahu apa-apa tentang Race?” tanya Winter.
“Iya, sedikitpun. Karena itu aku tidak tahu kenapa aku dianggap ancaman oleh Race, terutama untukmu Winter,” jawab Ivy.
“Aku, juga tidak tahu apa maksud Race, tapi sejauh ini aku merasa kau tidak berbahaya bagiku, Iv. Maka dari itu aku datang kesini dan memastikan sendiri,” terang Winter.
Ivy tersenyum lalu memegang tengkuknya yang merinding.
“Tengkukku merinding, ada sihir yang akan mencelakai seseorang,” batin Ivy.
Mata Ivy lalu tertuju ke arah hutan dan melihat panah emas menuju ke arah mereka berdua.
“Itu sihir, aku harus melindungi Winter.”
Dengan cepat Ivy lalu memeluk Winter, menjadikan dirinya sendiri tameng.
“Hei! Kenapa, kau memelukku tiba-tiba? Apa yang kau lakukan?”
“Di,,,diamlah sebentar!”
“Ivy! Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?”
Winter melepaskan pelukan Ivy dengan paksa. Akhirnya Ivy melepas pelukannya pada Winter.
“Ivy! Apa yang terjadi padamu? Kenapa wajahmu membiru?” Winter mulai panik.
“Tidak,,,tidak ap…”
***
Di wilayah selatan Ivy sedang merapikan semua baju-bajunya. Tidak lama pintu kamarnya diketuk dari luar."Masuk!" titah Ivy singkat.Pintu kamarnya lalu terbuka dan Tesla masuk dengan membawa nampan makanan."Iv, ayo kita sarapan dulu. Perjalanan kita akan panjang dan lama," ujar Tesla yang kemudian meletakkan nampan berisi makanan itu di meja yang ada di kamar Ivy."Aku, belum lapar, Tesla," ujar Ivy yang kemudian menghentikan Ivy untuk mengemas bajunya."Meskipun belum lapar, tetaplah makan, Iv! Kau, butuh tenaga untuk tetap kuat. Energi mana dan harasmu baru saja kembali seimbang, kau bisa sakit lagi kalau mereka tidak seimbang lagi," tukas Tesla memaksa Ivy.Ivy berjalan mendekat pada Tesla lalu duduk di samping Tesla yang sedang sibuk mengambil makanan."Sebenarnya kita akan pergi kemana, Tesla?" tanya Ivy."Ke suatu daerah yang membutuhkan sihir penyembuhan, ini juga bisa jadi caramu melatih sihirmu yang sudah kembali, Iv," ucap Tesla."Kau benar, tapi apa aku sudah bisa?" tanya
Ivy terus saja diam dan melihat keluar jendela kamarnya. Sejak pulang dari istana tadi, Ivy hanya berdiam diri di kamarnya. Race sendiri tidak ikut pulang dan sedang ada di paviliun kedua orang tuanya sekarang. Ivy mengusap wajahnya pelan lalu menarik napas dalam."Jadi seperti ini cara Race mencegah semua yang sudah kami lewati kembali terjadi nanti. Apakah aku harus bersyukur karena pada akhirnya aku justru bisa meninggalkan Race tanpa membuatnya terluka, karena dia sendiri yang melepasku?" gumam Ivy bermonolog.Ivy tersenyum miris memikirkan nasibnya sendiri. Sejurus kemudian senyum Ivy menghilang begitu saja."Apa dengan begini aku justru aku akan kembali dipulangkan ke barat? Apakah aku harus kembali menjadi putri Marionet?" ucapny lagi.Ivy berhenti berbicara sendiri setelah pintu kamarnya diketuk dari luar. Ivy melihat ke arah pintu lalu menautkan alisnya heran."Siapa?" tanyanya singkat."Ini Gareta, Nyonya muda Iv. Di ruang tengah ada tamu yang menunggu anda," ujar Gareta dar
Ivy mengeliat pelan, badannya seperti remuk pagi ini. Itu membuat Ivy enggan turun dari ranjang, dia masih berselimut tebal dan melihat Race sudah tidak ada di sampingnya."Apa karena aku sekarang manusia biasa, jadi aku merasa sangat lelah setelah pertempuran semalam? Lalu, kenapa Race sepertinya tidak lelah? Atau aku yang terlalu mendramatisir?" gumam Ivy bertanya-tanya sendiri.Ivy menghela napas dalam lalu kembali menyembunyikan kepalanya di dalam selimut."Seperti ini saja lelah, lalu bagaimana bisa aku memiliki anak dengan Race?" ujarnya lagi.Ivy baru membuka selimut yang menutupi wajahnya saat merasa ada yang duduk di tepi ranjang. Ivy terkejut melihat Race yang sepertinya baru selesai mandi sudah ada di depannya."Race, sejak kapan kau disini?" tanya Ivy yang merasa malu karena apa yang dia ucapkan pasti didengar Race tadi.Race tersenyum lalu kemudian memukul kaki Ivy pelan."Apa yang membuatmu terus menggerutu seperti itu, Iv?" tanya Race yang merasa lucu mendengar ucapan I
Raja Michel sedang berkumpul dengan para petinggi kerajaan. Ada laporan tentang pergerakan pasukan wilayah utara menuju perbatasan. Mereka belum bisa tahu apa tujuan mereka kembali menuju wilayah timur. Yang jelas ini semua membuat Raja Michel kembali cemas."Jadi bagaimana, Raja Michel? Saya rasa tersebarnya berita Nyonya Ivy akan dieksekusi membuat pihak utara kembali memiliki keberanian," ucap salah satu petinggi kerajaan mengutarakan kegundahannya.Raja Michel tidak segera menanggapi dan terlihat berpikir skarang, Tuan Milano berdehem lalu mendekat pada Raja Michel."Sepertinya apa yang Winter katakan terjadi, Raja Michel," ujarnya.Raja Michel melihat ke arah Tuan Milano. Kepalanya mengangguk setuju dengan pemikiran sang kakak."Kau, benar, Kak. Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Raja Michel kemudian.Tuan Milano terdiam dan menatap sang adik dalam."Tidak ada cara lain," tuturnya."Maksudmu membebaskan Ivy? Bagaimana mungkin? Dia itu terlibat dalam banyak hal, Ka
Ivy tidak bisa menolak ajakan Race untuk tidur sekamar sekarang. Tidak biasanya suaminya yang selalu marah-marah itu mengajak tidur sekamar saat belum memiliki perasaan apapun pada Ivy dulu. Ivy terus saja gelisah dan belum bisa terlelap. Sedangkan Race sendiri sudah tidur pulas di samping Ivy. Sejurus kemudian Ivy melihat ke arah Race. Ivy mengambil posisi tidur menyamping dan terus memandangi wajah Race dengan teliti. Ivy mengulurkan tangannya dan mengusap pelan hidung Race dari atas hingga bawah."Kalau kita memang ditakdirkan untuk memiliki anak, aku yakin jika dia laki-laki maka dia akan setampan dirimu, Race," lirih Ivy setengah berbisik.Air mata Ivy lalu meleleh dengan sendirinya, Ivy menghapus air matanya dengan cepat lalu kemudian mengalihkan pandangannya dari Race. Ivy menghela napas dalam lalu memilih untuk duduk. Baru saja akan turun dari ranjang, tangan Ivy ditahan oleh tangan Race. Ivy melihat ke arah Race terkejut, sedangkan Race sendiri membuka matanya pelan."Tidur,
Race berlari memasuki kamar Ivy, dia baru saja bermimpi Ivy menjatuhkan dirinya dari jendela kamarnya. Setelah membuka pintu kamar dengan keras, Race lalu menarik Ivy yang sedang berdiri di dekat jendela."Kau, gila? Bukankah aku bilang kalau mau mati jangan di paviliun ku!" hardik Race penuh dengan amarah.Ivy sendiri melebarkan matanya terkejut mendengar ucapan Race, Ivy lalu berkedip beberapa kali. Race sendiri terdengar menghela napas gusar lalu kemudian menyeret Ivy menuju ranjang. Race mendudukkan Ivy sedikit kasar hingga membuat Ivy hampir saja jatuh ke belakang."Kau, gila?" tanya Race dengan suara keras"Aku?" tanya Ivy balik."Ya, siapa lagi? Kalau kau tidak gila, untuk apa kau berpikiran lompat dari jendela itu?" ujar Race yang terlihat begitu kesal dengan apa yang Ivy lakukan."Lompat? Bagaimana dia bisa tahu kalau aku berpikir seperti itu?" batin Ivy sembari menatap Race tidak percaya."Jawab! Kenapa diam saja? Kau, tidak akan sedikitpun kekurangan disini. Aku, akan berta