Tok ... tok ... tok
Laura membuka matanya setelah mendengar suara ketukan pintu. Ia beranjak duduk dan melihat jam yang ada di nakas dekat tempat tidurnya. Waktu menunjukkan pukul 5.30 WIB.Hampir aja aku telat, batinnya dalam hati.Tok ... tok ... tok"Laura, ini Bibi bawakan susu.""Iya Bik, bentar." Laura beranjak dari tempat tidur dan segera menuju pintu."Makasih ya Bik.""Laura, kamu baik-baik aja kan?" Bik Mia memperhatikan wajah Laura yang tampak kurang baik."Aku baik-baik aja, nggak perlu khawatir Bik."Laura berusaha tersenyum selebar mungkin untuk menutupi segalanya. Tanpa sengaja, Bik Mia menyentuh pergelangan tangan Laura yang masih terbalut kain kasa itu. Sentuhan Bik Mia mengundang sakit dari luka itu yang membuat Laura sedikit meringis kesakitan. Laura lupa menggunakan deker pelindung pergelangan tangan."Ini kenapa?""Ehh, bukan apa-apa. Hanya luka kecil saja Bik, nggak perlu khawatir.""Kenapa bisa terluka nak? Pasti sakit ya, Bibi akan ambil obat dulu."Laura menghentikan Bik Mia, "nggak perlu Bik, aku baik-baik aja."Laurel datang menemui adiknya untuk hal yang sama juga, ia ingin memastikan adiknya baik-baik saja. Namun, ia melihat Bik Mia bersama Laura."Ini kenapa dek? Kok Lo bisa luka?" tanya Laurel yang juga melihat bercak darah di kain kasa itu."Bukan apa-apa, ini karena gue nggak hati-hati saat praktek biologi kemarin," ucap Laura berbohong pada Laurel dan Bik Mia. Ia tidak mau mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi."Lain kali Lo harus lebih hati-hati. Yaudah kita ke dokter hari ini, jangan dulu ke sekolah.""Nggak, gue udah obatin kok. Lagian udah nggak sakit lagi.""Kamu harus ke dokter dulu," kata Bik Mia membenarkan perkataan Laurel."Bik, Laura baik-baik aja kok. Bibik sama kakak nggak perlu khawatir," Laura berusaha meyakinkan mereka berdua, dan ia berhasil melakukannya."Yaudah, sana kamu mandi biar nggak telat sekolahnya.""Bibik juga akan siapin sarapan dulu ya untuk kalian," Bik Mia melangkahkan kakinya menuju dapur. Sebelumnya, Laura telah menghabiskan susu yang di bawakan Bik Mia. Dan yang harus ia lakukan sekarang adalah bersikap seolah semuanya baik-baik saja.Laura menghela nafas berat, setelah semua yang kembali terjadi semalam. Aku harus bisa menghadapi semuanya, bertahanlah sedikit lagi. Maka semuanya akan kembali baik-baik saja, batinnya menyemangati dirinya sendiri.Laura turun ke bawah untuk sarapan. Setelah apa yang terjadi semalam, Laura bahkan berpikir dua kali untuk sarapan pagi bersama mereka. Tapi ia memberanikan diri, selagi Laura masih di rumah itu, ia tidak akan pernah menyerah untuk memperjuangkan haknya sebagai seorang anak. Suasana meja makan tetap seperti biasanya, ia iri dengan sikap orang tuanya pada Laurel. Tapi, memang seperti ini.Meja makan di selingi canda tawa bahagia, tapi tidak bagi Laura. Hanya luka yang ia dapat, Laura juga kebanyakan diam dan fokus pada makanannya.Laurel tidak bisa berbuat apa-apa, membuatnya seakan merasa bersalah atas apa yang terjadi pada adiknya. Laurel tidak bisa melindungi Laura dari orang tuanya, entah apa yang akan terjadi. Tapi harapan adik kakak itu tidak pernah putus.•••Seperti biasa, Laurel mengantar Laura ke sekolah sebelum ia ke kampusnya sendiri. Laurel terus memperhatikan adiknya yang sedari tadi diam, tidak seperti biasanya. Laurel tidak tahu apa yang ada di pikiran adiknya, ia berharap Laura tidak memikirkan sesuatu yang dapat membahayakan dirinya."Kenapa sih lo suka banget pakai deker pergelangan tangan?" Laurel berusaha mencari topik yang bagus di pagi hari ini."Suka aja, nyaman pakainya."Mereka menghabiskan perjalanan dengan bercakap-cakap ringan. Setidaknya, suasana cepat berubah. Dan seperti biasanya, hari-hari Laura begitu sibuk. Ia harus menyiapkan pertandingan persahabatan antarsekolah, mereka harus menang. Untuk itu, Laura melupakan sejenak masalahnya. Begitulah, Laura memang pandai dalam menyembunyikan sesuatu.Laura tiba di sekolah, dan hal itu bertepatan dengan Rafael juga. Rafael memandang sosok yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Sejujurnya, ia penasaran dengan cowok yang selalu mengantar-jemput Laura sejak ia pindah kesekolah barunya. Rafael terus menatap Laura yang masih sedikit berbincang dengan kakaknya. Ia pun menunggunya untuk berjalan bersama menuju kelas."Itu, pacar lo?""Ini kali keduanya lo nanya tentang hal itu. Ingat jawaban gue hari itu?" Laura bertanya balik kepada Rafael, ia bahkan tidak menghentikan langkahnya."Iya ingat kok, gue kan nggak pikun.""Dan itu juga jawaban gue hari ini. Dari pada lo mikirin itu, mending pikirin deh gimana caranya kita menang dalam pertandingan beberapa hari lagi."Rafael terlihat kesal dengan jawaban Laura, entah mengapa ia sangat mengharapkan Laura menjawab pertanyaan konyolnya itu. Mereka berdua berjalan di selasar ruang-ruang kelas. Dan seperti rutinitas tim basket, mereka terus mengasah kemampuan mereka agar bisa menang dalam pertandingan ini.✿✿✿Tiba saatnya hari H, hari di mana mereka akan bertanding basket. Seluruh aula pertandingan basket telah di penuhi oleh penonton untuk memberikan semangat kepada tim masing-masing."Sebentar lagi kita akan masuk lapangan, gue harap kalian nggak tegang, dan terus melakukan yang selama ini kita latih bersama."Rafael memberi semangat pada tim basketnya, ia berharap latihan mereka tidak sia-sia."Baiklah, jangan membuang waktu lagi. Sekarang mari kita saksikan pertandingan basket antara SMA N 3 Bandung dan SMA N 5 Bandung. Untuk peserta silahkan masuk ke area pertandingan," kata si pembawa acara.Saat ini, yang akan bertanding pertama adalah basket putra. Setelah melalui sedikit pemanasan, pertandingan akhirnya di mulai. Bola jatuh di tim lawan, dan tim Rafael berusaha merebut bola.Cukup lama bola di kuasai oleh tim lawan, tetapi Rafael berhasil mengendalikan bolanya. Namun, saat hendak melakukan tembakan mereka kehilangan bola. Bola kembali di rebut oleh tim lawan dan akhirnya mereka ber
Nuansa biru mendominasi kamar Laura, cahaya lampu yang remang-remang menemaninya dalam kesunyian malam. Ia mengunci dirinya di dalam kamar, terngiang-ngiang di pikirannya tentang perihal yang di katakan dokter siang itu.Laura kembali membaca hasil tes yang ia sembunyikan dari semua orang, menangis dalam diam, dan menikmati luka yang kian lama kian membesar. Mungkin, ini salah satunya jalan untuknya agar dapat mengakhiri semua luka di hati nya."Gue bakalan nantiin hari itu, hari yang mampu membuat Bunda ma Ayah bahagia. Inilah jalan yang di berikan Tuhan buat gue, buat akhiri penderitaan ini."Laura memandangi pil yang ada di genggamannya, ia membelinya secara diam-diam tanpa seorang pun yang tahu. Laura tidak ingin menjadi beban buat siapapun juga. Ia ingin hidup dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Sampai tiba waktunya untuk kembali kepada Sang Pencipta.Laura mengambil satu butir pil, lalu meminumnya. Itu pil penghilang rasa sakit, hanya itu tompangannya saat ini. Saat ia benar-be
Suasana meja makan seperti biasanya, tidak ada yang menarik bagi Laura. Bahkan, ia sangat tidak nyaman jika ada di meja makan, di antara keluarga yang tengah bercanda gurau itu.Laura bisa sesekali tersenyum saat mendapati hal lucu yang di lakukan Laurel, tapi hatinya juga terluka saat ia hanya menjadi penonton, tanpa bisa melakukan apa-apa yang mampu membuat Ayah dan Bundanya bahagia. Laura sangat ingin, melihat senyum dari orang tuanya karena dirinya, tapi itu mustahil. Ia tidak akan pernah bisa melakukannya."Yah, Bun. Seminggu lagi Laurel harus pergi ke London. Ada pertukaran mahasiswa KKN, Laurel di izinkan?""Tentu saja sayang," kata Indah sambil mengusap rambut putranya dengan penuh kasih sayang."Berapa lama kamu di sana?""Hm, nggak lama kok yah. Hanya sekitar 10-14 hari," Laurel tetap melanjutkan makannya."Jaga diri baik-baik tuh di sana."Laurel hanya mengangguk mendengar perkataan Indah, ada sesuatu yang terus menganggu pikirannya, Laura. Bagaimana dengan adik kesayanganny
Seminggu kemudian, Laura dan keluarganya mengantar Laurel ke bandara. Untunglah, Laura di izinkan ikut mengantar Laurel ke bandara. Laura sedih, selama beberapa hari ia pasti akan merindukan kakaknya.Bukan hanya itu, Laura juga takut dengan apa yang akan terjadi padanya selama Laurel tidak ada. Tapi, mau tidak mau ia harus menjalaninya sendiri. Hanya satu hal yang terlintas di pikirannya, Laura mau kakaknya akan pulang dengan selamat.Setelah berpamitan dengan ayah dan ibunya, Laurel menghampiri Laura, memeluknya erat yang membuat Laura meneteskan air mata."Lo harus bisa baik-baik saja, ya?" Laurel menghapus air mata adiknya dengan tangannya. Dan Laura berusaha tersenyum sebaik mungkin. Ia tidak mau membuat Laurel bersedih saat akan pergi."Gue pasti akan baik-baik aja," katanya sambil tersenyum.Setelah menerima jawaban itu, Laurel segera pergi, karena pesawat akan segera lepas landas. Melihat kakaknya yang sudah berangkat, Laura dan keluarganya kembali ke mobil untuk pulang ke ruma
Laura terbangun dari tidurnya, kepalanya sakit, dan tangannya perih. Ia melihat ada beberapa sayatan di tangannya. Laura segera bangun dan merapikan tempat tidur. Tidak lupa juga ia membersihkan darah kering yang ada di lantai dekat ranjang.Karena ini hari libur, ia mandi dan diam di kamar. Sejak semalam Laura tidak keluar kamar, bahkan tidak makan malam. Hal itu membuat Bik Mia khawatir. Bik Mia membawakan sarapan ke kamar Laura.Tok ... tok ... tokMendengar suara ketukan pintu, Laura bergegas menuju pintu dan membukanya. Nampak sosok Bik Mia dengan nampan di tangannya."Non belum makan sejak semalam, jadi Bibi bawakan sarapan.""Iya, makasih banyak ya Bik." Laura berkata sambil tersenyum. Ia berusaha menutupi luka yang saat ini ia rasa. Laura benar-benar tidak mau ada yang mengetahui tentang hal itu."Non, baik-baik aja kan? Apa nyonya melakukan sesuatu pada non?""Aku baik-baik aja, Bik. Tidak perlu khawatir," Laura meyakinkan Bik Mia bahwa ia baik-baik saja. Sebenarnya Bik Mia ti
Laura membuka gagang pintu depan, ia mengintip ke dalam rumahnya. Tidak ada satupun yang ia lihat, sepi dan senyap, tampaknya semua orang sudah tidur.Laura membuka pintu dengan hati-hati, untungnya ia mempunyai kunci cadangan. Laura masuk ke dalam rumah tanpa suara. Saat ia membuka pintu kamar, Laura mendengar suara langkah kaki. Ia menoleh ke belakang dan yap, itu adalah ibunya.Plakk.."Dari mana saja kamu malam-malam begini?" Indah menampar Laura dengan tamparan yang sangat keras. Pasti menyakitkan bukan?"Aku ... aku pergi sama temen, bun.""Kamu emang anak kurang ajar. Menyesal saya udah pernah lahirin kamu," kata-kata Indah yang membuat Laura sangat terpukul. Ia benar-benar sedih, dan kecewa. Ibu yang sangat ia hormati mengatakan hal seperti itu. Anak mana yang tidak sakit hati."Kenapa juga saya di lahirin? Kenapa?!" Laura lepas kendali. Ia tidak mampu menahan emosinya lagi, suara Laura membangunkan Bik Mia dan Iswan. Merasa ada yang tidak beres, mereka berdua bergegas ke tempa
Laura terbangun dari tidurnya, badannya pegal-pegal, dan lagi kepalanya yang masih pusing sejak semalam. Ia menatap dirinya di cermin, berusaha mengukir senyuman yang indah.Itu berhasil, ia bisa terlihat baik-baik saja sekarang. Tapi ada satu hal lagi, penyakitnya kambuh. Tapi itu tidak masalah baginya, rasa sakit seperti teman baginya.Sejujurnya, Laura saat ini tidak baik-baik saja. Baik itu fisik ataupun psikis nya. Laura menderita penyakit 'kardiomegali', atau pembengkakkan pada jantung. Saat ia pingsan hari itu, dokter menyerahkan hasil tes yang ia sembunyikan selama ini. Laura segera mandi dan bersiap ke sekolah. Ia juga membawa pil itu bersamanya.Saat sarapan, Laura hanya diam seperti biasanya, tidak memperdulikan apa yang di katakan ayah dan ibunya. Laura berpamitan, walaupun tidak di respon oleh ibunya, setidaknya ia tahu tentang tata krama.Tidak di sangka, Rafael ternyata sudah menunggunya di depan gerbang rumah. Memang sih, selama Laurel tidak ada, Rafael yang akan selalu
Dua bulan berlalu begitu cepat. Seluruh kelas XII bersiap untuk memasuki ruang ujian. Seperti yang di katakan dua bulan yang lalu. Ini adalah penentu nasib mereka, lulus atau tidak, itu tergantung usaha mereka semua. Selama seminggu, para siswa kelas XII termasuk Laura, Rafael, Kinan dan Akbar bersusah payah agar mendapat nilai terbaik di ujian ini.Setidaknya ujian kali ini, Kinan dan Akbar lebih serius dari biasanya. Karena memang setiap ujian, Kinan akan bergantung pada Laura, dan Akbar terpisah kelas dengan mereka. Mungkin Akbar akan menyimpan contekan di bawah mejanya.Laurel juga sudah kembali dari London sebulan yang lalu. Tapi karena kesibukannya, Laura tetap di antar jemput oleh Rafael. Tentu saja, Rafael sangat senang dengan hal itu. Ia mempunyai waktu sedikit lebih lama bersama Laura.Laurel sibuk dengan skripsi yang harus segera di kumpulkan nya ke dosen. Itulah hal yang tidak dapat ia hindari. Tidak banyak yang berubah akhir-akhir ini. Begitupun dengan usaha Laura untuk me