Rafael menghentikan mobilnya di sebuah restoran. Mereka berdua akan makan di tempat itu. Sedari tadi perasaan Laura tidak enak, ia merasa akan ada yang terjadi pad nya. Tapi sejenak, Laura melupakan semua perasaan itu. Mereka berdua memesan dan langsung melahap makanan masing-masing. Tidak butuh waktu lama untuk makan.
"Nih," Laura hendak memberi uangnya, tapi Rafael melarangnya."Nanti gue yang bayar, nggak ada tapi-tapian." Rafael seakan mengerti ekspresi wajahnya Laura. Sementara Laura hanya bisa menghela nafas dengan sikap Rafael. Mereka bahkan baru bertemu beberapa hari yang lalu, dan sekarang bisa lumayan sedekat ini. Semua terjadi begitu saja, tanpa di rencanakan.Makan malam berlalu begitu cepat. Saatnya untuk Laura kembali ke rumah sebelum ia mendapat masalah besar. Laura menunjukkan jalan menuju rumahnya kepada Rafael karena ini kali pertama Rafael mengantar dirinya pulang. Jalanan kota mulai lenggang, sehingga tidak butuh waktu lama untuk Laura tiba di depan rumah keluarga Alibasyah.Laura menatap rumah mewah itu, hanya tatapan sendu yang terlukis di mata gadis tersebut. Rumah yang tampaknya nyaman, justru menjadi tempat yang paling menyakitkan baginya."Makasih, ya." Laura menatap Rafael sejenak sebelum ia mulai melangkahkan kakinya memasuki pekarangan rumah tersebut."Laura! Lain kali. Bisakah kita makan malam lagi?" Mendengar seruan Rafael, Laura hanya bisa tersenyum sebagai jawabannya.•••Saat sampai di depan pintu, Laura sengaja membuka pintu tanpa suara. Ia tak mau membuat keributan malam-malam begini, di tambah lagi Laura sedang sangat capek hari ini. Lampu rumah telah di matikan, waktu menunjukkan pukul 20.00 WIB.Pastinya, semua orang di rumahnya saat ini sudah stay di tempat tidur masing-masing. Tapi saat ia melangkah, tiba-tiba lampu rumah menyala. Laura melihat ke arah saklar lampu. Ia terkejut, yang sekarang di hadapannya adalah ibunya. Ia sedang memandangi Laura yang sekarang masih mengenakam seragam sekolah."Bunda belum tidur?" Tanya Laura ragu-ragu, ia sangat tidak ingin membuat keributan malam begini. Kondisi fisiknya juga sedang tidak baik."Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang?" "Latihan basket Bun. Tidak lama lagi akan ada pertandingan persahabatan," jawabnya sambil menunduk, Laura bahkan tidak berani menetap wajah ibunya."Latihan basket sampai larut begini? Jam berapa sekarang?""Iya Bun, Laura hanya latihan basket doang.""Ellaah, alasan. Paling juga kamu keluyuran, apa kata orang nanti." Kata Indah sambil menyilangkan tangannya di dada."Laura hanya latihan basket Bun, beneran.""Saya nggak percaya, bisa saja kan kamu bohong. Dan juga, saya mau tegaskan satu hal lagi. Jangan panggil saya dengan sebutan Bunda. Saya nggak sudi punya anak kayak kamu!""Kenapa sih, Bunda selalu bersikap kek gini sama Laura? Laura juga anak Bunda, sama kayak kak Laurel. Bunda nggak pernah percaya sama Laura, Binda nggak pernah peduli sama Laura. Kenapa Bun?" Laura berusaha membendung air matanya agar tidak keluar. Tapi air mata itu seakan ingin merasa terjun bebas di pipi Laura."Kamu beda dari Laurel, BEDA!! Kamu bahkan nggak pantas ada di sini. Saya tidak sudi punya anak seperti kamu!!""Laura juga nggak pernah berharap di lahirkan ke dunia ini sama Bunda!!" emosinya tak terkendali, antara marah, sedih, dan kecewa. Ia tidak dapat mengendalikan semuanya.Plaakk ...Plaakk ...Suara keributan dan di timbulkan membangunkan Iswan, Laurel, dan Bik Mia. Mereka segera bergegas ke ruang tengah tempat suara itu berasal. Laurel melihat adiknya yang tersungkur di lantai dan membantunya berdiri."Lo baik-baik saja kan?" Laurel melihat pipi Laura yang memerah akibat tamparan ibunya, ia benar-benar kecewa dengan apa yang ibunya lakukan malam ini."Bun, kenapa Bunda ngelakuin ini? Dia adik aku, anak Bunda ma ayah.""Dia bukan adik kamu, dia juga bukan anak Bunda. Dia anak pembawa SIAL!" indah menegaskan kata 'sial' pada kalimatnya. Iswan berusaha menenangkan istrinya yang makin tak terkendali."Bunda selalu saja seperti itu," Laura tersenyum miring dan beranjak dari tempatnya sekarang. Ia berjalan menuju kamarnya. Saat melewati foto keluarga yang terletak di meja, ia sengaja menjatuhkannya dan segera menuju kamarnya.Laura mengunci diri dalam kamar, kata-kata itu terus tergiang di pikirannya. Ini memang bukan pertama kalinya Laura mendapat perlakuan seperti ini. Tapi, rasanya sangat menyakitkan, benar-benar menyakitkan. Saat ini Laura benar-benar kacau, fisiknya lelah sementara batinnya hancur.Selama ini, ia selalu berharap bisa mendapatkan haknya sebagai seorang anak. Tapi apa? Ia bahkan tidak pernah merasakan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Ingin rasanya ia pergi, sejauh-jauhnya.Tapi rasanya sulit meninggalkan orang yang ia sayang. Dan Laura memilih bertahan dengan segala luka ini. Entah sampai kapan ia bisa bertahan, tapi Laura berharap bahwa suatu saat nanti ia dapat merasakan kasih sayang yang sesungguhnya.Laura terus menangis dalam diam, saat ini Laura merasa benar-benar sendirian. Hingga tak sengaja ia melihat cutter yang mengintip dari balik bantalnya."Saat ini, aku benar-benar membutuhkanmu," Laura mengambil benda itu, menyayat pergelangan tangannya. Satu goresan seakan tidak cukup mengalihkan rasa sakit yang ada di hatinya. Dua goresan, tiga, empat, dan berakhir menjadi lima goresan. Laura benar-benar melakukannya sekarang. Ada rasa puas setelah melampiaskan segala yang ia rasa dalam sayatan di pergelangan tangannya. Laura tersenyum miring setelah melihat tangannya yang penuh darah itu.Tok ... tok ... tok"Ra? Buka pintunya bentar. Biarin gue temenin lo malam ini.""Non, Bibi bawain susu buat non. Tolong ya buka pintunya," pinta Bik Mia yang juga sama khawatirnya dengan Laurel."Kak, Bik gue lagi pengen sendiri. Gue capek, gue mau tidur.""Iya, sini gue temenin Ra." Laurel berusaha membujuk adiknya itu."Nggak apa-apa kok kak, gue bisa tidur sendiri."Laura bersikeras sehingga mereka berdua pun mengalah dan meninggalkan kamar Laura. Ia bergegas ke kamar mandi dan mencuci tangan juga cutternya. Walaupun ia sering menciptakan sayatan di pergelangan tangannya, Laura tetap menyayangi bagian tubuhnya. Ia membersihkan luka dan membalutnya dengan perban. Laura beranjak ke tempat tidurnya, ia benar-benar capek.Laura berniat tidur dan melupakan sejenak tentang kesedihannya. Karena fisiknya yang lumayan buruk, ia sangat mudah terlelap dalam tidurnya. Perlahan-lahan, kesadarannya mulai menghilang dan di gantikan dengan alam bawah sadarnya. Laura telah terlelap dalam tidurnya✿✿✿"Gimana kabar lo di sana?" Tanya seorang cowok dengan perawakan tinggi itu, ia meletakkan benda pipih berteknologi di telinganya, "Semuanya lancar, kan?" Tanyanya kemudian."He'em, gue baik." Jawabnya sekilas sebelum melanjutkan kalimatnya, "Vc ya, gue pen tau lo lagi ngapain sekarang."Akbar mangut-mangut, mengiyakan permintaan sang pujaan hati. Ia menekan ikon video call di layar ponselnya. Tidak berselang lama, monitor ponsel menampilkan sosok seorang gadis dengan rambut di kuncir kuda, berjalan santai di selasar gedung."Di mana, beb?" Cowok yang kerap di sapa Akbar memulai obrolan video tersebut, "sama Laura?"Kinan hanya mengangguk, lantas menggeser ponselnya hingga kamera menangkap sosok gadis yang sedang asik mengotak atik benda pipih berteknologi tinggi tersebut. "Habis kuliah nih, mau balik asrama.""Rafael mana, Bar?" Laura mendekatkan diri pada Kinan, ikut bergabung dalam obrolan kedua pasangan jarak jauh itu. "Dia sibuk, kah?""Rafael?" Kal
Nyonya besar keluarga Alibasyah itu memasuki ruangan seorang dokter yang tidak lain adalah putranya sendiri, Laurel. Wanita paruh baya tersebut melihat perubahan raut wajah penghuni ruangan, seperti nampak tidak ingin di kunjungi olehnya.Wanita paruh baya yang tidak lain adalah Indah, berjalan perlahan ke arah Laurel, lantas mendudukkan dirinya di kursi yang biasa di duduki oleh tamu yang berkunjung ke ruang kerja sang dokter. "Apa ... kamu tidak senang melihat Bunda berkunjung, Nak?"Laurel menatap sekilas, lantas mengalihkan pandangannya, berharap bahwa perasaan gundahnya pun ikut teralihkan, "Bunda ngapain di sini?" Ujarnya datar tanpa menunjukkan raut wajah apapun."Ah, Bunda hanya ingin melihat kamu saja," Indah menatap lekat manik mata Laurel, berusaha membaca isi pikiran yang lawan bicaranya. "Rasanya sudah lama Bunda tidak melihat kamu, rasanya ada yang hilang. Kamu sudah sangat jarang pulang ke rumah, Rel.""Belakangan ini aku cukup sibuk, Bun. Maaf," Laure
Dengan perasaan hancur, Aletta mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Hatinya panas, seakan ada baja panas yang tengah di redam di dalamnya. Gadis itu tidak bisa mengendalikan emosi yang kian membesar, menciptakan luka yang kelak menggangu pikiran.Matanya terasa panas hingga beberapa bulir bening berhasil meloloskan diri dari pelupuk mata yang indah itu. Pandangan Aletta mulai memburam akibat hambatan dari bulir bening tersebut, ia memutuskan untuk membawa mobilnya ke tempat yang sepi untuk menghindari kecelakaan beruntun yang berpotensi terjadi.Mobilnya mulai melambat kala memasuki jalanan hutan yang jarang di lalui penduduk lokal. Gadis dengan rambut yang di sanggul itu menepikan mobilnya, lantas menunduk ke arah setir mobil.Tangisnya tidak dapat ia sembunyikan lagi. Bulir-bulir bening itu berdesakan seakan tidak sabar untuk keluar dari pelupuk mata, hingga menciptakan lembab di area mata indahnya. Gadis itu menumpahkan segala tangis yang terdenga
Lenggang, hanya beberapa bunyi mendesing dari kenderaan yang sesekali lewat di jalanan itu. Tempat yang sunyi, tetapi damai untuk seseorang yang bisa saja mempunyai beban pikiran. Setidaknya, tempat itu jauh dari hiruk dan pikuknya dunia.Cowok dengan potongan rambut comma layaknya cowok Korea itu duduk termenung sembari menatap kosong hamparan danau yang membentang indah. Entah apa yang sedang menganggu pikirannya, cowok itu hanya terus menatap kosong ke arah danau. Bahkan, ia tidak menyadari kehadiran orang lain di dekatnya."Sepertinya kamu sedang dalam masalah, Rafael. Kamu bisa berbagi masalahnya denganku, kamu tahu? Aku pendengar sejati, loh." Cewek dengan rambut yang di sanggul itu menatap Rafael sejenak sebelum akhirnya ikut menatap danau.Suara itu membuyarkan lamunan Rafael, membuatnya kembali pada kenyataan dan tersadar bahwa ada orang lain di sekitarnya. Untuk sedetik berlalu, Rafael di buat terkejut karena kehadiran yang terkesan tiba-tiba, atau mungkinkah i
Suasana kediaman milik keluarga Alibasyah nampak lebih sepi dari biasanya. Rumah mewah itu menampakkan kesunyian yang terpampang jelas. Sejak Laura pergi ke Turki untuk melanjutkan pendidikan gadis itu, Laurel sangat kecewa karena harus berpisah dengan adik kesayangannya. Hal tersebut membuat cowok itu jarang menampakkan diri di rumah mewah tersebut. Biasanya, ruang makan selalu di selingi dengan canda tawa dari anggota keluarga Alibasyah yang hanya terhitung jari itu. Kini, kadang kala hanya ada Indah dan suaminya. Laurel sering beralasan karena jadwal pemeriksaan yang padat untuk menghindari cowok itu pulang ke rumah dan mengulas luka lama. "Kayaknya aku akan pulang sedikit lebih lama dari biasanya, kamu jangan sampai kecapean, ya?" Lelaki paruh baya yang menyandang status sebagai kepala keluarga Alibasyah sekaligus pemilik beberapa perusahaan besar lainnya membuka percakapan setelah kesunyian menerpa mereka beberapa saat yang lalu.
Rafael duduk di kamarnya, cowok idaman para cewek itu menyandarkan diri di dinding. Mungkin melepaskan lelah setelah melewati hari tanpa gadis terkasihnya, Laura.Cowok itu menghembuskan nafas pelan, berusaha untuk melepaskan beberapa beban hidup melalui hembusan nafas tersebut. Rafael menatap lamat-lamat kamar yang lenggang, hanya ia sendiri yang berada di kamar mewah itu.Namun, apa gunanya berada di kamar mewah nanti sepi itu? Hanya menambah kesunyian di tengah kemewahan yang di nikmati seorang diri. Rafael meraih sebuah foto yang setia terletak di nakas yang berada beberapa sentimeter dari letak ranjangnya.Manik mata cowok itu memandang sendu foto yang kini berada dalam genggamannya, menatapnya dengan tatapan sedih. Dalam tatapan itu bercampur aduk berbagai macam emosi.Marah, sedih, kecewa, semua tergabung dalam tatapan sendu yang cowok itu tunjukkan.Pikirannya kembali ke masa di mana cowok remaja itu masih berusia belia. Ken