Dara, yang sejak tadi setia di sisi Serin, segera menarik tubuh sahabatnya ke dalam pelukan. Pelukan yang erat, lembut, dan menenangkan—seolah menjadi jembatan antara kegelapan di masa lalu, dan terang yang sudah terbit di masa depan. “Serin, ini keajaiban,” bisik Dara dengan suara serak, menahan tangis.Serin tersenyum sambil mengangguk perlahan. Masih menatap kagum ke sekelilingnya, seperti seorang bayi yang baru pertama kali melihat dunia.Dokter pun mendekat, setelah memberi waktu sebentar bagi Serin untuk menenangkan diri. Dengan ketelitian profesional, ia mulai memeriksa kondisi kedua mata Serin secara menyeluruh.“Sekarang, saya akan memeriksa pupil dan reaksi mata terhadap cahaya,” ujar sang dokter sembari mengarahkan senternya. “Tolong tatap ke arah cahaya ini, lalu gerakkan matamu ke kiri, kanan, atas, dan bawah.”Serin mengikuti setiap instruksi yang diberikan kepadanya. Sang dokter memperhatikan dengan cermat bagaimana pupil Serin bereaksi, sekaligus memastikan tidak ada
Di balik gorden jendela apartemen yang terbuka separuh, Jeandra berdiri di hadapan cermin besar. Mata wanita itu menatap bayangan dirinya sendiri dengan tatapan penuh keyakinan. Hari yang mendebarkan akhirnya tiba. Hari di mana ia bukan lagi desainer ternama, Jeandra Albantara, melainkan seorang sekretaris baru yang memiliki misi tersembunyi.Untuk penampilan perdananya, Jeandra mengenakan blouse putih gading dengan kerah bulat, dan rok span abu-abu yang jatuh hingga selutut—gaya yang sopan, bersih, dan cenderung konservatif. Rambutnya yang sebelumnya cokelat terang kini telah berubah menjadi hitam legam. Kali ini, ia membiarkan rambut itu terurai menyentuh bahunya, dan dijepit sedikit di sisi kanan agar tetap rapi. Jeandra hanya mengenakan riasan tipis, dengan alas bedak ringan dan sedikit blush on yang menambahkan rona sehat. Namun, ada satu hal yang mencolok: bibirnya yang kini dilapisi lipstik merah mawar matte keluaran brand mewah —lipstik tanpa jejak, yang tak akan meninggalkan
Kenan mengerjap, seolah tidak mempercayai pendengarannya sendiri. Ia menatap Jeandra selama tiga detik penuh dengan bibir terkatup rapat. Sementara, Jeandra yang masih memegang gelang di tangan, melangkah mundur seperti sedang menghadapi makhluk gaib. Namun seketika, suasana berubah tegang saat suara berat Kenan memecah udara.“Jangan sentuh gelang-gelang itu!” serunya tajam, matanya menatap langsung ke arah tangan Jeandra.Refleks, karena terkejut dan gugup, Jeandra menjatuhkan gelang warna-warni yang sedari tadi ia pegang. Gelang itu jatuh berputar di udara, sebelum menggelinding dan mendarat dengan bunyi pelan di lantai marmer.“Ah, maaf—” gumam Jeandra panik.Kenan maju dengan cepat. Ia membungkuk hendak mengambil gelang tersebut, bersamaan dengan Jeandra yang juga ikut merunduk. Alhasil, dahi mereka saling bertubrukan dalam satu hentakan kecil yang tak terduga.Duk!“Aduh,” keluh Jeandra terpekik kaget.Keduanya mendongak bersamaan. Bukan hanya dahi mereka yang bertemu, tetapi t
Begitu ucapan itu meluncur dari mulut sang manajer HRD, kelopak mata Jeandra terbelalak lebar, seolah baru saja mendengar kabar bahwa bumi akan berhenti berputar. Ia menatap Pak Andika dengan sorot tak percaya. Dalam hatinya, genderang protes sudah ditabuh habis-habisan.Sekalipun ia belum memiliki rencana untuk menikah dalam waktu dekat—bahkan dalam lima tahun ke depan pun tidak —namun tetap saja, larangan seperti itu melanggar ranah privasi seseorang. Dengan kata lain, Pradipta Group telah mencampuri urusan pribadi pegawainya, dengan mengatasnamakan “kontrak kerja”.“Maaf, Pak, apakah saya tidak salah dengar tadi?” tanya Jeandra hati-hati, kembali duduk di kursi di hadapan meja kerja Pak Andika. “Larangan menikah? Bukankah itu melanggar hak pribadi seseorang?”Pak Andika tersenyum tenang, tetapi senyum itu justru membuat dada Jeandra terasa makin sesak. Ekspresinya seolah mengatakan, bahwa pekerjaan terkadang bisa lebih kejam daripada percintaan.“Bukankah tadi saya sudah menyuruh
Di sudut kota yang lain, seorang gadis muda bernama Serin sedang bersiap memulai babak baru dalam hidupnya. Udara pagi yang masih segar menyentuh kulit wajahnya, menyusup lembut ke balik rambutnya yang tersanggul rapi. Hatinya penuh semangat dan debar-debar kecil yang tak henti berdentang.Setelah bersiap, Serin keluar dari kos sembari menggandeng tangan kecil Tristan. Ia ingin mengantar sang keponakan ke sekolah, sebelum berangkat ke kantor Verdant Group.Dengan pelukan hangat dan bisikan semangat di telinga Tristan, Serin melepas bocah kecil itu ke dalam gerbang sekolah. Kemudian, ia melangkah ringan menuju pinggir jalan, menunggu ojek motor yang telah ia pesan sejak tadi.Tangan kiri Serin menggenggam map berisi berkas-berkas penting yang diminta oleh Bu Marisa —identitas, fotokopi ijazah, dan buku tabungan. Mengingat hari ini adalah hari pertamanya bekerja, ia sengaja berangkat lebih pagi. Bukan hanya tak ingin terlambat, melainkan karena adanya dorongan yang begitu kuat di dalam
Serin melangkah menyusuri koridor lantai tiga dengan hati-hati, penuh rasa ingin tahu. Setelah mengikuti petunjuk arah yang tertempel rapi di dinding, akhirnya ia tiba di depan sebuah pintu dengan papan nama bertuliskan “Ibu Marisa - Human Resource Development.”Serin menarik napas pelan, menenangkan degup jantungnya yang tak menentu, lalu mengetuk pintu tiga kali.“Masuk,” terdengar suara tegas dari dalam.Serin membuka pintu perlahan lalu melangkah dengan sopan. Begitu pandangan Bu Marisa terangkat dari berkas di meja, wanita itu sejenak tertegun. Matanya menyipit sedikit, seolah memastikan bahwa penglihatannya sendiri tidak menipunya. Serin berdiri di sana, dengan mata bening yang memancarkan cahaya kehidupan dan fokus yang begitu nyata.“Silakan duduk, Serin. Kamu bisa melihat saya?” tanya Bu Marisa, setengah tak percaya.Serin tersenyum lembut dan mengangguk. “Iya, Bu. Saya menjalani operasi transplantasi kornea. Ini berkas yang Ibu minta,” katanya sambil menyodorkan map berisi i
Setelah meninggalkan kantin, Aura dan dua orang temannya bersiap untuk sesi pelatihan berikutnya. Mereka kembali menjalani serangkaian simulasi telepon. Serin belajar menjawab panggilan dengan suara yang profesional, mencatat keluhan fiktif dari "konsumen", hingga menyampaikan solusi sesuai dengan skrip yang telah disediakan. Tak terasa, waktu sudah merambat ke pukul empat sore. Matahari mulai condong ke barat, dan ruang kerja disinari oleh bias cahaya jingga yang mengintip dari balik jendela. Pelatihan pun mendekati babak akhir.Ketika akan mengakhiri sesi latihan, ponsel Citra yang tergeletak di atas meja bergetar, menarik perhatian semua orang di ruangan itu. Citra mengangkatnya dengan cepat dan menjauhkan sedikit dari keramaian. Suaranya terdengar berubah menjadi lebih formal.“Baik, Bu, akan saya sampaikan,” ujarnya sopan, lalu mematikan sambungan.Wajah Citra yang biasanya datar kini terlihat sedikit berbeda—seperti menyimpan sesuatu yang mengejutkan. Ia melangkah ke depan dan
Tiba-tiba saja seluruh tubuh Serin menggigil, seolah udara di ruangan mewah itu berubah menjadi es yang membekukan setiap helaan napasnya. Kata-kata yang baru saja meluncur dari bibir Jevandro terasa menghantam rongga dadanya, seperti badai yang menerjang tanpa aba-aba.Dugaannya ternyata benar. Nama yang disebut Dara, nama tunangan mendiang Liora, kini berdiri nyata di hadapannya. Jevandro Albantara ternyata adalah CEO dari Verdant Group, sosok yang memegang kendali atas perusahaan tempatnya bekerja. Pria berkuasa, dingin, dan saat ini menatap matanya dengan kemarahan yang nyaris meledak. Serin tidak pernah menyangka bahwa takdir membawanya sejauh ini. Ia yang hanya seorang gadis sederhana, yang baru saja mendapatkan kembali penglihatannya, kini berada di bawah tatapan penuh benci dari pria yang mencintai Liora.Tubuh Serin terasa ringan seperti hendak rubuh, sementara matanya mulai memanas, membiaskan pandangan. Tanpa bisa ditahan, cairan bening mulai menggenang di pelupuk, mencipt
Langit tampak begitu jernih, seolah turut mendukung momen penting yang akan segera terjadi. Bias cahaya pagi menembus tirai tipis di jendela salon milik Jeandra, menyinari ruangan yang telah dipenuhi aroma bunga lili dan wangi kosmetik mahal. Hari yang dinanti telah tiba. Hari ketika langkah seorang wanita akan berubah untuk selamanya.Serin duduk diam di kursi rias, menanti sentuhan terakhir sebelum ia diantar menuju altar kehidupan barunya. Wajahnya tampak tenang, tetapi mata beningnya menyimpan gelombang kegugupan. Di belakang cermin, Clara dan seorang pegawai salon tengah bersiap untuk merias Serin. Namun belum sempat mereka menyentuhkan kuas pada wajah gadis itu, pintu ruangan rias terbuka.Suara langkah ringan terdengar, dan muncullah Jeandra—mengenakan celana jeans yang dipadukan dengan kemeja berwarna jingga. Rambutnya diikat tinggi dengan gaya sederhana, menandakan bahwa ia akan melakukan sebuah pekerjaan profesional.“Aku sendiri yang akan meriasmu, Serin,” pungkas Jeandra
Di tengah kesunyian apartemen, Serin duduk sendirian di ruang tamu. Tak ada yang bisa mengalihkan pikirannya dari Jevandro selain musik. Karena itu, Serin memutuskan untuk membuka koper yang sudah lama ia abaikan. Dengan penuh perasaan, gadis itu mengeluarkan celo miliknya yang sedikit berdebu, seolah membebaskan alat musik itu dari penjara panjang yang mengurungnya.Serin meletakkan celo di pangkuannya dengan hati-hati, merasakan beratnya yang familiar. Kemudian, ia memetik busur dengan gerakan lembut.Seiring dengan gesekan pertama pada senar, melodi klasik mulai mengalun di ruang sunyi itu. Nadanya mengalir begitu natural, seolah membawa Serin ke dunia lain—dunia yang hanya ada dalam melodi musik.Ia memainkan bagian pertama dari sebuah lagu yang sudah lama ia kuasai. Membiarkan jari-jarinya menari di atas senar dengan ketelitian yang hanya bisa dicapai oleh pengalaman.Seiring berjalannya waktu, Serin tak bisa menahan konsentrasi yang mulai teralihkan. Tanpa sengaja, wajah Jevand
Wangi dari uap teh yang baru diseduh memenuhi dapur apartemen, menyatu dengan harumnya mentega yang mulai meleleh di atas wajan panas. Serin, yang sudah terbangun sejak pukul enam pagi, sedang berdiri di dapur bersama Bi Janti.Meski sudah berulang kali dilarang untuk membantu, gadis itu tetap bersikeras ingin membuat roti panggang. Berdalih agar Bi Janti bisa lebih cepat menyiapkan keperluan Tristan, sebelum berangkat ke sekolah.“Kalau hanya begini, saya masih sanggup, Bi… daripada saya diam saja,” ujar Serin pelan, sambil mengoleskan selai hazelnut ke selembar roti. Gerakannya begitu teratur dan cekatan, menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa melakukan pekerjaan dapur. Bi Janti menghela napas, mengalah, walau pandangannya masih khawatir menatap Serin. Perempuan paruh baya itu lantas menuju ke kamar tamu untuk memandikan Tristan.Di tengah kesibukannya, Serin mendengar langkah kaki berat yang mendekat dari arah koridor. Detik berikutnya, sosok Jevandro muncul, masih dalam balutan kaus
Tepat pukul dua belas siang, Jeandra berjalan keluar dari ruang rapat dengan langkah tegap. Ia lebih dulu melangkah menuju lift, tak ingin menoleh ke belakang meski ia tahu dua pria itu—Kenan dan Gavin—masih tertinggal.Jeandra berdiri di dalam lift, merapikan setelan kerja yang tadi sempat kusut karena duduk terlalu lama. Namun, ketika pintu mulai menutup, Kenan dan Gavin masuk menyusul.Jantung Jeandra berdetak lebih kencang ketika Kenan memilih berdiri di sisinya, begitu dekat hingga ia bisa mencium parfum mahal yang biasa digunakan pria itu. Diam-diam, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang mulai resah.Setiba di lantai kantor eksekutif, Jeandra buru-buru menuju meja kerjanya. Tangannya bergerak membuka wadah makan siangnya, yang sudah disiapkan oleh pelayan mansion sejak pagi. Namun, ia sengaja belum menyentuhnya, menunggu kemungkinan Kenan dan Gavin keluar lagi untuk makan bersama. Tak disangka, hanya Gavin yang keluar—dengan senyum simpul dan ekspresi
Sinar matahari yang mulai condong ke barat, mengiringi langkah Serin keluar dari rumah sakit. Gadis itu memakai pakaian sederhana dan scarf tipis yang menutupi lehernya. Tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi rona pucat di pipinya mulai tergantikan dengan semburat lembut kehidupan. Di sisinya, berdiri Jevandro—dengan tatapan penuh kewaspadaan. Gerakan tangan lelaki itu sigap dan kokoh, memberikan semacam ketenangan yang sulit dijelaskan.Jevandro sempat melirik ke arah jalanan, memastikan bahwa mobil yang dikemudikan sopir pribadinya sudah terparkir tepat di depan lobi. Ia menggamit lembut tangan Serin, membimbingnya menuju mobil hitam berkelas yang pintunya telah dibukakan sopir.Sesaat setelah keduanya duduk di dalam mobil, Jevandro memerintahkan sopir untuk menjalankan kendaraan. Namun, baru beberapa blok meninggalkan rumah sakit, pria itu tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat kepada sopirnya.“Berhenti di toko buah di depan,” titahnya tegas.Serin menoleh ke arah Jevandro de
Hampir satu jam setelah kejadian memalukan tadi pagi, Jeandra duduk dengan tenang di balik meja kerjanya. Ia berusaha menenggelamkan diri dalam laporan-laporan dan data pendukung untuk meeting.Ia merasa sedikit lega—paling tidak Kenan belum juga memanggilnya. Tidak ada perintah, tidak ada ketukan pintu, dan tidak ada suara panggilan lewat interkom. Kedamaian itu memberi ruang bagi Jeandra untuk menata kembali hati dan pikiran. Namun, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit, Jeandra mendengar derap langkah kaki yang mendekat, membuatnya mengangkat wajah.Pintu ruang CEO terbuka lebar, dan keluarlah Kenan dengan penampilan rapi dan ekspersi tenang, diikuti Gavin yang berjalan setengah langkah di belakangnya. Tanpa menoleh, Kenan langsung memberi perintah, nadanya pendek tetapi tegas.“Jeandra, ikut saya ke ruang meeting.”Jeandra pun segera berdiri, mengangguk sopan. “Baik, Pak.”Dengan cekatan, ia mengambil iPad-nya, dua berkas presentasi, pena digital, dan buku a
Tubuh Jeandra tersentak saat menyadari posisinya—ia masih duduk di pangkuan Kenan. Dalam satu gerakan panik, Jeandra segera beranjak dari pangkuan pria itu, berdiri tegak dengan kedua tangan merapikan blazernya.Lekas saja Jeandra menundukkan kepala, enggan bertemu dengan tatapan Gavin yang masih terpaku di ambang pintu. Alhasil, pandangan Gavin beralih pada Kenan, berharap ada penjelasan yang masuk akal dari atasan sekaligus sahabatnya itu. Kenan, dengan sedikit canggung, berdehem pelan sambil pura-pura membetulkan letak dasi yang dipasangkan oleh Jeandra. Ia menggeser kursinya, lalu menatap Gavin dengan wajah datar. “Jangan berpikiran macam-macam,” sangkalnya. “Aku hanya meminta bantuan Jeandra untuk memasangkan dasi. Dia terjatuh karena mendengar kau membuka pintu tiba-tiba.”Nada suaranya seolah ingin mengakhiri spekulasi yang mungkin terlanjur muncul di kepala Gavin.Jeandra mengangguk cepat, membenarkan ucapan Kenan. Kemudian, ia mencari kesempatan untuk bisa pergi dari ruanga
Di mansion keluarga Albantara, langkah Jeandra terdengar tergesa menuruni tangga. Gaun formal berlapis blazer merah yang ia kenakan, berayun ringan mengikuti gerakan tubuhnya. Wajah cantiknya masih segar, siap untuk kembali menjalani harinya sebagai sekretaris Kenan—dengan identitas palsu yang harus terus dijaga.Begitu tiba di ruang makan, Jeandra melihat kedua orang tuanya sudah duduk di meja panjang, ditemani Rakyan yang tengah sibuk menyendokkan sereal ke dalam mangkuk. Aroma roti panggang memenuhi udara, menambah kehangatan pagi itu.Jeandra segera duduk di kursi, mengambil segelas jus jeruk. Namun, belum sempat ia menyeruputnya, suara Suri menggema di ruangan itu."Serin masuk rumah sakit semalam, Jeandra."Gelas di tangan Jeandra nyaris terjatuh. Ia mendongak dengan sorot mata terkejut. "Apa?" tanyanya buru-buru, menatap sang ibu. "Serin sakit apa, Ma?"Suri menatap putrinya, sambil menyodorkan sepotong sandwich dan semangkuk salad segar.“Jevan bilang mata Serin nyeri dan kep
Pukul tujuh tepat, Serin terbangun dari tidurnya. Kelopak matanya yang berat bergetar, sebelum akhirnya terbuka perlahan.Sekilas, Serin melihat bias matahari pagi yang menerobos lewat sela-sela tirai. Di tengah kesadarannya yang masih kabur, ia mendengar suara berat yang familiar—suara Jevandro—tengah berbicara melalui telepon di sudut ruangan.Suaranya terdengar tenang, tetapi dari kata-kata yang meluncur, Serin bisa menebak bahwa pria itu sedang berbicara dengan orangtuanya. Pastilah mereka sedang bertanya mengenai kondisinya di rumah sakit.Serin terdiam sesaat, sengaja tidak bergerak hingga Jevandro selesai berbicara. Namun, pintu kamar rawat itu mendadak terbuka, memperlihatkan seorang petugas rumah sakit yang datang dengan senyum ramah. Ia mendorong troli kecil berisi sarapan pagi. Aroma nasi goreng hangat, serta setangkup roti panggang dengan selai stroberi menyeruak memenuhi udara. Membuat perut Serin yang kosong langsung mengerut lapar.Jevandro segera mengakhiri teleponnya