Author sudah upload banyak, nih. Ditunggu komen dan hadiahnya ya. Thank you my lovely readers.
Tiga hari terakhir di vila menjelma bak momen bulan madu bagi Jevandro dan Serin. Mereka tidak hanya berbagi perasaan, tetapi juga napas, tawa, dan keintiman yang menyatu dalam kelembutan. Mereka menebus malam-malam yang sempat terlewat tanpa pelukan, dan menjahit kembali kisah cinta yang pernah robek oleh kesalahpahaman.Jevandro menjelma menjadi sosok suami yang bahkan lebih dari ekspektasi Serin. Ia bangun lebih pagi, menyiapkan makanan bergizi untuk istrinya, dan kerap kali menempelkan telinga ke perut Serin, seakan ingin mendengar bisikan sang buah hati. Ke mana pun Serin melangkah, tangan Jevandro tak pernah jauh darinya. Jika Serin melirik ke jendela, Jevandro telah berdiri di belakangnya, memeluknya dengan bisikan-bisikan cinta. Ia memperlakukan Serin seperti bunga langka yang harus dirawat dengan penuh kehati-hatian.Ketika mereka kembali ke apartemen, cinta Jevandro tak luntur sedikit pun. Bahkan di tengah hiruk-pikuk persiapan resepsi pernikahan Jeandra, Jevandro tetap memp
Jevandro menatap Serin tanpa berkedip, menanti keajaiban kecil yang akan mengubah segalanya. Ia mengamati wajah sang istri yang berselimut ragu, matanya seperti mencari jawaban dari dalam dirinya sendiri. Namun perlahan, sangat perlahan, tangan mungil itu terulur ke arah Jevandro. Gerakan yang begitu sederhana, tetapi mampu menumbangkan segala tembok yang sempat membatasi mereka. Senyum Jevandro langsung merekah, mata hazelnya bersinar penuh haru. Ternyata, Serin masih bersedia menyimpan ruang maaf untuknya.Tanpa menunda, Jevandro mengambil cincin dari dalam kotak dan menyematkannya di jari manis Serin. Saat cincin itu tepat berada di tempatnya, Jevandro mengangkat wajah dan memandang Serin. Tangan yang sempat ia lepaskan karena kesalahan, kini ia genggam lagi dengan janji takkan mengulang kesalahan yang sama.“Terima kasih, Serin,” ucap Jevandro dengan suara parau, sarat rasa. “Untuk kesempatan ini... untuk tetap memilihku meski aku tak pantas.”Kemudian, Jevan menyerahkan cincin y
Penuh kehati-hatian, Serin mengangkat gaun dan sepatu pemberian Jevandro, lantas membawanya masuk ke kamar. Ia membentangkan gaun itu di atas seprai. Jemarinya menyusuri lipit halus pada kain seraya memandangi detail renda yang begitu anggun.Senyum merekah di bibir Serin, senyum yang mengandung sejuta rasa—rasa syukur, ragu, dan rasa yang belum berani disebut sebagai harapan.Tangan Serin beralih mengusap perutnya dengan sentuhan selembut kapas, seakan ingin berbicara langsung pada kehidupan kecil yang tumbuh di sana. Dengan suara rendah, ia berkata penuh perasaan."Sayang... apakah papamu sekarang benar-benar mencintai kita? Apa Mama harus percaya padanya?”Tak ada yang menjawab, selain detik jam yang terus berputar statis.Sejenak, Serin menatap langit-langit, membiarkan pertanyaan itu melayang tanpa tuntutan. Lalu ia menghela napas dan keluar lagi dari kamar.Untuk mengusir kerisauan hatinya, Serin mengambil cello—alat musik yang selama ini menjadi bahasanya sendiri ketika dunia te
Jevandro tidak memaksa. Tidak pula mencoba mendekap Serin secara paksa, meski keinginan itu begitu besar dalam dirinya. Ucapannya serupa permohonan lirih, dari seorang pria yang mulai belajar mencintai dan rela untuk menunggu.Serin tetap diam. Ia tak tahu harus menjawab apa—karena yang paling ia takuti, bukan pelukan itu, tetapi betapa ia mungkin tak ingin dilepaskan lagi setelah merasakannya.Setelah beberapa detik keheningan, Jevandro menarik napas dan berkata lirih.“Kalau kamu kedinginan, bilang saja padaku… aku ada di sini.”Hanya itu. Lalu, Jevandro tak bersuara lagi. Ia merebahkan tubuhnya dalam jarak aman, membiarkan ruang di antara mereka tetap terjaga.Di sisi lain, Serin masih memejamkan mata, berusaha mengusir segala keraguan yang tak kunjung reda. Lambat laun, pikirannya tertarik dalam gelombang kantuk yang menenangkan, dan ia pun terlelap.Tidurnya malam itu terasa berbeda. Begitu tenang, seperti tubuhnya terbuai dalam pelukan alam yang penuh kehangatan. Serin tidak b
Serin tidak menanggapi pernyataan cinta yang mengalir begitu tulus dari bibir Jevandro. Tak ada kata yang terucap, tak ada sambutan atau bantahan. Meski demikian, dalam kebisuannya, Serin merasakan ada sesuatu yang retak—lapisan tipis pertahanan yang telah ia bangun tinggi-tinggi.Ia goyah. Sebagian hatinya ingin percaya bahwa kata-kata Jevandro bukan hanya rangkaian indah yang lahir dari rasa bersalah. Namun, bagian lain dalam dirinya, yang sudah terlampau sering terluka oleh harapan yang kandas, masih enggan menerima semuanya begitu saja.Cara Jevandro mencintainya selama ini membuatnya bingung, tersesat, dan bertanya-tanya. Ia tak bisa lagi membedakan, apakah dirinya dicintai karena ia adalah Serin, atau karena ia adalah gambaran Liora yang hidup kembali dalam wujud berbeda. Diam adalah perlindungan terakhirnya.Jevandro tak memaksa. Ia menepati janji yang telah ia ucapkan. Pria itu tetap di sisi Serin, tanpa menyentuh, tanpa menuntut, hanya memandangi punggung perempuan yang te
“Kamu baik-baik saja. Aku hampir putus asa mencarimu… Tapi ternyata kamu di sini,” bisik Jevandro, suaranya lirih, penuh gejolak yang menumpuk selama berhari-hari. Serin tak mampu berkata-kata. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia melihat pria yang dicintainya itu berdiri di hadapannya dengan wajah kacau.Selangkah demi selangkah, Jevandro terus mendekat hingga jarak antara mereka terpangkas seluruhnya. Kemudian, tanpa sepatah kata pun, lelaki itu menarik Serin ke dalam pelukannya—erat, penuh kegelisahan, seakan ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa perempuan dalam dekapannya bukanlah ilusi semata. Tubuh Serin yang semula hanya terbaring tenang di tempat tidur, kini membeku dalam keheningan. Tangannya tak membalas pelukan, pikirannya membatu, hatinya pun ikut ragu.“Aku sangat merindukanmu,” gumam Jevandro dengan suara parau yang tertahan di tenggorokan, “Maafkan aku, Baby Girl.”Wajah Jevandro menelusup ke lekuk leher istrinya. Sekejap kemudian, kehangatan napasnya menyentuh kulit Serin