El berdiri di depan teras, ini bukan sebuah pemandangan yang bisa dinikmati. Pertemuan antara seorang anak dengan Ibunya. Aku menarik napas,mengatur gejolak batin yang sedang aku rasakan sekarang. Aku tak dapat mengartikan tatapan El, hatiku sedang kacau untuk dapat membaca arti tatapan itu."El … mama rindu sayang." Tangan Mama El terentang, dengan berlinang air mata dia memanggil anak lelakinya tersebut.Aku membuang pandanganku, bagaimanapun mereka adalah ibu dan anak. Tak seharusnya aku merasa sakit, bila El ingin bersama mamanya. Tapi, aku tak bisa membohongi hati nurani. Meski El bukan anakku, tapi selama ini aku sudah menganggapnya begitu. Dia sama aeperti Al dan Luna. "El … sini sayang sama Nenek," panggil wanita baruh baya itu pada El cucunya.El sesaat terdiam dan kemudian melangkah, aku benar-benar sedang menyiapkan hatiku. Untuk pemandangan yang lebih mengharukan. Mas Bima menggengam erat tanganku, sepertinya dia mengerti apa yang aku rasakan."Bunda …." Aku kaget ketika E
"Den El pernah sangat rindu pada mamanya, sampai sakit. Akhirnya Pak Bima meminta tolong pada Bu Rima untuk menemui Den El. Tapi, Bu Rima minta Pak Bima mengantar Den El kerumahnya. Selama disana Den El cerita tidak diurus mamanya. Bu Rima sibuk mengurus suami barunya. Dan pernah dimarahi juga sama suaminya Bu Rima, dan Bu Rima malah ikut marah-marah. Den El hanya bercerita ke saya, bahkan Pak Bima tidak tau hal ini." Bi Nur bercerita panjang lebar. Aku syok mendengarnya."Tapi, El anak baik dan penurut, tega sekali." Ada rasa tak terima, berbulan-bulan mengenal dan mengurusnya aku tau betul sifat dan karakter El."Kamu belum jawab, ada apa?" tanya Mama lagi."Ada mamanya El datang bersama ibunya. Minta balikan lagi." Aku menjawab pertanyaan Mama."Saya nggak rela Bund, nggak Ikhlas." Bi Nur tiba-tiba menangis."Nggak Bi, Bi Nur kan dengar sendiri jawaban Mas Bima tadi." Aku mengusap lengan pengasuh El tersebut."Bukannya sudah nikah lagi?" tanya Mama kemudian."Iya Ma, tapi suaminya
Terdengar Mas Bima berbicara dengan mantan Ibu mertuanya yang masih terisak. Mas Bima terlihat mengeluarkan kembali lembaran-lembaran merah seratus ribuan dari dalam dompetnya dan memberikan kepada wanita paruh baya itu. Kami masih bergeming di tempat yang sama, sampai mobil menghilang dari pandangan. Aku menarik napas dalam, semoga tak ada kejadian seperti ini lagi. Aku hanya memikirkan perasaan El, dan tak ingin jiwa putih itu sampai terluka."Terima kasih," ucap Mas Bima, aku sedikit kaget karena dia tiba-tiba memelukku. "Aku kuat karenamu," ucapnya lagi."Hana juga, terima kasih telah menempatkan Hana di dasar hati terdalamnya Mas Bima." Apalagi yang lebih baik dari itu, aku merasa sangat berarti untuknya. Demikian halnya dirinya yang sangat berarti untukku."Aku merasa ini belum berakhir." Mas Bima melepas pelukannya. Kedua tangannya meraih tanganku dan menggenggamnya. "Perasaanku mengatakan mereka akan datang lagi.""Iya." Apa yang aku pikirkan ternyata sama dengan yang Mas Bim
"Biar Hana aja Mah, sama Bi Nur yang bereskan. Mama istirahat dulu … jangan capek-capek." Aku harus memaksa Mama untuk rehat, saking asyiknya kadang dia lupa kalau kondisinya tidak terlalu sehat."Mama nggak apa-apa, bisa kok." Mama bersikeras.Kami sedang membersihkan dan membereskan kamar untuk Kakak dan adikku yang akan datang lusa. Tidak mengundang banyak orang, acara memang dikhususkan hanya untuk keluarga saja. Ada Bude dan sepupu juga, tapi, mereka memilih untuk menginap di hotel.Tidak ada resepsi, hanya acara makan bersama keluarga selepas dari kantor KUA. Benar-benar sederhana yang penting sah di mata Agama dan juga Negara. Tak ada rencana bulan madu juga, kami punya anak-anak yang masih kecil. Dan, aku tak akan tega meninggalkan mereka. Walaupun liburan kami harus bersama-sama."Rendi besok berangkatnya, sama Budemu," ucap Mama sambil memasukkan bantal ke sarungnya. "Cahya lusa katanya." Mama menambahkan."Iya, udah kasih tau Hana juga." Aku membalas sambil mengeluarkan bedc
"Kamu juga," pintanya juga. Aku mengangguk dengan senyum di bibirku.Kami memiliki masa lalu, luka, dan trauma yang sama. "Aku sudah menanggalkan rasaku yang dulu di masa lalu. Tetap percaya padaku, kamu dan anak-anak adalah asa dan masa depanku. Untuk kalian segenap cinta dan sayang yang aku punya, untuk kalian mas akan berjuang agar kita selalu bahagia."Aku menatapnya dengan segala kekaguman atas sosok dan kepribadiannya. Hati ini semakin yakin ada rencana Tuhan yang begitu indah dibalik segala hal yang terjadi. "Hana … Hana mencintai mas, dari sini." Tanganku menunjuk dada, aku ungkapkan perasaanku sebenarnya. Pria itu tersenyum membalasku."Boleh peluk?" Kedua tangan Mas Bima direntangkan."Heiy … belum!"Mas Bima terkekeh melihatku, bahagia sekali sepertinya dia saat menggodaku. Sabar … tak lama jangankan hanya sebuah pelukan. Lebih dari itu justru akan menjadi pahala untuk kami. Semua yang ada dalam diri ini sepenuhnya akan menjadi miliknya. Tidak hanya raga, tapi, juga cinta
Suasana sedang tidak baik, aku memilih diam dan tetap tenang. Tidak berpikir aneh-aneh tentang Rima dan Mas Bima. Meski perasaanku berkata Rima sengaja melakukannya. Tapi, dia sedang tertimpa musibah, dan, aku percaya sepenuhnya pada Mas Bima."Hana paham, Mas. Hana hanya takut, karena Hana kira terjadi sesuatu sama El," balasku pada Mas Bima. "Maaf, tadi suasana cukup panik. Sampai tidak sempat memberi penjelasan padamu.""Iya, nggak apa-apa. Kasihan bayinya, semoga membaik." Sebuah doa aku peruntukkan bagi bayi malang Rima. Entahlah aku tidak bisa menarik kesimpulan apapun. Aku merasa Rima juga memiliki karakter yang tidak baik. "Mas masih nggak habis pikir. Tapi, itu rumah tangga mereka dan kita tak perlu ikut campur." Aku mengangguk mendengar Mas Bima."Salut dengan Ibu, beliau sangat baik dan bijaksana." Sepertinya dari Ibulah sifat baik yang ada pada Mas Bima. Ibu sempat sangat kecewa setauku, tapi, dia bisa menempatkan dirinya dengan sangat baik."Hana …." Aku dan Mas Bima m
Perjalanan menuju tempat acara tidak memakan banyak waktu. Selain jalan yang tidak terlalu padat jarak dari rumah juga tidak terlalu jauh. Mobil dari pihak keluargaku beriringan memasuki halaman masjid yang terletak di samping kantor KUA. Terlihat mobil dari rombongan keluarga Mas Bima sudah berjajar disana."Sudah jangan tegang," ucap Yola yang menggandengku di sisi kiri. Aku mengangguk berusaha untuk menetralisir hatiku.Kakiku melangkah lambat saat masuk ke dalam Masjid yang tidak terlalu besar itu. Tampak keluarga Mas Bima sudah duduk di depan mimbar. Mas Bima sendiri juga sudah duduk di depan sebuah meja panjang. Terlihat pigura berisi uang mahar dan juga barang lainnya. Sepertinya keluarga Mas Bima menyiapkan beberapa parcel seserahan. Aku melangkah melewati beberapa orang dan kemudian duduk di samping Mas Bima. Hanya saja aku tak menengok ke arahnya dan hanya menunduk. Rendi yang menjadi wali nikahku, sebagai pengganti Papa. Acara dimulai tak berapa lama setelah aku duduk.
"Tanpa diminta pasti Hana lakukan." Aku menjawab pelan setelah mulai bisa mengatur hatiku."Mereka tanggung jawabku sekarang. Biarkan aku yang mengurus mereka." Mas Bima ikut menimpali."Aku percaya kamu bisa melakukannya. Tapi, hanya hal itu yang sekarang bisa aku lakukan. Biarkan aku melakukan tugas dan kewajibanku sebagai seorang ayah," pinta Mas Andrian kemudian."Tolong jaga mereka, bahagiakan mereka." Mas Andrian mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Mas Bima. "Mereka akan bahagia bersamaku, tak perlu kwatir." Mas Bima kembali meyakinkan Mas Andrian."Mas selalu berdoa untukmu dan anak-anak," ucap Mas Andrian yang berjalan mendekat dan berdiri tepat di depanku."Jangan menangis, ini hari bahagiamu. Tak seharusnya aku datang, tapi, aku harus pergi sebentar lagi. Aku harus berpamitan pada kalian bukan." Mas Andrian memintaku tak menangis tapi, dia sendiri menangis. Begitu tak terduga segala hal yang menjadi takdir hidup setiap manusia. Sepasang anak manusia ini dulu