Hari ini hari Sabtu, hari untuk bersantai ria bagi setiap karyawan. Tak terkecuali untuk Zuri dan Mirah.
Saat ini keduanya sedang bersiap-siap untuk ke luar rumah. Mirah akan ke GBK untuk joging bersama teman-temannya. Sedangkan Zuri hendak ke bandara Soekarno Hatta, karena hari ini sahabatnya yang telah lama tinggal di luar negeri akan pulang ke Indonesia. Sang sahabat meminta Zuri untuk menjemputnya di bandara pagi ini. "Zuri, gue cabut duluan, ya!" pamit Mirah kepadanya. "Iya, Mir. Lo hati-hati, ya!" sahut Zuri kepada sahabatnya. Tak berapa lama, gadis itu pun melihat arloji di pergelangan tangan kirinya. " Ya ampun! Aku hampir telat!" Dia pun bergegas ke luar dari unit apartemen miliknya, lalu masuk ke dalam lift yang akan membawanya ke lantai dasar. Untung saja taksi online yang Zuri pesan baru saja tiba di area parkiran. "Selamat pagi, dengan Nona Zuri, benar?" sapa sang sopir taksi kepadanya. "Iya, Pak. Saya Zuri. Kita bisa berangkat sekarang? Soalnya saya sangat buru-buru," sahutnya dengan wajah cemas. "Baiklah, Nona. Kita berangkat sekarang," jawab sopir taksi itu kepada Zuri. Mobil pun mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju bandara. Zuri sekali lagi melihat arloji di tangannya. "Aduh! Tinggal setengah jam lagi pesawat Jemy akan mendarat. Bagaimana ini? Semoga dia nggak marah jika aku telat datangnya." Harap Zuri dalam hati. Bandar Udara Soekarno Hatta, Seorang pria tampan terlihat sedang berjalan dengan tegesa-gesa saat ini. Pasalnya beberapa orang suruhan sang kakek sedang mengejar-ngejarnya sekarang. Pesawat yang membawanya dari London selama belasan jam akhirnya mendarat juga dengan sempurna beberapa saat yang lalu. "Sial! Kalau begini terus! Gue bisa ketahuan! Lagian ngapain sih, Opa jemput paksa gue seperti ini? Kurang kerjaan banget!" gerutu Edward mencoba untuk terus menghindar dari kejaran orang-orang itu. Aksa, sang asisten juga ikut menyamar saat ini. Aksa sedang mengikuti rute perjalanan atasannya di kawasan bandara itu, untuk memberikan sebuah paper bag yang berisikan pakaian ganti untuknya. Sang asisten terus saja berjalan mengikuti GPS dari ponsel pintarnya. Dia dan Edward sedang berbagi lokasi saat ini. Tiba di sebuah sudut bandara, dengan cepat Aksa memberikan paper bag tersebut di tangan sang tuan muda yang terlihat sedang bersembunyi saat ini, seraya berkata, "Tuan Muda, ini baju ganti untuk Anda." seru Aksa kepadanya. "Aksa ... ngapain Opa memaksaku untuk menemuinya? Apakah ada sesuatu hal yang penting saat ini? Gue kayak buronan saja, deh!" gerutu Edward. "Maaf, Tuan Muda. Saya juga kurang tahu," sahut Aksa. "Cih! Opa mah selalu hiperbola ke gue! Bukannya hari ini, Jemy juga pulang ke jakarta?" "Benar, Tuan Muda. Tuan Jemy juga datang hari ini." "Terus, apakah Jemy juga mendapatkan pengawalan ketat seperti yang Opa lakukan ke gue?" tanya Edward penuh selidik. "Sepertinya tidak, Tuan Muda. Kedatangan Tuan Jemy tidak mendapatkan pengawalan sedikit pun." "Shitt! Kenapa gue sendiri yang menjadi korban?" tuturnya kesal. "Saya kurang tahu, Tuan Muda. Saya permisi dulu," seru Aksa dengan wajah cemas. "Woi! Aksa! Mau ke mana, Lo? Tega Lo ninggalin gue?" kesal Edward kepada asistennya. "Ma ... maaf, Bos. Saya harus bergegas pergi. Saya tidak mau dipecat oleh Tuan Opa," ucapnya lagi, lalu mulai berlari sekencang mungkin meninggalkan Edward di depan pintu toilet. "Sial! Nggak setia kawan Lo, Aksa!" teriak Edward. Namun teriakannya itu sama sekali tidak digubris oleh Aksa. Pria itu terus saja lari terbirit-birit sekarang. Pasalnya, Opa Bram telah mengeluarkan ultimatumnya, bagi siapa saja yang membantu Edward lolos dari pengawalan ketat itu, akan dipecat secara tidak hormat. Tentu saja Aksa tidak mau mengambil resiko besar saat ini. Kariernya lebih penting dari segalanya. "Cih! Sial banget gue ditinggal sendiri!" Setelah berkata begitu, Edward terpaksa masuk ke dalam toilet dan bersembunyi di sana. Karena beberapa orang suruhan kakeknya sedang melintasi daerah itu. Di dalam toilet, Edward segera mengganti pakaiannya dengan pakaian baru yang telah disediakan oleh Aksa untuknya. Sementara Zuri baru saja sampai di bandara. Dia dari tadi ingin segera masuk ke dalam toilet karena ingin buang air kecil yang dari tadi dirinya tahan selama perjalanan ke bandara. Gadis itu pun mulai melangkah tergesa-gesa untuk mencari toilet yang terdekat saat ini. Karena buru-buru, Zuri tidak sadar jika dirinya salah memasuki toilet. Gadis itu segera menuntaskan urusannya di dalam toilet itu. Dia pun mulai merasa lega. Lalu dengan santainya Zuri membuka pintu salah satu toilet. Namun alangkah terkejutnya dirinya saat melihat seorang pria yang sedang buang air kecil di toilet yang sama di mana dirinya sedang berada saat ini. Sekilas Zuri dapat melihat alat tempur pria tersebut. Matanya setengah terbelalak, hendak ke luar dari tempatnya. Mata sang gadis seketika menjadi ternodai melihat pemandangan langka di depannya. Zuri hendak berteriak, namun dengan cepat Edward membekap mulutnya sambil memperbaiki celananya yang tadinya terbuka. Bagaimana Edward tidak melakukan itu suara teriakan orang-orang yang memanggil namanya mulai terdengar. "Tuan Muda! Anda di mana? Tolong jangan bermain-main dengan kami! Jangan membuat Tuan Opa marah besar kepada Anda!" teriak salah satu dari mereka. Sementara Zuri terus mencoba berontak. "Nona, tolong tenanglah sebentar! Orang-orang itu sedang mengejar saya, Nona! Apakah Anda mau kita dicelakai oleh mereka?" Edward mulai menakut-nakuti Zuri. Namun Zuri yang dibekap mulutnya oleh Edward tak habis akal saat ini. Dia pun menggigit tangan Edward dengan sangat kuat. "Auch! Sakit! Nona! Anda menggigit tangan gue! Berani Lo sama gue?" serunya sambil menatap tajam ke arah gadis itu. Namun Zuri sama sekali tidak takut dengan tatapan tajam Edward kepadanya. Ternyata pria tampan itu lupa melepas kaca matanya, sehingga mata elangnya yang sedang menatap ke arah Zuri tidak tembus pandang saat ini. Edward masih belum menyadari jika kaca mata hitam yang dirinya sedang pakai, menghalangi semuanya. "Anda juga kok berani-beraninya membekap mulut saya, Tuan! Jadi tak ada yang salah dengan tindakan saya. Lagian Anda ngapain di dalam toilet wanita? Apakah Anda hendak berbuat mesum?" Zuri pun segera menjauhkan tubuhnya dari pria itu. Sementara Edward terlihat geleng-geleng kepala saat ini. "Hei, Nona! Anda tidak bisa membaca, ya! Ini toilet pria! Tuh baca baik-baik! Jangan-jangan Anda yang mau mengintip saya!" ketus Edward. "Apa? Ja ... jadi ini toilet pria?" tanya Zuri. "Yaiyalah! Masa yaiya, dong?" sengit Edward lagi. "Ma ... maaf, Tuan. Tadi saya buru-buru. Sa ... saya tidak bermaksud untuk mengintip Anda. Permisi, Tuan." ucap Zuri menjelaskan, lalu dia pun mulai ke luar dari dalam toilet itu. "Cih! Alasan saja, Lo!" ketus Edward. Dia pun mulai ikut keluar dari dalam toilet itu. Pria itu mulai berjalan di belakang Zuri. Namun tiba-tiba orang suruhan sang opa mulai kelihatan dari kejauhan. *) GBK : Gelanggang olah raga Bung Karno"Sial! Kok mereka balik lagi! Apa yang harus gue lakukan?" Edward dapat melihat orang-orang itu malah berbalik ke arahnya.Edward lalu memandang sekelilingnya saat ini. Tidak begitu banyak orang yang lalu lalang di sekitarnya. "Shitt!" umpatnya.Pasalnya tempat dirinya berada sekarang adalah area terbuka tidak ada sedikit pun tempat untuk bersembunyi. Edward takut, pergerakannya yang mencolok akan menimbulkan kecurigaan dari orang-orang suruhan Opa Bram.Apa lagi, beberapa saat yang lalu Edward baru saja mendapatkan pesan dari Aksa, asistennya. Jika sang kakek ingin cepat-cepat bertemu dengannya, karena ingin menjodohkan Edward dengan seorang perempuan pilihan Opa Bram kepadanya. Tentu saja Edward tidak mau dijodohkan. Maka semakin bersemangatlah pria itu untuk melarikan diri dari kejaran anak buah sang kakek.Lalu Edward pun menatap punggung gadis yang dirinya temui di dalam toilet tadi. Tiba-tiba saja timbul ide gila dari dalam pikirannya."Sepertinya, hanya gadis ini yang bisa me
Zuri sudah tidak tahan lagi. Dia pun mulai menangis. Membuat Jemy malah menjadi sangat kaget."Lho-lho-lho! Zuri? Lo kok malah menangis, sih?" Jemy kaget bukan kepalang saat melihat sahabatnya menangis. "Habis, Lo malah memaksa gue!" ucapnya."Sorry, Zur. Baiklah gue nggak akan bertanya lagi. Tapi kan, kita ini sudah lama berteman. Selama ini kita saling terbuka, masa sekarang Lo malah berubah begitu?" Jemy mulai menurunkan nada bicaranya, agar gadis itu bisa lebih tenang.Tak lupa, Jemy menyodorkan selembar tisu kepada Zuri, untuk menyeka air matanya."Hapus air matamu. Makin jelek Lo menangis begitu!""Jemy!""Ha-ha-ha! Gue bercanda, Zuri. Elah ... sensi banget sih, Lo! Ayo cepat katakan ada apa dengan bibir Lo? Kenapa Lo sampai menangis tadi?" "Kok Lo bisa tahu, gue menangis?" tanya Zuri, mencoba untuk terus berkelit."Yaelah, Zur. Kita bukan hanya setahun dua tahun baru kenal. Tapi telah bertahun-tahun. Makanya Lo jujur sekarang, gue tunggu!" "Memangnya gue mesti jujur, Jem?"
"Aksa, apakah Bunda mengetahui jika aku pulang hari ini?" tanyanya kepada sang asisten."Maaf, Tuan Muda. Sepertinya Nyonya Ayu tahu, jika Anda pulang hari ini." sahut Edward."Sial! Gue kan sudah bilang! Jangan sampai Bunda tahu jika gue balik ke Jakarta!""Maaf, Tuan. Saya pikir tidak menjadi masalah jika Nyonya Besar mengetahui kepulangan Anda," serunya lagi."Shitt! Jadi lo yang memberikan informasi tentang kepulangan gue?" ujar Edward penuh amarah."Ma ... maaf, Bos.""Dasar bocor keliling, Lo!" marah Edward. "Pantas Opa Bram menyuruh anak buahnya untuk menangkap gue. Pasti karena Bunda mengadu kepada Opa!" tukasnya kesal. "Sekali lagi maaf, Boss." ucap Aksa memohon pengampunan dari Edward."Cih! Tak ada maaf bagimu!" sahutnya kesal."Bos, telepon dari Nyonya Ayu kenapa tidak Anda angkat. Beliau adalah orang tua Anda, Bos. Siapa tahu kan Nyonya kangen kepada Anda.""Jangan sok belagu, Lo! Ikut campur saja urusan, gue!" ujar Edward kepada asistennya.Namun Aksa terus saja membu
"Apa urusan gue sama Si Jemy? Ayo putar balik, langsung ke apartemen! Gue sedang tidak mau bertemu dengan salah seorang personil trio Kwek-kwek!" perintah Edward kepada sang asisten."Trio Kwek-kwek? Siapa mereka Bos?" tutur Aksa penasaran. "Cih! Masa Lo nggak tahu trio kwek-kwek yang selalu meresahkan itu?" ucap Edward lagi.Aksa yang tidak tahu apa-apa, segera menggeleng-gelengkan kepalanya pertanda dirinya tidak mengerti maksud dari perkataan Edward."Serius, Bos. Saya benar-benar tidak tahu," ujarnya memelas."Dasar kuper Lo, Aksa!""Kuper? Maksudnya apa, Bos?""Yaelah Aksa, dodol! Kuper juga Lo nggak tahu apa artinya?" kaget Edward.Sang asisten kembali menggeleng-gelengkan kepalanya, pertanda dia tidak tahu maksud dan perkataan dari Edward."Kuper itu kurang pergaulan kayak Lo! Masa nggak tahu trio kwek-kwek!" kesal Edward kepada asistennya."Ya ... saya memang tidak tahu, Bos. Makanya kasi tahu dong?""Cih! Memalukan, Lo! Trio kwek-kwek itu adalah Ronand, Bobby, dan Jemy!" "O
"He-he-he. Kamu jangan ge'er begitu! Nih ada seikat mawar untuk Mirah. Ntar kasi ke dia juga, ya?" tukas Jemy lalu menyodorkan seikat bunga lagi ke tangan Zuri."Ih, Jemy! Kamu ini! Bikin BT deh," kesal Zuri."Ha-ha-ha! Oh ya, Mirah ke mana? Ayo hubungi dia untuk ikutan bergabung bersama kita," tutur Jemy sambil mulai melajukan mobilnya, menutupi kegugupannya."Tadi dia ada janji joging dengan teman-teman kantornya di GBK. Tapi baiklah, aku akan mengirimkan pesan kepadanya, agar singgah ke apartemenmu," sahut Zuri sambil tersenyum menghirup wangi semerbak dari bunga mawar yang berwarna-warni itu. Sepertinya kali ini mereka akan ke apartemen Jemy.Sementara sang pria hanya menganggukkan kepalanya. Seraya berkata dari dalam dalam hatinya,"Semoga Zuri tidak mengetahui kegugupanku," gumamnya dalam hati.Zuri, seorang wanita yang berjiwa lembut dan penuh kasih, merasa sangat senang saat menerima seikat bunga mawar berwarna-warni dari sahabatnya, Jemy. Bunga-bunga itu berwarna merah, kunin
Mirah dan Zuri memasuki apartemen Jemy dengan penuh kekaguman. Apartemen ini sungguh mewah dan besar, membuat mereka terpesona dengan segala keindahannya. Saat pintu terbuka, aroma maskulin seorang pria mulai menyelimuti ruangan itu, memberikan kesan bahwa apartemen ini benar-benar milik Jemy."Selamat datang Nona-nona, di Zona ternyaman ku! Anggap saja seperti rumah sendiri, ya!" tukas Jemy kepada kedua sahabatnya."Wah ... Jemy! Apartemen mu sungguh mewah!" puji Mirah yang dibalas anggukan oleh Zuri."Oh, yeah?" sahut Jemy sambil tersenyum."Makanya Lo jangan kelamaan jomlo, Bro! Sepertinya sudah saatnya Lo melepas masa lajang Lo!" sindir Mirah sambil matanya mengarah kepada Jemy seolah-olah ingin tahu kejelasan perasaannya kepada Zuri.Namun dengan cepat Jemy menggeleng-gelengkan kepalanya pertanda bukan saatnya membahas tentang hal itu. Mirah pun menunjukkan wajah cemberutnya karena mendapat sinyal yang masih abu-abu dari pria itu.Mereka lalu berjalan masuk ke ruang tamu yang lu
Setelah menikmati teh matcha yang hangat dan lezat, suasana di apartemen Jemy menjadi semakin seru dan penuh keceriaan. Jemy dan Zuri beranjak dari ruang tamu dan menuju ke dapur, siap untuk memasak makan siang bersama. Sementara itu, Mirah memilih untuk bersantai di ruang TV, menikmati tayangan favoritnya."Mirah, Lo duduk diam di sini. Gue sama Zuri akan berkutat di dapur," ujar Jemy kepada gadis yang kurang suka dengan aroma dapur."Siap, Jem! Kalian berdua masak yang enak, ya! Semangat, Guys!" sergah Mirah kepada keduanya.Dapur Jemy adalah ruangan yang cerah dan luas, dengan peralatan dapur stainless steel yang mengkilap dan meja dapur marmer putih yang besar. Di satu sisi, ada rak kayu yang penuh dengan berbagai jenis rempah dan bumbu, serta botol-botol tempat minyak zaitun dan cuka. Di sisi lain, ada kulkas besar yang dipenuhi dengan berbagai jenis sayuran segar, daging, dan keju.Jemy dan Zuri mulai memasak dengan semangat dan antusiasme. Mereka memilih untuk membuat pasta agl
Di apartemen Jemy yang hangat dan nyaman, Zuri dan Jemy sibuk mempersiapkan meja makan untuk makan siang mereka. Dapur dan ruang makan terbuka, memberikan suasana yang santai dan ramah. Zuri, dengan senyuman lebar di wajahnya, berdiri di ruang makan, mempersiapkan hidangan pasta aglio e olio dan steak wagyu yang baru saja mereka masak bersama. Zuri dengan hati-hati mengatur pasta di atas piring, memastikan setiap piring memiliki porsi yang cukup. Dia kemudian menyusun potongan steak wagyu yang telah dipotong oleh Jemy menjadi irisan tipis, dan menata potongan daging dengan sempurna di atas piring.Sementara itu, Jemy yang berada di ruang makan, mempersiapkan meja makan. Dia pun menata peralatan makan dengan hati-hati, memastikan setiap orang memiliki piring, garpu, dan pisau. Pria itu juga menyiapkan gelas untuk minuman dan menambahkan serbet ke setiap setting meja.Mereka berdua sibuk dengan tugas-tugas itu, akan tetapi suasana tetap santai dan penuh keceriaan. Keduanya berbicara
Di suatu pagi,Suasana di rumah Edward dan Zuri dipenuhi kegembiraan. Liburan anak-anak telah tiba, dan janji Edward untuk membawa mereka keliling Kota London semakin mendekati kenyataan. Zuri tampak sibuk di kamar, mengemas barang-barang untuk perjalanan panjang mereka."Nasya, Sayang, jangan lari-lari! Kita akan berangkat sebentar lagi," ujar Zuri sambil tersenyum melihat putri bungsunya yang berlari-lari kecil di sekitar tempat tidur.Nasya, yang baru berusia tiga tahun dan duduk di playgroup, menghentikan langkahnya dan menatap Zuri dengan senyum lebar. "Mommy, Nasya boleh bawa boneka nggak?" tanyanya dengan mata berbinar-binar."Boleh, Sayang. Tapi cuma satu, ya? Jangan kebanyakan barang," sahut sang ibu.Sementara itu, di ruang tamu, Edward sedang membantu kedua anak laki-lakinya, Edzhar yang berusia tujuh tahun dan Ben yang berusia enam tahun, mengemasi mainan yang akan mereka bawa."Daddy, nanti di London kita naik bus tingkat, ya?" Edzhar bertanya sambil memasukkan mobil mai
Sore yang mendebarkan,Saat sore menjelang, langit Jakarta memancarkan semburat jingga yang indah, namun hati Edward, sang CEO EK Corp terasa tak tenang. Baru saja dia selesai menandatangani berkas terakhir di kantornya ketika ponselnya berdering. Dengan cepat pria sibuk itu menjawab panggilan tersebut.Edward :”Hallo, Maid. Ada apa?”Maid :"Tuan, Nonya Zuri sudah dibawa ke rumah sakit. Sepertinya sudah waktunya melahirkan!" suara maid-nya terdengar di ujung telepon.Edward langsung berdiri, rasa panik mulai menyeruak di dadanya. “Baik, saya segera ke sana,” jawabnya sebelum memutus panggilan dari sang asisten rumah tangga. Pria itu lalu meraih jasnya dengan cepat, berlari menuju lift, dan segera melangkah ke mobilnya yang ada di parkiran.Perjalanan dari kantor Edward di kawasan pusat Jakarta menuju rumah sakit keluarga langganan keluarganya, biasanya memakan waktu lama karena kemacetan yang tak terelakkan. Namun, sore itu, keajaiban seolah berpihak kepadanya. Jalanan tampak lebi
Di suatu pagi,Suasana di rumah Edward dan Zuri sangat tenang dan damai. Sinar matahari di hari Sabtu pagi menyelinap di antara dedaunan pohon yang rimbun, menerangi halaman rumah yang luas, termasuk kolam renang pribadi mereka. Di sana, Edward tampak sedang berenang dengan putra-putranya, Edzhar dan Jacob Benedict yang biasa dipanggil Ben yang juga telah dikaruniai oleh Tuhan kepada mereka dan ikut meramaikan keluarga kecil Edward dan Zuri.Edward dengan sabar mengajarkan kedua putranya cara berenang gaya bebas saat ini.“Lihat, Daddy! Aku bisa melakukannya!” teriak Edzhar, anak sulung mereka yang baru berusia lima tahun, sambil mencoba menggerakkan tangannya dengan gaya bebas.“Bagus, Nak! Teruskan! Ben, kamu juga harus mencoba, ya,” seru Edward sambil mengawasi kedua putranya dengan penuh perhatian.Ben yang masih berusia empat tahun mencoba mengikuti, namun gerakannya masih kaku. “Daddy, aku agak susah berenang, airnya malah masuk ke dalam hidungku,” rengek Ben sambil mengusap wa
Beberapa bulan kemudian,Hari ini adalah hari istimewa bagi Zuri dan Edward. Tepat tujuh bulan sudah usia kandungan Zuri, dan mereka baru saja pulang dari rumah sakit setelah pemeriksaan USG yang menunjukkan bahwa mereka akan dikaruniai seorang anak laki-laki. Hasil pemeriksaan itu membuat mereka semakin antusias untuk menyambut kehadiran sang buah hati. Edward, yang selalu memperhatikan setiap detailnya, sudah lama merencanakan acara tujuh bulanan untuk merayakan momen istimewa ini. Acara tersebut digelar di ballroom hotel Fairmont, Jakarta, dengan dekorasi elegan dan suasana yang penuh kehangatan.Ballroom yang luas itu dihiasi dengan bunga-bunga berwarna putih dan biru pastel, mencerminkan tema kebahagiaan menyambut putra mereka. Di tengah ballroom, tampak panggung kecil dengan meja panjang yang dihiasi kue tujuh bulanan dan berbagai hadiah untuk Zuri. Para tamu mulai berdatangan, dan suasana semakin meriah dengan kehadiran keluarga dan teman-teman dekat pasangan ini.Zuri mengena
Zuri terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, wajahnya terlihat pucat akan tetapi tampak lebih tenang setelah beberapa jam dirawat di UGD. Setelah dipastikan kondisinya stabil, tim dokter memutuskan untuk memindahkannya ke ruang perawatan yang berada di lantai atas. Keadaannya mungkin sudah lebih baik, namun kekhawatiran masih menggelayuti wajah setiap orang yang menunggunya di luar.Bunda Ayu, Opa Bram, Jemy, Mirah, dan Bobby sudah menanti dengan penuh harap di depan pintu ruang perawatan. Ketika perawat memberitahu bahwa mereka diperbolehkan masuk, Bunda Ayu segera melangkah masuk, diikuti oleh yang lainnya. Dengan langkah tergesa, Bunda Ayu menghampiri menantu kesayangannya yang masih terbaring di ranjang, sambil menggenggam erat tangan Zuri."Zuri, syukurlah kamu baik-baik saja, Nak," ucap Bunda Ayu dengan suara penuh kelegaan. “Bunda sangat khawatir tadi.”Zuri tersenyum lemah, akan tetapi senyum itu cukup untuk menenangkan hati Bunda Ayu. "Terima kasih, Bunda. Saya juga ber
Jemy melangkah cepat di tepian Pantai Ancol, langkah-langkahnya teratur namun tegang. Dia memeluk tubuh Zuri yang pingsan dengan erat, tubuh perempuan itu terasa ringan di pelukannya, akan tetapi beban yang dirasakan Jemy di hatinya jauh lebih berat. Pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran. Untungnya Tadi, sebelum dia menggendong Zuri, dia sempat menelepon Bobby, yang juga merupakan sepupu Edward, yang baru saja selesai mengikuti rapat penting di gedung yang sama yang ada di area Pantai Ancol."Bobby, aku sudah menemukan keberadaan Zuri. Tapi dia sedang pingsan! Sekarang aku sedang menggendongnya, cepat siapkan mobil di parkiran. Kita harus segera ke rumah sakit!" Suara Jemy terdengar panik di telepon.Tanpa banyak bicara, Bobby langsung bergegas menuju parkiran dan menyiapkan mobilnya.Sesampai di parkiran, Bobby melihat Jemy datang dengan langkah cepat, Zuri berada dalam gendongannya. Bobby segera membuka pintu penumpang yang ada di belakang, memberikan ruang bagi Jemy untuk memasuk
Beberapa saat yang lalu,Angin pantai Ancol berhembus lembut, membawa aroma asin laut yang memenuhi area itu. Zuri berjalan dengan langkah pelan, menyusuri garis pantai. Hatinya terasa berat, penuh dengan kekesalan yang belum juga hilang setelah pertengkarannya dengan Edward, suaminya. Kata-kata tajam dari Edward tadi, masih terngiang-ngiang di telinganya, membuatnya sulit untuk menenangkan diri.Dia berhenti sejenak, menatap riak kecil yang menggulung di permukaan air. Pasir halus di bawah kakinya terasa dingin dan menenangkan, namun rasa sakit di hatinya tetap tidak berkurang. Edward jarang sekali marah, tapi kali ini, pertengkaran mereka begitu hebat hingga Zuri memutuskan untuk menjauh sementara waktu.Dia tak ingin kembali ke apartemen yang terasa begitu sempit dengan ketegangan.Perempuan cantik itu semakin kesal kepada Edward karena sang suami tidak mau mendengarkan penjelasannya sedikitpun.Bahkan Edward malah pergi meninggalkannya di apartemen sendiri. Hal itu semakin membuat
Di sebuah apartemen,Sore yang cerah perlahan berubah menjadi kelabu di langit Jakarta ketika Ranti, seorang wanita karier yang sukses, baru saja tiba di apartemennya. Setelah melalui hari yang panjang dan melelahkan di kantor, Ranti berharap bisa menemukan ketenangan di rumahnya. Namun, langkah cepatnya begitu memasuki apartemen seolah menggambarkan keresahan yang sejak tadi melanda pikirannya. Ada hal lain yang jauh lebih penting mengisi benaknya saat ini yaitu tentang sepupunya, Tari.Tari sejak beberapa bulan yang lalu tinggal bersamanya di apartemen ini. Setelah sebelumnya sang sepupu dirawat di sebuah rumah sakit jiwa di salah satu sudut Kota Jakarta.Tari mengalami gangguan jiwa saat Edward, mantan kekasih dari sang sepupu memutuskan hubungan dengannya. Hal tersebutlah yang membuat Ranti ingin membalaskan dendam Tari terhadap Edward, yang juga merupakan mantan kekasih pengusaha sukses itu.Namun sayangnya, Ranti yang awalnya hanya ingin memainkan perasaan Edward. Malah benar-b
Kedatangan Bunda Ayu,Nyonya Rahayu Kenneth, dengan gaun hijau lumutnya yang menambah wibawanya, turun dari mobil mewahnya di depan kediaman megah Opa Bram. Tangannya menggenggam tas kulit elegan, sementara langkahnya mantap memasuki halaman yang asri, dipenuhi oleh pepohonan tua dan bunga-bunga yang tertata rapi. Sejak suaminya meninggal, Opa Bram, ayah mertuanya, menjadi salah satu tumpuan hidupnya dalam menghadapi berbagai situasi. Dia merasa perlu bertemu dengannya hari ini.Begitu pintu besar kayu jati terbuka lebar, Asisten Geri, pria berwajah dingin yang selalu setia melayani Opa Bram, menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat pagi, Nyonya Rahayu,” sapa Asisten Geri dengan sopan, membungkukkan badannya sedikit. “Opa Bram sudah menunggu Anda di ruang kerjanya, Nyonya.”“Terima kasih, Asisten Geri,” jawab Nyonya Rahayu. Namun, sebelum sempat melangkah lebih jauh, telinganya menangkap suara keras yang berasal dari lantai dua.Suara itu sangat dikenalnya, suara putranya, Edward