Licik!
Dia memvideo diriku saat dia mengatakan jika Mas Bayu memberikan uang itu, bukan hutang. Ya ... Memang saat itu, expresiku begitu shok. Kaget setengah mati dan hampir menangis.
Dia memberikan tag pada video singkat itu.
(Sudah saya bilang ngga punya hutang sama dia. Sekarang dia nyesel dan minta maaf. Tentu Desi maafkan kok. Bagaimana pun kamu tetap adik iparku.) Dengan di akhiri emoticon peluk dan cium.
Ciuuhh!
Mana hati tak panas. Semua dia buat drama. Benar-benar sangat membuat sebal. Lihat saja, akan aku lanjutkan perseteruan di grup keluarga.
Niat hati mengajak Sari untuk memvideokan bagaimana aku menagih hutang pada Mbak Desi yang galak seperti singa. Kenapa malah jadi video aku yang dia viralkan?
Aku masih melihat, dari sisi mana dia mengambil gambarku dan berfikir siapa yang mengambil itu. Pasti ini ulah anaknya Natasya! Aku menduga, karena siapa lagi? Suami Mbak Desi tak mungkin mau tapi ... Ngga tahu juga, bukankah sekarang sudah jadi horang kaya.
Aku berfikir, dari mana mereka mendapatkan rejeki nomplok hingga seolah menemukan durian runtuh. Atau mungkin hutang? Sepertinya tak mungkin jika berhutang dan dihabiskan untuk foya-foya. Apa mungkin dapat warisan? Setahu aku suami Mbak Desi itu hanya orang biasa saja jadi kemungkinan itu juga ngga mungkin atau jangan-jangan dia melakukan pesugihan?
Ihhhh ... Aku bergidik ngeri tapi ....
Ahaaaa ... Aku punya ide yang akan membuat Mbak Desi langsung mau membayar hutang. Tapi, sebelumnya aku mau main-main dulu. Membuat dia lebih malu di grup keluarga.
Ku SS pesan chat di HPku dari Mbak Desi sebelum di blokir. Kukirim ke Hp Mas Bayu, baru aku kirim ke grup W*.
[Apa ini bukan bukti bahwa si pengirim memiliki hutang padaku?]
[Satu lagi, Mas Bayu tidak pernah mengatakan jika uang yang kamu pinjam, Mbak. Di berikan secara percuma. Karena apa? Uang yang kamu pinjam bukan uang Mas Bayu, melainkan uang dari hasil aku pinjam majikan dan akhirnya di potong dari hasil keringatku.]
[Maaf, bikin kacau grup W*, tapi Mbak Desi tidak punya iktikad baik untuk membuat masalah selesai. Malah makin menjadi. Saya hanya minta hak saya, tidak sedang mengemis orang yang katanya jadi OKB.]
Klingg!
Klingg!
Balasan demi balasan kuterima. Dari beberapa orang termasuk Kakak dan Adik Mas Bayu yang lain. Tapi, rata-rata mereka tak memihak aku sepenuhnya. Hanya mencoba menenangkan dan memilih jalur tengah.
[Hei! Mulut lemes. Kamu ngomong apa? Sok-sokan koar lagi di grup! Sini mulutmu kulemes biar keriting!] Kata-kata kasar kembali keluar dari mulut Mbak Desi.
[Seandainya Mbak Desi yang kemarin pamer uang, secepatnya menyelesaikan urusan denganku yang jumplahnya tak seberapa dari apa yang di posting. Aku tak akan seperti ini. Maaf, saudara semuanya.] Aku membalas chat dari Mas Rian yang bilang untuk menyelesaikan secara keluarga.
Aku tak menanggapi pesan yang dikirim Mba Desi. Biar saja dia suruh ngamuk. Salah siapa dia pelit untuk bayar hutang.
[Ohhh ... Mau sok cari pembela? Memangnya siapa kamu! Jangan harap mereka membela kamu. Lebih baik mundur sebelum kami depak kamu secara kasar!] Kembali Mbak Desi berkata.
[Aku tak cari pembela. Aku hanya menegakan apa yang menjadi hakku. Aku memang orang miskin tapi, anti bagiku untuk tak membayar hutang. Itu akan menyusahkan diri kita sendiri, Mbak!]
Aku berkata dengan tenang. Tak mau terpancing emosi berlebihan.
Kondisi makin tak karuan. Mbak Desi bersikukuh kalau dia benar dan tetap tak mau mengakui tentang hutang itu. Aku tahu dia malu. Mbak Desi sudah mengirim pesan japri tapi aku abaikan. Biar saja semua di selesaikan di grup. Paling-paling dia tetap meminta mengklarifikasi lagi!
Huuhh, memangnya aku mau?
Mbak Desi makin emosi, terlebih Natasya juga membelanya. Anak dan Ibu kompak. Padahal saat itu uang yang dia pinjam adalah untuk bayar sekolahnya.
Aku menscrool chat dari Mbak Desi di HP Mas Bayu. Aku yakin suamiku itu jarang hapus chat kalau HP belum ada peringatan memory penuh.
Aku harus mendapatkan chat Mbak Desi tiga bulan yang lalu saat meminta pinjaman uang.
Ketemu.
Aku seneng karena semua masih lengkap. Bagaimana Mbak Desi merengek kalau Mas Bayu harus mencarikan uang untuk membayar iuran Natasya yang harus ada esok hari.
Semua ku SS sampai panjang. Bahkan sampai kubuat beberapa agar semua percakapan bisa terbaca.
Lihatlah! Apa dia masih bisa mengelak dan berkata tak punya hutang padaku?
Dengan gerak cepat aku langsung mengirim chat demi chat yang telah ku SS sebelumnya. Aku sedikit bergetar karena takut jika Mas Bayu menanyakan apa yang sedang aku lakukan pada ponselnya. Karena tentu Mas Bayu tak akan setuju kalau aku berperang dengan saudaranyaa apalagi lewat grup.
Dia itu terlalu terima dan terlalu manut. Bahkan saat di kerjai kakak dan Adiknya untuk sesuatu hal saja. Ia melakukan dengan ikhlas. Tapi ... Untuk satu ini aku tak mau tinggal diam!
Klik
Klikk
Kukirim semuanya dengan puas. Aku tinggal menunggu respon para saudara dan Natasya yang tadi berkata kasar hanya untuk membela ibunya.
Semenit, dua menit. Masih hening. Tak ada notifikasi masuk. Akupun penasaran. Apa mungkin nomor Mas Bayu didepak dari grup keluarga.
Dan ternyata ....
Ternyata grup telah di bisukan. Diatur hingga hanya admin yang bisa mengirim chat. Sedangkan admin disana hanya dua orang. Mbak Desi dan Mas Rian. Ini pasti ulah Mbak Desi. Dia kepokoh malu hingga harus melakukan itu. Tentu untuk mengeluarkan Mas Bayu, mereka sedikit berfikir. Mas Bayu memang terkenal pendiam, tidak terlalu banyak bicara namun kalau sudah tidak di hargai, dia tak akan lagi mau untuk kembali bergabung."Fit, kamu ngapain?" Tanya Mas Bayu yang baru selesai salat dan meletakan kopyahnya. Aku bahkan sempat kaget karena masih terus merutuk."Biasa, Mas. Mbahas hutang Mbak Desi di grup," jawabku enteng."Apa? Kamu buat masalah lagi?" Mas Bayu seperti kaget."Habis Mbak Desi duluan. Dia kebanyakan drama dan lebih banyak cari pencitraan. Bukannya bayar hutang malah seolah cari nama!" gerutuku."Fit-fit, sudahlah. Jangan terlalu begitu. Jadi nggak baik kan hubungan keluarga kita? Sabarlah sedikit. Ingatkan sekali dua kali, setelah itu pasrahkan pada Allah, agar dibukakan pint
Aku sejenak berfikir. Mencerna tentang maksud yang di utarakan Mas Rian dengan memberi pinjman."Bagaimana, Fit?" Mas Bayu kembali membuka suara. Mungkin ia heran dengan expresiku yang tak menunjukan rona bahagia. Padahal sudah menemukan jalan pintas."Boleh, Mas." Kataku antusias yang di imbangi oleh senyum merekah Mas Bayu. "Asalkan ... Bilang sama Mas Rian jika nagihnya jangan sama kita. Tapi, sama Mbak Desi!"Seketika wajah Mas Bayu murung. Kalau begitu, artinya dia yakin jika Mbak Desi belum tentu mau membayar hutangnya."Bagaimana, Mas?" tanyaku sekarang.Dia mengaruk rambutnya, kemudian mengusap tengkuk. Aku memilih pergi meninggalkannya yang masih bingung. Biar saja! Toh aku geram pada Mas Bayu. Jadi laki kok lembek dan tak mau tegas pada kakaknya.Aku memotong buncis, untuk aku masak. Rasanya hati dan pikiranku sudah kacau balau. Entah harus bagaimana menyikapi ibu pemilik kontrakan. Rasanya dia bicara tak main-main.Setelah mengiseng buncis, mengoreng tempe, aku memanggil Il
"Eeh, Bayu." Pak Handoyo menoleh pada Mas Bayu. "Ada apa, Pak. Kenapa mau pegang-pegang istri saya?" tanya Mas Bayu langsung. Ada nada cemburu disana."Eee ... Enggak kok. Tadi aku hanya ingin menyampaikan bantuan. Tentang penunggakan uang kontrakan. Kasian kan kalau harus di usir. Secara selama ini kalian tak pernah telat. Hanya baru kali ini, tentunya ada alasannya." Pak Handoyo berkata panjang lebar."Iya betul, Pak. Semua karena uang saya untuk bayar kontrakan di pinjam dan belum di kembalikan. Sedihnya sekarang aku menagih malah di bilang ngga pernah punya utang!" Cerocosku."Fit!" Mas Bayu memanggilku. Menatap tajam padaku.Aku bangkit berdiri. Melewati Pak Handoyo dan berdiri tepat didepan Mas Bayu."Dan yang membuat saya kesal. Suami saya yang menghutangkan uang itu tak mau menagih! Miris sekali!" Aku segera masuk kedalam."Fit! Fit!" Mas Bayu mengikuti aku masuk. Aku berhenti saat tiba didepan pintu kamar."Kamu itu keterlaluan. Kenapa harus cerita pada Pak Handoyo. Kamu sed
Wajah Mbak Desi yang tadi sempat pongah, kini mendadak pucat. Apa dia setakut itu?Aku masih tersenyum mengejek. Seolah apa yang tengah aku katakan bukan hal remeh."Mau siapa yang akan kamu tawarkan, Mbak? Kamu atau Natasya? Toh, uang yang kamu pinjam kan untuk biaya Natasya. Jadi nanti aku tinggal sebutkan nama salah satu dari kalian!" Aku mengakhiri dengan nada sedikit menekan di akhir kalimat."Fitri! Ja-jangan lancang kamu!" Bibir Mbak Desi bergetar. Tentu dia pasti melihat kesungguhan ku."Lancang? Aku sudah terlalu capek, Mbak. Punya suami adik kamu itu ngga ada untung-untungnya. Udah hanya bisa ngojol sekarang jadi budak saudaranya. Mau saja meminjamkan uang pada saudara yang tak tahu diri. Ngga ada niatan buat bayar padahal punya uang banyak!" Aku berkata sambil melirik pada Mas Bayu. Biar saja marah. Memang itu kenyataannya."Ayo, Mas! Kita ke gunung Sinere. Sebelum itu kita beli bunga tujuh rupa dulu!" Aku menatap pada Mas Bayu yang masih setengah bingung.Kutarik Mas Bayu
Sejak kapan Natasya paling aku Tante? Bisanya juga Bulik dan sejak kapan juga ia panggil ibunya Bunda? Biasanya juga Mama bahkan kadang Mane.Aku menerima amplop itu dengan senang. Segera kuraih dengan kedua tanganku. Mas Bayu dari belakang berucap alhamdulilah."Akhirnya selesai juga drama pinjam meminjam ya, Fit," ucap Mas Bayu saat aku akan membuka uang itu.Kuhitung uang yang terlihat berbeda. Tak sebanyak yang kukira. Uang berwarna biru dan kuhitung hanya sepuluh. Kembali lagi kuhitung uang itu sampai kukeluarkan dari amplop."Mas, kok cuma lima ratus?" cicitku pada Mas Bayu. Ia juga tampak sok. Sedangkan aku langsung menghadap pada Natasya yang ternyata sudah hilang bak dedemit. Memang keluarga songleng."Yang bener, Fit. Kok bisa? Coba itung lagi!" "Udah, Mas. Udah kuhitung bener-bener!""Apa mungkin Mbak Desi udah pikun. Uang lima puluhan di kira seratus ribuan." Ucapan Mas Bayu mampu membuat aku langsung menatapnya."Jangan bilang kamu mau kembali membelanya, Mas! Atau ... K
"Aku ngga mau, Mas. Bilang aja di suruh masak didapur. Pake bilang chef-chef segala. Enak bener, saudara hajatan bukannya ikut pesta malah di suruh masak. Memangnya ngga bisa apa cari tukang masak? Apa karena ngga mau keluar uang besar?" gerutuku langsung di depan Mas Bayu. "Pokoknya, sampaikan pada Mas Rian, Mas. Aku ngga bisa kalau disuruh masak. Aku bantu-bantu semampunya saja!" ujarku sambil membereskan meja.Tak ada protes dari Mas Bayu. Semoga dia mengerti jika semua yang dilakukan saudaranya padaku sudah sangat tidak adil. Kami memang miskin, tapi bukankah tetap jika Mas Bayu adalah memiliki aliran darah yang sama sedangkan aku istrinya.***Sejak hari itu, pembahasan demi pembahasan di grup. Aku tak pernah nimbrung, hanya saja membaca apa yang mereka bicarakan. Tak ingin ikut campur. Berusaha stel kalem.[Bagaimana tentang seragam keluarga?] Malam kemarin, Mbak Desi menayakan itu pada Mas Rian.[Aman.] Balas Mas Rian. Aku hanya diam. Bagaimana Mas Rian bilang aman, sedangkan
Pagi hari ini Mas Bayu tampak senyum sumringah. Ia seperti tengah orang yang memenangkan undian. Pagi hari sudah rajin dan siap. Duduk menikmati secangkir kopi dengan memainkan ponselnya.Tak lama, saat tengah menyeruput kopi, ponselnya berdering. Tentu panggilan masuk. Segera mengeser kursi plastik dan keluar rumah. Aku menguntit. Rasa penasaran yang membuncah membuat aku kepo. Mas Bayu tengah sibuk dengan jawaban baik, Iya dan beres. Itu saja sekitaran yang di sampaikan. Hingga aku tak tahu siapa si penelfon. Bahkan laki-laki atau perempuan aku tak tahu."Kamu ngapain?" tanya Mas Bayu saat ternyata dia masuk kembali. Aku yang tengah di pinggir pintu terlonjak. Karena kukira Mas Bayu belum selesai menelfon."Heee ... Aku cuma penasaran, Mas. Kamu telfon sama siapa? Kayanya girang banget." Aku bertanya apa adanya."Sudah, sudah. Nda usah kepo. Lagian yang menelfon itu pemberi rejeki. Bukan selingkuhan atau apapun!" Mas Bayu mengusuk kepalaku. Aku tersenyum. Ada rasa tenang juga di re
"Tapi kita ke Pasar dulu beli perhiasan." Mas Bayu berkata dengan wajah berbinar. Tak terkecuali aku. Bahkan aku masih terpaku pada isi plastik hitam itu."I-ini nda mimpi, Mas?" tanyaku sambil mengangkat gepokan uang berwarna merah.Aku mebalik-balikan uang itu dan menghitung semuanya berjumlah lima gepok. Artinya lima puluh juta."I-ini?" Duh ... Aku sampai kehilangan kata-kata. Sungguh ini seperti mimpi. Memegang uang sebanyak ini."Sudah, sudah! Sekarang ganti baju sana. Kita pergi sekarang. Belilah apa yang kamu mau!" Mas Bayu mendorong tubuhku tanpa meminta kembali plastik itu."Tunggu, Mas. Ini uang asli?" tanyaku memastikan. Takut-takut aku kena prank."Ya nanti di cek aja, Fit. Aku masih ragu," jawaban Mas Bayu membuat aku menatapnya dalam."Dari mana uang ini, Mas? Kamu ngga ngerampok bank kan? Atau bobol ATM atau menodong atau ...." Aku menatap dengan mata setajam silet. "Memuja setan?""Husst, kamu ini. Itu uang halal. Seratus persen di jamin halal. Udah buruan sana ganti