Kepalaku sudah mendidih. Ingin segera menghilang dan langsung muncul di hadapan Mas Bayu. Si*l! Dia kurang di hajar. Tega benar dia memberikan uang pada kakaknya dengan uang yang akhirnya aku yang bayar. Kita hitung-hitungan empat kali empat! Sempat tidak sempat harus di jawab! Ehhhh.
Pusing! Ah. Ngomong apa tadi?
Aku segera langsung meluncur pulang. Rasanya mataku sudah berembun. Dengan di antar Sari menggunakan sepeda motornya. Aku diam tanpa kata.
"Sabar ya, Fit. Ambil hikmahnya saja!" Sari yang tengah mengemudi berucap. Aku masih diam. Ada rasa sesak didalam hati ini.
"Mungkin memang salah suami kamu. Dia harusnya ngga bilang begitu, sedangkan dia tahu kalau kehidupan keluarganya saja masih Senen Kemis." cicit Sari lagi.
"Senen Kemis?" tanyaku tak mengerti maksud ucapan Sari. Kaya puasa sunah saja?
"Maksudnya kembang kempis, Fit. Kadang ngambang kadang ngempis! Hahahaha .... " Sari terbahak di akhir kalimat. Pasti dia sedang berhalu hal yang tabu.
Aku mengerucutkan bibir. Aku tahu Sari menghiburku, tapi mood untuk tersenyum masih belum ada hilalnya.
Tiba di rumah. Sudah kulihat motor Mas Bayu. Artinya dia sudah pulang. Aku langsung turun tanpa mempersilahkan Sari untuk sekedar mampir. Pikiranku sudah pengen bikin Mas Bayu kubejek-bejek jadi lalapan.
"Massss!" Teriakku walau belum menjangkau pintu.
"Apa si, Fit! Teriak-teriak begitu. Kaya orang kesurupan sampai kaget dan hampir jantungan!" cerocosnya yang datang dengan sedikit berlari dari dalam.
"Biar saja jantungan. Koit juga aku sudah ngga peduli!" Teriakku.
"Kok ngomongnya begitu? Sudah mengharap jadi janda? Apa sudah ada calon pengganti?" Mas Bayu menatapku penuh selidik.
Dasar markonaahhh ... Aku lelah!
"Abis punya suami dzolim banget sama keluarga sendiri! Bagaimana bisa kamu memberikan uang satu juta yang aku pinjam dari majikan kepada Mbak Desi? Apa suamiku sudah ngga waras? Apa suamiku tak lagi punya pikiran jika uang itu untuk bayar kontrakan. Sadar, Mas! Hidupku pas-pasan. Aku tak melarang kamu memberikan untuk saudaramu tapi jika semua sudah berkecukupan!" ucapku penuh bara api. Walau sudah ada yang mengembang di pelupuk mata. Aku masih bisa sedikit berteriak. Tak peduli jika tetangga pun mendengarnya.
"Dzolim? Uang? Kapan aku ngasih uang sama Mbak Desi?" tanya Mas Bayu tanpa dosa. Benar-benar ngga bisa di percaya.
"Ia, Mbak Desi sendiri yang bilang. Jika saat dia meminjam uang satu juta, kamu tak mengutangi, tapi memberikannya dengan iklas! Padahal itu uang pinjam dan aku bayar dengan keringatku satu bulan. Hhhhuuuuu ...." Akhirnya tumpah sudah air mata ini.
Aku terduduk di lantai seperti anak kecil yang tengah menangis meminta permen.
Aku masih tergugu. Mas Bayu pun belum beranjak dari sana sama sekali.
Tunggu!
Kalau Mas Bayu juga tak merasa memberikan uang itu. Artinya ... Mbak Desi yang berbohong. Sudah jelas dari chat-chat yang ia kirim sebelumnya bahwa dia mengakui hutangnya. Cuma malu karena aku menagih di grup W* keluarga.
"Aku ngga ngasih uang itu, Fit. Aku cuma bilang kalau dia balikin uang itu kalau Mas Rafi sudah gajian. Karena dia janji tiga hari akan mengembalikannya. Kupikir, karena masa gajian masih setengah bulan lagi, aku saranin begitu." Mas Bayu berjongkok. Mensejajarkan tubuhnya dengan tubuhku yang masih terduduk di lantai.
Berarti ini sengaja Mbak Desi mempermainkanku! Dia itu memang ratu drama.
"Mana ada aku berani begitu. Aku masih sadar jika uang yang di pinjamkan itu uangmu. Hasil keringatmu untuk membantuku memperjuangkan keluarga kita ini." Mas Bayu mengangkat wajahku yang sudah basah. Menatap dan mengusap air mata. Kemudian langsung membawa kepala ini dalam pelukannya.
"Maafin aku, Fit. Belum bisa membahagiakanmu," ucapnya lirih yang masih sempat kudengar.
Aku bergeming. Rasanya tak sanggup untuk kembali berdebat. Sebaiknya aku dinginkan suasana dulu. Setelah itu aku akan atur strategi agar Mas Bayu mau menagih kakaknya yang OKB itu. Aku akan buat apa yang ia katakan berbalik padanya. Lihat saja!
***
Setelah usai drama itu. aku kembali normal. Menyiapkan makan malam untuk Mas Bayu dan Ilham. Kubuat perasaanku senormal mungkin.
Tapi, saat akan beranjak tidur. Suara ponsel Mas Bayu terus berbunyi nyaring. Notifikasi chat demi chat ataupun sebuah grup.
Rasa penasaran pembuncah. Tentu, aku ingin tahu chat siapa atau grup mana yang tengah rame berbincang.
Mas Bayu yang tengah berada di toilet tentu abai tapi, aku penasaran.
Karena memang tak ada privasi diantara kami. Aku langsung meraih ponsel Mas Bayu. Terfokus pada notifikasi chat grup keluarga yang aku telah di tendang.
Rasa penasaran membuncah. Tanpa pikir panjang aku membuka chat grup keluarga itu. Mas Bayu ternyata sudah lama tak membuka. Bahkan jumplah chat sudah ratusan dan itu dari beberapa hari yang lalu.
Deg!
Jantungku hampir copot melihat apa yang ada didalam grup itu. Mereka? Mbak Desi?
Ternyata dia? Benar-benar licik!
"Mas!" Aku memanggil Mas Bayu yang berdiri tak jauh dariku. Keringat mulai membasahi kening. "Mas! Takut!" Kembali aku mengoncangkan tubuh Mas Bayu yang dari tadi tak merespon.Aku panik, celingukan kesana-kemari. Mas Bayu memegang tanganku erat. Ia mungkin tahu jika aku terkena serangan panik.Dengan panik aku melihat Panji naik ke podium dan langsung menuju kearah Arumi dan Alif. Mataku tak lepas darinya. Bayangan jika Panji akan melukai adiknya ataupun Alif terngiang.Tak lama mereka berpelukan. Menangis haru Panji dan memeluk erat Arumi. Sejenak aku tertegun. Apa ini semua hanya setingan?"Mas, ayo pergi dari sini! Pasti Panji merencanakan balas dendam pada kita!" cicitku.Aku sedikit menarik tangan Mas Bayu. Tapi dia menahan."Jangan panik, Fit. Panji tak mungkin melakukan itu. Ada polisi yang mengawal!" ujar Mas Bayu tak membuat rasa panikku hilang. Aku tetap gelisah walau mata ini fokus melihat kearah Panji dan Arumi.Mereka seperti tengah saling melepas rindu. Juga meluapkan
"Becanda, Fit! Mukanya jangan tegang gitu." Mbak Desi mencolekku. Aku terkekeh. Sebuah pengalaman tentu mampu membuat seseorang menilai. Tapi, jika benar Mbak Desi mau pinjam uang lagi, tentu tetap aku beri. Bukankah menolong sesama itu wajib, apalagi saudara. Jika tidak berniat mengembalikan, anggap saja sedekeh. Toh, kehidupanku sudah lebih baik dan alhamdulilah, aku sudah kelebihan secara materi."Iya, Mbak. Aku juga pura-pura kaget," jawabku, "Oh ya, kalian jangan pulang dulu sampai nanti malam. Hari ini aku kedatangan tamu yang akan melamar Hani."Semua mengangguk. Beruntung semua sudah kupersiapkan. Makanan kupesan catering dan jajanan juga sudah ada yang mengatur.Tapi ... Ngomong-ngomong kenapa aku sampai lupa untuk melihat wajah calon suami Hani?"Ah! Hani kemana si?" Aku mencoba mencari Hani kebelakang. Hanya ada beberapa karyawanku yang memang sudah kutugaskan di belakang. Toko aku tutup sementara. Aku melihat kekamar tak ada, aku langsung menuju kekamar Ibu. Ibu tengah s
Aku menarik paksa tangan Mas Bayu. Rasanya pengen pulang dan langsung pindah rumah."Kamu kenapa si?" Mas Bayu justru menarik tangannya hingga aku sedikit limbung."Ya kita pulang! Aku takut kalau Panji keluar dari penjara terus mencari kita. Dia itu manusia jahat dan tentu akan balas dendam pada kita semua. Iya kan, Rum?" Aku menatap Arumi yang dari tadi diam saja."Semoga saja tidak, Mbak. Aku sangat berharap Mas Panji keluar dari penjara dalam keadaan sadar." Arumi berkata tanpa menatapku."Mas Panji pongah dan sombong karena memiliki kekayaan. Uangnya berlimpah, dia jadi OKB yang benar-benar kaya, tapi ... Uang itu kini semua menjadi daun," ucapan Arumi membuat aku kembali terduduk. Tentu penasaran dengan apa yang baru saja di sampaikannya."Benarkah?" Kali ini aku dan Mas Bayu bersuara bersama."Sebenarnya ini yang ingin aku bicarakan pada kalian. Masalah Mas Panji dengan masalalunya. Tapi, melihat kondisi Mbak Fitri yang sepertinya panik berlebih, aku memilih diam." Arumi mulai
Aku gemetar. Seolah tulangku lolos dari tempatnya."Kamu kenapa?" tanya Mas Bayu yang melihat aku memegangi perut. "Astaghfirullah!" Mas Bayu beristighfar ketika melihat kakiku yang sudah banyak darah. Aku terduduk karena tak kuat menahan sakit dibagian bawah perutku. Rasanya seperti dicabik-cabik.Lemas, letih dan mata berkunang-kunang. Mas Bayu terdengar ribut meminta bantuan. Tak lama Mas Jali dan Mas Bayu memapah aku menuju keluar. "Titip Arumi!" ucapku pada Alif yang masih tergeletak tak jauh dari tempatku. Ia hanya mengangguk. Tak kulihat Arumi. Mungkin sedang kedapur untuk mengambil sesuatu.Aku di bawa kerumah sakit dengan keadaan yang setengah sadar. Rasa sakit di perutku benar-benar sangat menyiksa hingga seolah aku merasakan mati rasa. Roda brankar terdengar nyaring melewati setiap jalan menuju IGD. Beberapa suster segera memberi pertolongan pertama. Aku pasrah saat selang infus di pasang. Setelah itu, aku tak dapat merasakan apapun.***Hawa dingin menusuk tulang. Aku b
PoV Alif"Maaf, Mas. Sepertinya hubungan kita hanya bisa sampai disini saja!" ucap Arumi. Wanita yang kucintai.Tentu aku tertegun. Tak ada angin dan hujan, tiba-tiba dia minta putus? Padahal, aku sudah berniat untuk meminangnya. Bahkan niat itu, sudah ada dari sejak pertama dekat dengannya.Bawaan yang riang, supel dan super aktif, membuat aku yakin jika dia wanita yang mampu menemaniku sampai Jannah.Tapi ... Yang baru saja aku dengar ini, membuat semua mimpi runtuh tak berkeping. "Tapi ... Kenapa?" tanyaku memastikan penyebabnya."Kakakku tak setuju," jawabnya dengan mata berkaca-kaca.Dia lagi! Dari awal hubungan, hanya dia kendalaku untuk meminang Arumi. Hanya karena dia, yang sok memiliki Arumi seutuhnya hingga ia kira dapat menyetirnya."Tapi, bukankah sudah kita bahas masalah ini jauh-jauh hari? Bukankah kita juga udah sepakat untuk meluluhkan hati Kakakmu?" Aku masih berbesar hati. Tak emosi didepan Arumi walau di dada sudah sangat muak dengan Panji!Bukan sekali dua kali ak
"Kuatkan tubuhmu!" Alif berkata dengan pelan. Ya ... Harusnya aku memang kuat. Kenapa baru dengar suara Mas Bayu begitu saja mau tumbang. Aku mengangguk kemudian dengan pelan langsung berjalan menuju kamar Arumi.Segera pintu didobrak. Terlihat jelas wajah kaget Mas Bayu yang tengah memeluk Arumi dengan paksa."Lepaskan dia!" ucap Alif.Mas Bayu memang melepaskan Arumi. Dengan wajah garang dan mata merah menyala dia mendekati Alif. Aku sampai tak dapat melihat sisi Mas Bayu disana. Dia sudah benar-benar berbeda."Siapa kamu?" tanya Mas Bayu. Bahkan dia tak menatapku sama sekali. Seolah sudah tak mengenaliku.Sedangkan Arumi terlihat matanya berbinar. Ada secercah harapan padanya walau dengan penampilan acak-acakan."Aku calon suami Arumi!" Dengan tegas Alif berkata. Aku mengangguk walau tak di mintai pendapat."Calon suami? Cuihh! Akulah calon suami Arumi!" cetus Mas Bayu. Ada rasa menyayat di hati tapi aku berfikir positif. Aku tahu jika dia bukan Mas Bayu suamiku."Mbak, segera lak
"Tolong, pikirkan sekali lagi!" ungkapku sebelum Alif benar-benar melangkah.Dia melihatku sekilas, aku berusaha memasang wajah melas demi meyakinkan dirinya. Tentu hanya dia harapanku saat ini. Sungguh aku begitu berharap."Akan saya pikirkan!" Akhirnya kata terakhir di ucapkan Alif, sedikit memberi harapan atas apa yang kuminta.Aku menghela nafas berlahan. mengisi rongga paru-paru agar terisi oksigen dengan baik. Kukecap jus jeruk yang tinggal separuh. Aku harus mengusahakan sesuatu.Aku berfikir tentang ustadz. Setelah Googling beberapa kali, aku memutuskan memilih ustadz Danu. Ustadz yang terkenal dengan banyak pasien menggunakan metode ruqyah masal dan mandiri."Hanya dia kali ini harapanku." Aku bergumam.Rasa simpati pada Arumi juga untuk mengakhiri drama yang di buat Panji, aku harus bisa menguak semuanya dan menyelamatkan keluargaku, jika memungkinkan juga Arumi.Kuambil tas yang tergeletak dimeja tak jauh saat aku duduk. Beranjak dengan lemas karena tak jua membuahkan hasil
"Kamu ngapain si, Fit? Datang kesini dan marah-marah!" Mas Bayu segera melepaskan gandengan tanganku saat kami masih menunggu taxi online yang terlihat baru akan tiba dua menit lagi."Lah, aku kesal, Mas. Kenapa kamu harus datang kesini. Mau saja jadi pembantu Panji!" cebikku.Tak berapa lama taxi datang. Aku langsung menyuruh Mas Bayu masuk."Aku pamit dulu pada Arumi," Mas Bayu akan beranjak kembali masuk. Aku melarangnya."Sudah aku pamit kan padanya, ngga perlu repot-repot masuk kedalam lagi!" Protesku. Terlihat Mas Bayu ragu, namun akhirnya menurut juga. Aku menyerahkan ponsel Mas Bayu padanya."Kok ada di kamu? Dan, kenapa kamu datang tiba-tiba. Bahkan aku tak melihat kamu datang dari depan." Mas Bayu mulai curiga."Aku datang lebih dulu dari pada kamu! Saat kamu datang, aku ngumpet di samping sofa, takut ketahuan Panji. Berniat mengambil ponsel kamu yang tertinggal. Eh, ternyata justru kamu malah datang kesini sama Panji!" gerutuku. Mas Bayu hanya menghela nafas. "Harusnya ka
"Kamu sebut Mas Bayu, Suami? Artinya?" Arumi akhirnya mengeluarkan kata-kata, setelah sejenak bergeming. Aku bingung dan celingukan. Bagaimana kalau Arumi marah dan mengamuk padaku. Kemudian dengan brutal menghajarku. Mencabik-cabik tubuhku hingga ... Aku begidig ngeri. Menyiapkan siasat untuk seribu kemungkinan yang terjadi."Mbak? Kamu betul istrinya Mas Bayu?" Kali ini ia mengoncangkan tubuhku. Keringat dingin membasahi pelipis. Aku mengangguk pelan."Benarkah?" tanpa diduga Arumi tersenyum saat berkata menyakinkan. Dia langsung memelukku erat. Aku makin bingung dibuatnya."Alhamdulilah, kalau benar. Do'aku selama ini terkabul."Aku menyempitkan mata, sekilas aku bisa melihat jika Arumi baik-baik saja. Dia benar-benar waras dan pengingat yang baik."Mbak, aku selalu berdoa agar dapat bertemu dengan. Sungguh, aku sudah yakin jika kamu tentu sedang makan hati karena Mas Bayu yang memiliki keinginan untuk menikahiku. Tapi, sungguh, aku tak menginginkan itu. Sudah kuiklaskan jauh-jauh