Ternyata grup telah di bisukan. Diatur hingga hanya admin yang bisa mengirim chat. Sedangkan admin disana hanya dua orang. Mbak Desi dan Mas Rian.
Ini pasti ulah Mbak Desi. Dia kepokoh malu hingga harus melakukan itu. Tentu untuk mengeluarkan Mas Bayu, mereka sedikit berfikir. Mas Bayu memang terkenal pendiam, tidak terlalu banyak bicara namun kalau sudah tidak di hargai, dia tak akan lagi mau untuk kembali bergabung.
"Fit, kamu ngapain?" Tanya Mas Bayu yang baru selesai salat dan meletakan kopyahnya. Aku bahkan sempat kaget karena masih terus merutuk.
"Biasa, Mas. Mbahas hutang Mbak Desi di grup," jawabku enteng.
"Apa? Kamu buat masalah lagi?" Mas Bayu seperti kaget.
"Habis Mbak Desi duluan. Dia kebanyakan drama dan lebih banyak cari pencitraan. Bukannya bayar hutang malah seolah cari nama!" gerutuku.
"Fit-fit, sudahlah. Jangan terlalu begitu. Jadi nggak baik kan hubungan keluarga kita? Sabarlah sedikit. Ingatkan sekali dua kali, setelah itu pasrahkan pada Allah, agar dibukakan pintu hatinya untuk secepatnya membayar hutangnya." Mas Bayu selalu begitu. Dia itu lemes. Terlalu terima.
"Tapi, Mas. Kita sudah di tagih dan sudah di ancam akan di kontrakan untuk orang lain kalau ngga bayar Doble. Apa kamu punya solusi lain selain uang yang ada di tangan Mbak Desi? Tidak kan? Jadi janganlah jadi orang yang mudah terima, sedangkan kamu tahu, Mas. Mbak Desi bukan belum bisa bayar hutang tapi tidak mau bayar! Harus di bedakkan!" Luapku penuh emosi. Aku sudah kesal dengan sikap sabarnya Mas Bayu menghadapi semuanya.
"Bagaimana? Apa kamu punya uang agar kita tak di usir besok?" Aku kembali bersuara sambil menatapnya.
Dia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan uang yang kebanyakan berwarna kuning dan abu-abu.
"Hasil hari ini. Sepi banget." Dia mendorong uang itu padaku. Aku yakin uang itu tak lebih dari lima puluh ribu.
Aku tersenyum miring. Jika sehari saja dia hanya dapat segitu tapi masih segan menagih uang sedangkan posisi kita di ujung tanduk. Istri mana yang masih sabar.
"Kalau begitu, kita beres-beres. Entah kemana kita akan mencari kontrakan yang mau di tempati lebih dulu sebelum dibayar!" Aku berkata tanpa menatap Mas Bayu.
Dengan ekor mata, aku dapat melihat jika Mas Bayu sedikit kaget.
"Ilham! Kemasi barang-barangmu. Kita keluar dari kontrakan!" Teriakku dengan tetap duduk.
Kringgg!
Ponsel Mas Bayu berdering. Aku melirik, terpampang nama Mas Rian. Ah ... Pasti dia akan membahas masalah ini.
Mas Bayu mengangkat telfon dan beranjak meninggalkan tempat duduk. Ia memilih keluar untuk berbicara dengan kakaknya. Aku memilih masa bodoh. Biar saja mereka menyelesaikan masalahnya yang dibuat oleh saudaranya sendiri!
"Ilham, bagaimana?" Aku melongok kekamar Ilham. Dia masih bermain dengan legonya.
"Apa, Ma? Memangnya kita beneran mau pindah?" tanya Ilham dengan polos. Aku memilih duduk disampingnya mengusap rambutnya yang lebat.
"Iya, Nak. Mama ngga bisa bayar kontrakan jadi kita harus pindah ya!" Aku mencoba memberi pengertian. Mungkin bagi Ilham, hal semacam ini sudah lumayan sering. Tercatat sejak Ilham lahir, sudah lima kali kami pindah kontrakan dan akan menjadi keenam kalinya kalau ini terjadi.
"Nanti sekolah Ilham bagaimana? Aku ngga mau jauh-jauh sekolahnya. Capek, Ma!" rengeknya.
Aku hanya menghela nafas berat. Bagaimanapun sebenarnya sudah kerasan disini. Namun, bagaimana lagi, hanya karena keegoisan saudara, kami yang hidup pas-pasan harus menanggung sikapnya.
"Nanti kita cari yang lebih dekat dengan sekolahmu ya?" Aku berusaha membuat Ilham sedikit senang tanpa beban.
"Bener, Ma?"
Aku mengangguk. Kemudian ia bersorak ria dan akhirnya mau untuk segera mengemasi barang-barang.
"Fit, Aku mau ngomong!" Mas Bayu memanggil didepan pintu. Seketika aku beranjak dan keluar kamar yang sebenarnya hanya dibatasi oleh gorden. Tidak ada pintu karena kontrakan yang aku tempati hanya berukuran 4x10.
Mas Bayu memilih duduk ruang depan. Ruang yang terdiri dari karpet dan televisi. Tepat di depan kamar Ilham.
"Sebenarnya aku sangat malu dengan kejadian ini, Fit. Kamu keterlaluan, mengumbar aib Mbak Desi kegrup keluarga." Mas Bayu membuka suara.
"Apa kamu mau berbicara hanya untuk mengalahkan aku? Seolah letak salah semua ada padaku. Seolah kamu tak tahu apa yang menjadi penyebab aku begini! Kalau saja kita punya uang hari ini selain uang yang di pinjam Mbak Desi. Aku tak akan lakukan itu. Jadi ... Kalau Mas hanya mau memojokan aku atas semua ini, lebih baik aku pergi saja!" Aku akan beranjak untuk segera berdiri namun Mas Bayu menahan.
"Tunggu, Fit. Aku belum selesai ngomong!"
"Tapi, kalau kamu hanya ingin menyalahkan. Aku tak mau mendengarkan!"
"Oke, maaf, Fit. Tapi disini aku memang serba salah dan terlebih aku paling salah. Aku suami yang tak bisa sedikit saja membahagiakan anak istri, bahkan cenderung menyusahkan. Tapi, dalam masalah ini, aku itu seperti makan buah simalakama. Begini mati begitu juga sama saja!" Mas Bayu mengatakan dengan nada sedikit tertekan.
Aku berusaha menahan genangan air mata. Membuang wajah agar Mas Bayu tak melihat.
"Maafkan aku, Fit. Tadi Mas Rian bilang dia mau membantu kita."
Aku menoleh, setidaknya ada harapan kalau Mas Rian pasti akan meminta uang pada Mbak Desi.
"Dia akan meminjamkan kita uang untuk bayar kontrakan."
Apa?
Aku sejenak berfikir. Mencerna tentang maksud yang di utarakan Mas Rian dengan memberi pinjman."Bagaimana, Fit?" Mas Bayu kembali membuka suara. Mungkin ia heran dengan expresiku yang tak menunjukan rona bahagia. Padahal sudah menemukan jalan pintas."Boleh, Mas." Kataku antusias yang di imbangi oleh senyum merekah Mas Bayu. "Asalkan ... Bilang sama Mas Rian jika nagihnya jangan sama kita. Tapi, sama Mbak Desi!"Seketika wajah Mas Bayu murung. Kalau begitu, artinya dia yakin jika Mbak Desi belum tentu mau membayar hutangnya."Bagaimana, Mas?" tanyaku sekarang.Dia mengaruk rambutnya, kemudian mengusap tengkuk. Aku memilih pergi meninggalkannya yang masih bingung. Biar saja! Toh aku geram pada Mas Bayu. Jadi laki kok lembek dan tak mau tegas pada kakaknya.Aku memotong buncis, untuk aku masak. Rasanya hati dan pikiranku sudah kacau balau. Entah harus bagaimana menyikapi ibu pemilik kontrakan. Rasanya dia bicara tak main-main.Setelah mengiseng buncis, mengoreng tempe, aku memanggil Il
"Eeh, Bayu." Pak Handoyo menoleh pada Mas Bayu. "Ada apa, Pak. Kenapa mau pegang-pegang istri saya?" tanya Mas Bayu langsung. Ada nada cemburu disana."Eee ... Enggak kok. Tadi aku hanya ingin menyampaikan bantuan. Tentang penunggakan uang kontrakan. Kasian kan kalau harus di usir. Secara selama ini kalian tak pernah telat. Hanya baru kali ini, tentunya ada alasannya." Pak Handoyo berkata panjang lebar."Iya betul, Pak. Semua karena uang saya untuk bayar kontrakan di pinjam dan belum di kembalikan. Sedihnya sekarang aku menagih malah di bilang ngga pernah punya utang!" Cerocosku."Fit!" Mas Bayu memanggilku. Menatap tajam padaku.Aku bangkit berdiri. Melewati Pak Handoyo dan berdiri tepat didepan Mas Bayu."Dan yang membuat saya kesal. Suami saya yang menghutangkan uang itu tak mau menagih! Miris sekali!" Aku segera masuk kedalam."Fit! Fit!" Mas Bayu mengikuti aku masuk. Aku berhenti saat tiba didepan pintu kamar."Kamu itu keterlaluan. Kenapa harus cerita pada Pak Handoyo. Kamu sed
Wajah Mbak Desi yang tadi sempat pongah, kini mendadak pucat. Apa dia setakut itu?Aku masih tersenyum mengejek. Seolah apa yang tengah aku katakan bukan hal remeh."Mau siapa yang akan kamu tawarkan, Mbak? Kamu atau Natasya? Toh, uang yang kamu pinjam kan untuk biaya Natasya. Jadi nanti aku tinggal sebutkan nama salah satu dari kalian!" Aku mengakhiri dengan nada sedikit menekan di akhir kalimat."Fitri! Ja-jangan lancang kamu!" Bibir Mbak Desi bergetar. Tentu dia pasti melihat kesungguhan ku."Lancang? Aku sudah terlalu capek, Mbak. Punya suami adik kamu itu ngga ada untung-untungnya. Udah hanya bisa ngojol sekarang jadi budak saudaranya. Mau saja meminjamkan uang pada saudara yang tak tahu diri. Ngga ada niatan buat bayar padahal punya uang banyak!" Aku berkata sambil melirik pada Mas Bayu. Biar saja marah. Memang itu kenyataannya."Ayo, Mas! Kita ke gunung Sinere. Sebelum itu kita beli bunga tujuh rupa dulu!" Aku menatap pada Mas Bayu yang masih setengah bingung.Kutarik Mas Bayu
Sejak kapan Natasya paling aku Tante? Bisanya juga Bulik dan sejak kapan juga ia panggil ibunya Bunda? Biasanya juga Mama bahkan kadang Mane.Aku menerima amplop itu dengan senang. Segera kuraih dengan kedua tanganku. Mas Bayu dari belakang berucap alhamdulilah."Akhirnya selesai juga drama pinjam meminjam ya, Fit," ucap Mas Bayu saat aku akan membuka uang itu.Kuhitung uang yang terlihat berbeda. Tak sebanyak yang kukira. Uang berwarna biru dan kuhitung hanya sepuluh. Kembali lagi kuhitung uang itu sampai kukeluarkan dari amplop."Mas, kok cuma lima ratus?" cicitku pada Mas Bayu. Ia juga tampak sok. Sedangkan aku langsung menghadap pada Natasya yang ternyata sudah hilang bak dedemit. Memang keluarga songleng."Yang bener, Fit. Kok bisa? Coba itung lagi!" "Udah, Mas. Udah kuhitung bener-bener!""Apa mungkin Mbak Desi udah pikun. Uang lima puluhan di kira seratus ribuan." Ucapan Mas Bayu mampu membuat aku langsung menatapnya."Jangan bilang kamu mau kembali membelanya, Mas! Atau ... K
"Aku ngga mau, Mas. Bilang aja di suruh masak didapur. Pake bilang chef-chef segala. Enak bener, saudara hajatan bukannya ikut pesta malah di suruh masak. Memangnya ngga bisa apa cari tukang masak? Apa karena ngga mau keluar uang besar?" gerutuku langsung di depan Mas Bayu. "Pokoknya, sampaikan pada Mas Rian, Mas. Aku ngga bisa kalau disuruh masak. Aku bantu-bantu semampunya saja!" ujarku sambil membereskan meja.Tak ada protes dari Mas Bayu. Semoga dia mengerti jika semua yang dilakukan saudaranya padaku sudah sangat tidak adil. Kami memang miskin, tapi bukankah tetap jika Mas Bayu adalah memiliki aliran darah yang sama sedangkan aku istrinya.***Sejak hari itu, pembahasan demi pembahasan di grup. Aku tak pernah nimbrung, hanya saja membaca apa yang mereka bicarakan. Tak ingin ikut campur. Berusaha stel kalem.[Bagaimana tentang seragam keluarga?] Malam kemarin, Mbak Desi menayakan itu pada Mas Rian.[Aman.] Balas Mas Rian. Aku hanya diam. Bagaimana Mas Rian bilang aman, sedangkan
Pagi hari ini Mas Bayu tampak senyum sumringah. Ia seperti tengah orang yang memenangkan undian. Pagi hari sudah rajin dan siap. Duduk menikmati secangkir kopi dengan memainkan ponselnya.Tak lama, saat tengah menyeruput kopi, ponselnya berdering. Tentu panggilan masuk. Segera mengeser kursi plastik dan keluar rumah. Aku menguntit. Rasa penasaran yang membuncah membuat aku kepo. Mas Bayu tengah sibuk dengan jawaban baik, Iya dan beres. Itu saja sekitaran yang di sampaikan. Hingga aku tak tahu siapa si penelfon. Bahkan laki-laki atau perempuan aku tak tahu."Kamu ngapain?" tanya Mas Bayu saat ternyata dia masuk kembali. Aku yang tengah di pinggir pintu terlonjak. Karena kukira Mas Bayu belum selesai menelfon."Heee ... Aku cuma penasaran, Mas. Kamu telfon sama siapa? Kayanya girang banget." Aku bertanya apa adanya."Sudah, sudah. Nda usah kepo. Lagian yang menelfon itu pemberi rejeki. Bukan selingkuhan atau apapun!" Mas Bayu mengusuk kepalaku. Aku tersenyum. Ada rasa tenang juga di re
"Tapi kita ke Pasar dulu beli perhiasan." Mas Bayu berkata dengan wajah berbinar. Tak terkecuali aku. Bahkan aku masih terpaku pada isi plastik hitam itu."I-ini nda mimpi, Mas?" tanyaku sambil mengangkat gepokan uang berwarna merah.Aku mebalik-balikan uang itu dan menghitung semuanya berjumlah lima gepok. Artinya lima puluh juta."I-ini?" Duh ... Aku sampai kehilangan kata-kata. Sungguh ini seperti mimpi. Memegang uang sebanyak ini."Sudah, sudah! Sekarang ganti baju sana. Kita pergi sekarang. Belilah apa yang kamu mau!" Mas Bayu mendorong tubuhku tanpa meminta kembali plastik itu."Tunggu, Mas. Ini uang asli?" tanyaku memastikan. Takut-takut aku kena prank."Ya nanti di cek aja, Fit. Aku masih ragu," jawaban Mas Bayu membuat aku menatapnya dalam."Dari mana uang ini, Mas? Kamu ngga ngerampok bank kan? Atau bobol ATM atau menodong atau ...." Aku menatap dengan mata setajam silet. "Memuja setan?""Husst, kamu ini. Itu uang halal. Seratus persen di jamin halal. Udah buruan sana ganti
Aku mengandeng lengan Mas Bayu, beberapa pasang mata terpana melihat kepada kami. Aku tersenyum manis saat pertama kali menginjakan karpet berwarna merah. Natasya yang sudah masuk kedalam tak jua terlihat lagi. Mungkin sedang mengabari yang lain jika aku telah datang.Tiba di depan pintu rumah setelah melewati panggung dekorasi."Fitri, Bayu!" sapa Mas Rian yang sudah berpakaian rapi.Sambutannya beda. Mungkin karena melihat penampilan kita. Mas Bayu memeluk kakaknya erat dengan senyum merekah."Maaf, Mas. Baru bisa datang. Sibuk soalnya." Mas Bayu berbasa basi. Dari dalam Mbak Sarah sedang berjalan menuju kemari."Ngga papa, Yu. Alhamdulilah semua sudah ada yang handle. Ayo, masuk! Yang lain juga sudah didalam," ajak Mas Rian. "Eh, tunggu!" Mbak Sarah menghentikanku. Disusul Mbak Desi yang mengekor. Ia tampak mengamati kami dari ujung kaki sampai ujung rambut."Kamu punya baju seperti seragam kita?" tanya Mba Sarah. "Minjam di mana?"Aku dan Mas Bayu saling bersitatap. Apa kami sere