Share

Godaan

Aku sejenak berfikir. Mencerna tentang maksud yang di utarakan Mas Rian dengan memberi pinjman.

"Bagaimana, Fit?" Mas Bayu kembali membuka suara. Mungkin ia heran dengan expresiku yang tak menunjukan rona bahagia. Padahal sudah menemukan jalan pintas.

"Boleh, Mas." Kataku antusias yang di imbangi oleh senyum merekah Mas Bayu. "Asalkan ... Bilang sama Mas Rian jika nagihnya jangan sama kita. Tapi, sama Mbak Desi!"

Seketika wajah Mas Bayu murung. Kalau begitu, artinya dia yakin jika Mbak Desi belum tentu mau membayar hutangnya.

"Bagaimana, Mas?" tanyaku sekarang.

Dia mengaruk rambutnya, kemudian mengusap tengkuk. Aku memilih pergi meninggalkannya yang masih bingung. Biar saja! Toh aku geram pada Mas Bayu. Jadi laki kok lembek dan tak mau tegas pada kakaknya.

Aku memotong buncis, untuk aku masak. Rasanya hati dan pikiranku sudah kacau balau. Entah harus bagaimana menyikapi ibu pemilik kontrakan. Rasanya dia bicara tak main-main.

Setelah mengiseng buncis, mengoreng tempe, aku memanggil Ilham untuk makan. Tepat disaat Ilham selesai makan. Mas Bayu juga datang untuk ikut makan.

"Kamu mau ikut makan, Mas?" tanyaku langsung.

"Lah iya dong. Udah laper juga," ucapnya sambil menyendok nasi.

"Owhh ... Ya sudah. Makan yang kenyang, Mas. Siapa tahu besok sudah tak bisa makan masakanku!" sindirku. Ia menghentikan aktivitasnya.

"Maksud kamu apa si, Fit?" tanyanya. Kemudian melanjutkan kembali menyendok sayur buncis dan menyuapkan tempe kemulutnya.

"Ilham udah selesai? Masuk kamar ya!" Perintahku pada Ilham yang langsung mengangguk. Setelah turun dari kursi dan langsung berlari menuju kamar.

"Kalau sampai kita keluar dari kontrakan ini! Aku mau kita cerai saja, Mas!" ucapku dengan tegas yang langsung membuat Mas Bayu tersedat.

Uhuuukkk!

Dia segera meraih minum di sampingnya.

Setelah meneguk tandas air putih. Ia meletakan gelas.

"Maksud kamu apa si, Fit. Masa hanya gara-gara Mbak Desi kamu minta cerai?" ungkapnya. Seolah masalah Mbak Desi itu bukan masalah yang berarti walau berimbas banyak pada kehidupan keluarga kita.

"Hanya karena, Mas? Kamu pikir, karena Mbak Desi yang tak mengembalikan uang kita. Kita terpaksa harus pindah. Apa kamu tak kasian dengan Ilham? Bagaimana nanti sekolahnya kalau kita tak dapat kontrakan sekitar sini? Kamu sudah menyiksanya dan aku tak mau menyiksa dia lebih lagi. Dari pada harus hidup dengan kamu yang selalu takut pada saudara. Lebih baik aku yang mundur! Toh, itu demi kebaikanmu." Aku kesal. Ini sudah ada di puncak kesabaran. Harusnya Mas Bayu bisa tegas pada Mbak Desi yang notabennya memiliki cukup uang.

Dia mengurungkan untuk melanjutkan makan. "Menurut kamu aku harus bagaimana?" 

Aku memalingkan wajah. Dia itu bod0h apa tol0l sih?

"Ya kamu harus tagih Mbak Desi sampai dapat. Jangan aku saja yang maju. Kesal rasanya aku di injak-injak. Siapa tahu kalau kamu yang menagih, mau memberikannya!" Aku berkata terus terang tentang apa yang menurutku dilakukan Mas Bayu.

"Baiklah! Aku akan telfon Mbak Desi dan meminta uang itu." Mas Bayu mengeluarkan ponsel. Aku sedikit tersenyum. setidaknya gertakanku meminta cerai dia takuti.

Tuttt ... Tuttt ....

Terdengar nada telfon, karena Mas Bayu menggunakan louspeaker.

Tuttt ....tuuttt ....

Sampai akhirnya nada sambung itu berubah menjadi suara call center.

"Ngga di angkat, Fit." Mas Bayu seperti menyerah.

Aku mengangkat bahu. Membawa piring bekas makan Ilham kedapur. Namun sebelum berlalu aku mengucapkan kata jika artinya perceraian harus terjadi.

Mas Ilham juga kedapur membawa piring. Karena memang letak wastafel dengan meja makan tadi hanya berjarak satu meter.

"Kamu jangan begitu, Fit. Kasih aku waktu!" Ujarnya.

"Kalau gitu kamu pergilah kerumah Ibu pemilik kontrakan. Bilang jangan usir kita dan minta tambahan waktu. Karena hanya dia yang bisa membuat aku berubah pikiran atau kamu mendapatkan uangku kembali dari Mbak Desi!" Sengaja aku meletakkan piring dengan sedikit kasar. Walau bukan piring keramik hanya piring semi melamin tetap saja menimbulkan suara yang keras.

Aku tak lagi memperdulikan Mas Bayu yang masih berdiri disana. Memilih keluar untuk mengambil udara yang segar. Rasanya pengap sudah hidup seperti ini.

Kujatuhkan bobot pada kursi plastik usang yang ada di depan kontrakan.

"Kenapa, Fit. Kok mukanya jutek begitu?" tanya Pak Handoyo. Dia suami dari pemilik kontrakan. Entah kenapa tiba-tiba dia lewat.

"Ngga papa, Pak. Lagi pusing aja mau pindahan," jawabku agak cuek. 

Ia justru ikut duduk di satu kursi yang lain.

"Ngapain pindah? Ngga kerasan disini? Ada yang menganggu atau ada yang rusuh. Siapa? Sini biar aku yang hadapi!" Pak Handoyo seperti pahlawan kesiangan. Tidak tahu jika istrinyalah yang membuat aku harus keluar kontrakan.

"Yang buat ngga betah itu Bu Minah! Dia yang ngotot mau sewakan tempat ini untuk yang lain hanya karena aku make dulu baru bayar. Alias nunggak satu bulan belum ketutup. Kalau kerasan sih, sangat kerasan aku disini, Pak."

"Oh ... Begitu. Kamu tenang ya!" Pak Handoyo memegang pundakku. Aku segera menjauh. Dilihat dari sorot matanya dia memang agak genit.

"Tenang, nanti aku akan sampaikan pada Minah untuk tak mengusir kamu yang sudah lama disini. Aku yakin kamu ngga ada niatan nunggak." Pak Handoyo kembali akan meraih pundakku.

"Ehemmm!" Suara Mas Bayu tepat di belakang Pak Handoyo.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status