"Eeh, Bayu." Pak Handoyo menoleh pada Mas Bayu.
"Ada apa, Pak. Kenapa mau pegang-pegang istri saya?" tanya Mas Bayu langsung. Ada nada cemburu disana.
"Eee ... Enggak kok. Tadi aku hanya ingin menyampaikan bantuan. Tentang penunggakan uang kontrakan. Kasian kan kalau harus di usir. Secara selama ini kalian tak pernah telat. Hanya baru kali ini, tentunya ada alasannya." Pak Handoyo berkata panjang lebar.
"Iya betul, Pak. Semua karena uang saya untuk bayar kontrakan di pinjam dan belum di kembalikan. Sedihnya sekarang aku menagih malah di bilang ngga pernah punya utang!" Cerocosku.
"Fit!" Mas Bayu memanggilku. Menatap tajam padaku.
Aku bangkit berdiri. Melewati Pak Handoyo dan berdiri tepat didepan Mas Bayu.
"Dan yang membuat saya kesal. Suami saya yang menghutangkan uang itu tak mau menagih! Miris sekali!" Aku segera masuk kedalam.
"Fit! Fit!" Mas Bayu mengikuti aku masuk. Aku berhenti saat tiba didepan pintu kamar.
"Kamu itu keterlaluan. Kenapa harus cerita pada Pak Handoyo. Kamu sedang cari perhatian. Atau jangan-jangan kamu punya skandal dengannya?" Aku langsung menatap tajam mata Mas Bayu.
"Memangnya salah. Aku hanya ingin Pak Handoyo mengerti keadaan kita dan kita tak secepatnya diusir dari sini. Untuk masalah tuduhan kamu itu yang bilang aku punya hubungan atau skandal? Tentu aku akan lakukan lebih dari itu jika kamu masih seperti ini!" Emosiku mulai membuncah.
"Aku harus bagaimana, Fit. Aku sudah berusaha bekerja semampu aku. Tapi memang hasilnya seperti ini. Belum bisa membuat kamu bahagia lahir dan batin!" ungkap Mas Bayu.
"Kamu ingin bahagiakan aku? Baik, akan aku kasih tahu bagaimana membuat aku bahagia!"
Segera saja aku menarik tangan Mas Bayu. Membawa ia untuk segera menghidupkan motor.
"Kita mau kemana?" tanyanya saat sudah duduk siap mengemudi.
"Memperlihatkan cara agar kamu bisa membuat aku bahagia!"
Seketika aku langsung mengambil alih. Aku siap yang akan membawa motor. Tentu karena aku tahu, jika Mas Bayu yang bawa dan mengatakan akan kerumah Mba Desi. Dia tak akan mau.
Kupacu motor dengan sedikit ngebut. Bahkan Mas Bayu sampai berpegangan. Tak sampai lima menit kami sampai didepan rumah Mbak Desi.
"Kita mau apa, Fit?" tanya Mas Bayu yang sudah sedikit ketakutan. Entah kenapa ini yang membuat aku geram.
"Kita mau minta hak! Kalau kamu sampai tak berani mengatakan meminta uang satu juta. Kita kek!" Aku membentuk tangan seperti gunting yang bermaksud jika hubungan kita berakhir.
Dengan langkah gontai akhirnya Mas Bayu menuruti. Mengetuk pintu rumah Mbak Desi.
Tokk
Tokk
"Sebentar!" Dari dalam sudah terdengar suara Mbak Desi.
Tak lama pintu dibuka. Aku langsung melihat kedalam. siapa tahu Natasya kembali merekam aksi kita.
"Bayu? Ada apa!" tanya Mbak Desi jutek. Bahkan menyuruh masuk saja tidak. Aku melipat tangan didada melihat suamiku berkata menagih hutang.
"Aku kesini mau minta uang yang satu juta, Mbak. Aku butuh banget buat bayar kontrakan. Kalau tidak kami akan diusir dari sana." Ungkap Mas Bayu dengan suara yang lembut.
Mbak Desi tak menjawab. Ia justru menatapku dengan wajah tak suka.
"Kamu sudah jadi robot istrimu ternyata!" Mbak Desi mencemooh.
"Tidak, Mbak. Tapi memang kami benar-benar butuh. Mbak Desi kan tahu kalau saat ini pekerjaanku tak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hanya cukup untuk makan saja." Kembali Mas Bayu berkata.
"Makanya jangan jadi ojol doang. Kreatif dong kaya aku! Sekarang kamu lihat kan, aku sudah jadi orang kaya," ungkapnya dengan sombong dan membusungkan dada.
"Mana ada orang kaya ngga mau bayar hutang!" cibirku yang langsung membuat Mbak Desi mengeluarkan asap di telinganya.
"Kamu!" Mbak Desi menunjuk padaku. Aku tetap santai, Karen tentu Mas Bayu akan mencegah jika Mbak Desi melakukan tindakan kekerasan dan tentunya bisa aku kasuskan.
"Sudahlah, Mbak. Biar saya cepat pulang. Saya minta Mbak Desi bayar hutang. Lagian, bukankah Mbak Desi sedang banyak uang?" Mas Bayu masih melunak.
"Maaf, Bay. Uangnya sudah kudepositokan dan tak dapat aku ambil sewaktu-waktu. Jadi sekarang Mbak ngga bisa bayar hutang!" ucapnya dengan santai.
Kali ini aku yang mengeluarkan asap di kedua telinga dan juga keluar tanduk berwarna merah. Bagaimana dia bisa depositokan uangnya jika dari kemarin kami sudah memintanya.
"Keterlaluan! Kamu memang sengajakan, Mbak. Kamu memang ngga niat untuk bayar hutang!" Proteaku kesal. Aku hampir maju untuk mensejajarkan tubuh sombong Mbak Desi yang membusungkan dada. Sayang Mas Bayu menahannya.
"Sudah, Fit. Sudah! Ayo kita pulang saja. Sepertinya percuma!" Mas Bayu menarik tanganku.
"Tunggu, Mas! Bagaimana kalau kita ambil barang yang bisa di jual. Seperti TV?" Aku melihat kedalam. Kearah TV LED yang kutaksir berukuran 32 Ins.
Dengan gerak cepat, Mbak Desi menutup sebagian pintu.
"Mau apa kamu? Mau maling! Jangan mimpi. Sejengkal saja kamu melangkah kedalam aku teriaki kalian!" Mbak Desi murka. Aku justru terkekeh.
"Baiklah, kalau gitu kita ke gunung sinere aja, Mas!" Ucapku.
"Mau ngapain?" tanya Mas Bayu penasaran. Aku tak langsung menjawab pertanyaan Mas Bayu tapi menghadap pada Mbak Desi.
"Mbak Desi tak perlu pusing saat ini. Aku sudah tak akan meminta uang itu lagi karena sebentar lagi aku kaya raya dengan jalan pesugihan. Tentu, karena aku sudah punya tumbal untuk syarat itu dan ... Aku akan memberikan tumbal orang yang telah memakan uang ku seperti ...." Aku mengantung ucapan. berkata dengan sedikit berbisik tapi, seketika membuat wajah Mbak Desi merah merona.
Rasakan!
Wajah Mbak Desi yang tadi sempat pongah, kini mendadak pucat. Apa dia setakut itu?Aku masih tersenyum mengejek. Seolah apa yang tengah aku katakan bukan hal remeh."Mau siapa yang akan kamu tawarkan, Mbak? Kamu atau Natasya? Toh, uang yang kamu pinjam kan untuk biaya Natasya. Jadi nanti aku tinggal sebutkan nama salah satu dari kalian!" Aku mengakhiri dengan nada sedikit menekan di akhir kalimat."Fitri! Ja-jangan lancang kamu!" Bibir Mbak Desi bergetar. Tentu dia pasti melihat kesungguhan ku."Lancang? Aku sudah terlalu capek, Mbak. Punya suami adik kamu itu ngga ada untung-untungnya. Udah hanya bisa ngojol sekarang jadi budak saudaranya. Mau saja meminjamkan uang pada saudara yang tak tahu diri. Ngga ada niatan buat bayar padahal punya uang banyak!" Aku berkata sambil melirik pada Mas Bayu. Biar saja marah. Memang itu kenyataannya."Ayo, Mas! Kita ke gunung Sinere. Sebelum itu kita beli bunga tujuh rupa dulu!" Aku menatap pada Mas Bayu yang masih setengah bingung.Kutarik Mas Bayu
Sejak kapan Natasya paling aku Tante? Bisanya juga Bulik dan sejak kapan juga ia panggil ibunya Bunda? Biasanya juga Mama bahkan kadang Mane.Aku menerima amplop itu dengan senang. Segera kuraih dengan kedua tanganku. Mas Bayu dari belakang berucap alhamdulilah."Akhirnya selesai juga drama pinjam meminjam ya, Fit," ucap Mas Bayu saat aku akan membuka uang itu.Kuhitung uang yang terlihat berbeda. Tak sebanyak yang kukira. Uang berwarna biru dan kuhitung hanya sepuluh. Kembali lagi kuhitung uang itu sampai kukeluarkan dari amplop."Mas, kok cuma lima ratus?" cicitku pada Mas Bayu. Ia juga tampak sok. Sedangkan aku langsung menghadap pada Natasya yang ternyata sudah hilang bak dedemit. Memang keluarga songleng."Yang bener, Fit. Kok bisa? Coba itung lagi!" "Udah, Mas. Udah kuhitung bener-bener!""Apa mungkin Mbak Desi udah pikun. Uang lima puluhan di kira seratus ribuan." Ucapan Mas Bayu mampu membuat aku langsung menatapnya."Jangan bilang kamu mau kembali membelanya, Mas! Atau ... K
"Aku ngga mau, Mas. Bilang aja di suruh masak didapur. Pake bilang chef-chef segala. Enak bener, saudara hajatan bukannya ikut pesta malah di suruh masak. Memangnya ngga bisa apa cari tukang masak? Apa karena ngga mau keluar uang besar?" gerutuku langsung di depan Mas Bayu. "Pokoknya, sampaikan pada Mas Rian, Mas. Aku ngga bisa kalau disuruh masak. Aku bantu-bantu semampunya saja!" ujarku sambil membereskan meja.Tak ada protes dari Mas Bayu. Semoga dia mengerti jika semua yang dilakukan saudaranya padaku sudah sangat tidak adil. Kami memang miskin, tapi bukankah tetap jika Mas Bayu adalah memiliki aliran darah yang sama sedangkan aku istrinya.***Sejak hari itu, pembahasan demi pembahasan di grup. Aku tak pernah nimbrung, hanya saja membaca apa yang mereka bicarakan. Tak ingin ikut campur. Berusaha stel kalem.[Bagaimana tentang seragam keluarga?] Malam kemarin, Mbak Desi menayakan itu pada Mas Rian.[Aman.] Balas Mas Rian. Aku hanya diam. Bagaimana Mas Rian bilang aman, sedangkan
Pagi hari ini Mas Bayu tampak senyum sumringah. Ia seperti tengah orang yang memenangkan undian. Pagi hari sudah rajin dan siap. Duduk menikmati secangkir kopi dengan memainkan ponselnya.Tak lama, saat tengah menyeruput kopi, ponselnya berdering. Tentu panggilan masuk. Segera mengeser kursi plastik dan keluar rumah. Aku menguntit. Rasa penasaran yang membuncah membuat aku kepo. Mas Bayu tengah sibuk dengan jawaban baik, Iya dan beres. Itu saja sekitaran yang di sampaikan. Hingga aku tak tahu siapa si penelfon. Bahkan laki-laki atau perempuan aku tak tahu."Kamu ngapain?" tanya Mas Bayu saat ternyata dia masuk kembali. Aku yang tengah di pinggir pintu terlonjak. Karena kukira Mas Bayu belum selesai menelfon."Heee ... Aku cuma penasaran, Mas. Kamu telfon sama siapa? Kayanya girang banget." Aku bertanya apa adanya."Sudah, sudah. Nda usah kepo. Lagian yang menelfon itu pemberi rejeki. Bukan selingkuhan atau apapun!" Mas Bayu mengusuk kepalaku. Aku tersenyum. Ada rasa tenang juga di re
"Tapi kita ke Pasar dulu beli perhiasan." Mas Bayu berkata dengan wajah berbinar. Tak terkecuali aku. Bahkan aku masih terpaku pada isi plastik hitam itu."I-ini nda mimpi, Mas?" tanyaku sambil mengangkat gepokan uang berwarna merah.Aku mebalik-balikan uang itu dan menghitung semuanya berjumlah lima gepok. Artinya lima puluh juta."I-ini?" Duh ... Aku sampai kehilangan kata-kata. Sungguh ini seperti mimpi. Memegang uang sebanyak ini."Sudah, sudah! Sekarang ganti baju sana. Kita pergi sekarang. Belilah apa yang kamu mau!" Mas Bayu mendorong tubuhku tanpa meminta kembali plastik itu."Tunggu, Mas. Ini uang asli?" tanyaku memastikan. Takut-takut aku kena prank."Ya nanti di cek aja, Fit. Aku masih ragu," jawaban Mas Bayu membuat aku menatapnya dalam."Dari mana uang ini, Mas? Kamu ngga ngerampok bank kan? Atau bobol ATM atau menodong atau ...." Aku menatap dengan mata setajam silet. "Memuja setan?""Husst, kamu ini. Itu uang halal. Seratus persen di jamin halal. Udah buruan sana ganti
Aku mengandeng lengan Mas Bayu, beberapa pasang mata terpana melihat kepada kami. Aku tersenyum manis saat pertama kali menginjakan karpet berwarna merah. Natasya yang sudah masuk kedalam tak jua terlihat lagi. Mungkin sedang mengabari yang lain jika aku telah datang.Tiba di depan pintu rumah setelah melewati panggung dekorasi."Fitri, Bayu!" sapa Mas Rian yang sudah berpakaian rapi.Sambutannya beda. Mungkin karena melihat penampilan kita. Mas Bayu memeluk kakaknya erat dengan senyum merekah."Maaf, Mas. Baru bisa datang. Sibuk soalnya." Mas Bayu berbasa basi. Dari dalam Mbak Sarah sedang berjalan menuju kemari."Ngga papa, Yu. Alhamdulilah semua sudah ada yang handle. Ayo, masuk! Yang lain juga sudah didalam," ajak Mas Rian. "Eh, tunggu!" Mbak Sarah menghentikanku. Disusul Mbak Desi yang mengekor. Ia tampak mengamati kami dari ujung kaki sampai ujung rambut."Kamu punya baju seperti seragam kita?" tanya Mba Sarah. "Minjam di mana?"Aku dan Mas Bayu saling bersitatap. Apa kami sere
"Hei, Fit! Pinjam dari mana semua barang-barangmu itu?" tanya Mbak Desi. Ternyata dia bawa aku kesini hanya penasaran dengan apa yang telah aku gunakan. Ia bahkan melebarkan gamisku, kemudian juga melihat tanganku. Tentunya cincin dan gelang yang ia lihat dengan segsama."Maaf ya, Mbak. Aku ngga minjam. Beli sendiri!" Aku membalik badan berniat akan kembali masuk. Pasti Ilham tengah menunggu."Tunggu! Aku belum selesai!" Mbak Desi menahan tanganku. Ia justru membawa aku sedikit masuk kedalam kebun."Lepaskan, Mbak. Banyak nyamuk ah di sini!" gerutuku dengan meronta. Sebenarnya bukan itu alasannya. Tapi aku merasakan hawa dingin di kebun ini."Kamu jawab jujur! Dari mana kamu dapat uang untuk membeli semua itu?" tanya Mbak Desi mengimidasi."Alhamdulilah dapat rejeki dari Allah, Mbak." Aku menjawab santai dengan mengibaskan gamis. Karena sudah banyak nyamuk yang berterbangan di sekitarku."Kamu tak melakukan pesugihan kan?" tanyanya kemudian. Seketika aku menghentikan aktivitas mengus
"Apa maksud, Mbak Desi?" tanyaku langsung mendekat padanya.Dia membuang wajah. Seolah apa yang ia katakan tak ada berita ulang."Ngomong yang jelas, Mbak. Berani ngomong didepan muka orangnya! Jangan beraninya bilang sambil melegos!" Aku mulai terpancing emosi."Kenapa? Memang kamu pake pesugihan kan! Makanya jadi begini, Mbak Sarah jadi kena sialnya. Icha bunuh diri dan pernikahan batal. Mempelai laki-laki minta ganti rugi!" Mbak Desi berkata dengan lantang. Aku makin naik pitam."Kalau aku pakai pesugihan! Kamu sudah kujadikan ganjal di lereng gunung sana, Mbak!" Aku menunjuk gunung yang menjulang tinggi. Tak peduli berapa pasang mata yang memperhatikanku."Bukan Icha atau keluarga Mbak Sarah. Kamu! Karena hanya kamu yang hutang dan tak mau bayar. Itu udah syarat mutlak Buto ijo mau memakanmu karena kamu yang telah memakan uangku!" Emosi sudah tak terkendali. Aku makin di buat jengkel dengan kata-kata nyiyirnya. Beberapa tetangga yang ada disana saling bisik."Sudah, sudah, kalian