Share

Playing victim

Sebelum di blokir ternyata Mbak Desi terlebih dahulu mengirimkan chat. Makian demi makian ia lontarkan layaknya anak panah yang langsung menusuk jantung.

[Kamu adik ipar ngga berakhlak! Nagih di grup W*. Dasar perempuan yang tak pernah makan bangku sekolah ya begitu!]

[Hutang tak seberapa saja kamu tagih di depan semua saudara, sudah merasa kaya ya?! Asal kamu tahu, sekarang aku bisa saja beli tuh mulutmu juga!]

[Pokoknya, aku ngga mau tau! Kamu harus klarifikasi tentang semua itu. Baru aku masukkan grup lagi! Bilang kalau tadi cuma salah paham dan aku tak punya sangkutan sama kamu. Begitu. Mengerti!]

Setelah chat di atas itu, kemudian Mbak Desi memblokir nomorku. Dia mungkin belum tahu siapa Fitri! Apa dia pikir aku takut sekali dengannya.

Kucing-cingkan lengan. Mengambil langkah seribu untuk menuju rumah Mbak Desi yang berjarak dua kilo meter. Kalau biasanya aku akan naik ojol. Kali ini biar aku jalan kaki saja. Meleburkan lemak didalam perut.

"Ma, mau kemana?" tanya Ilham anakku satu-satunya. Dia berumur 8 tahun dan sudah mandiri. Jadi selalu tak pernah ngikut saat aku bekerja.

"Mama mau kerumah Bude. Kamu pulang saja! Kalau Papa nanya, bilang saja apa adanya!" Aku segera melanjutkan perjalanan menuju rumah tujuan. Dia pikir aku tak punya nyali menghadapinya.

Apa bedanya dia dengan aku. Dulu dia juga hidup pas-pasan. Suaminya hanya penjaga toko fotocopy. Sedangkan dia hanya berjualan pecel. Entah sejak kapan atau seingatku, dia mulai pamer barang-barang mahal dua Minggu yang lalu. Dari mana rejeki itu? Aku tak peduli. Yang aku sesalkan, kenapa tak ada keniatan mengembalikan pinjaman.

Malah pamer di grup! Biar di kira sudah kaya. Bergaya tapi hutang malah anemsia.

Suasana sore yang sedikit mendung, membuat aku yang berjalan dengan luapan emosi tak merasa kepanasan. Sebentar lagi aku sampai. Tapi ....

Tunggu!

Aku berbelok arah. Menemui Sari yang rumahnya memang tak jauh dari rumah Mbak Desi.

"Sari!" Panggilku saat melihat dia tengah mengangkat jemuran.

"Loh, Fit. Mau kemana?" tanyanya. "Kerumah Desi? Kok jalan kaki?"

Aku mengangguk, "kamu bisa ikut aku nggak sebentar? Temenin aku menemui Mbak Desi."

"Memangnya mau apa? Kamu ngga denger kalau kakakmu itu jadi OKB disini?" Sari juga ternyata sudah mendengar kabar itu.

"Iya, sudah. Memang benar berita itu? Kupikir itu bohongan. Soalnya hutang sama aku saja belum di bayar!" cicitku yang langsung membuat Sari melonggo.

Sari menarik tanganku untuk duduk di bangku depan rumahnya.

"Masa sih? Ngga mungkin deh. Soalnya Desi itu sekarang uangnya buanyak. Bahkan kemarin ibu-ibu sekomplek di borongin belanjaan." cerita Sari begitu antusias.

"Memangnya aku suka bohong! Lah ini aku juga mau kesana. Mau nagih! Kesel kan, sudah tiga bulan belum ada keniatan bayar. Di W* ngga di baca, giliran aku tagih di grup. Dia marah-marah!" Kesalku.

"Apa? Gila kamu! Masa nagih di grup?"

"Abisnya, dia pamer uang disana. Sedangkan chat aku yang meminta hakku malah diabaikan. Kan ngga ada salahnya menginginkan. Siapa tahu lupa! Makanya ayo temenin. Nanti kamu tunggu di rumah sebelah saja!"

Akhirnya Sari mengangguk. Dia mungkin juga penasaran dengan apa yang kukatakan dan kenyataan yang ada.

Tok-tok!

Kuketuk pintu rumah Mbak Desi dengan sedikit kencang. Siapa tahu mereka budeg. Jadi biar cepet di buka.

Kuketuk pintu kedua kalinya. Kali ini lebih kencang dan cepat. Entah sedang apa yang mereka lakukan didalam. Di rumah yang hanya berukuran 6x10 tentu ketukan pintu yang terbuat dari kayu lapuk jelas terdengar.

"Iyaaa!" Dari dalam sudah ada jawaban. T

"Sore, Mbak!" Sapaku saat pintu terbuka, menampakan Mbak Desi dengan daster dan wajah yang apa adanya.

Dari tangannya terdengar nyaring bunyi kerincing dari gelang yang jumplahnya tak hanya satu.

"Kenapa gedor-gedor pintu? Apa mau buat pintunya roboh? Dasar perempuan jalang!" dia berkata dengan pongah. "Berani juga datang kemari?"

Apa aku di bilang jalang?

"Yang sopan kalau bicara, Mbak! Aku bukan jalang. Jangan mengada-ada dengan ucapanmu. Mulutmu harimaumu!" Aku kesal sekali. Belum apa-apa dia sudah memancing keributan.

"Yang harusnya sopan itu kamu! Gedor-gedor pintu, kalau aku mau, aku bisa tuh beli mulut harimaunya!" Dia berlagak dengan sombong.

"Kalau bisa beli mulut harimau, kenapa ngga bisa bayar hutang? Hati-hati, Mbak. Nanti malaikat menagih di akhirat. Berterima kasihlah padaku yang masih mengkhawatirkan dirimu untuk tak di datangi malaikat penagih hutang!" 

Seketika raut dia berubah. Entah sadar atau apa, aku masih menunggu sikap selanjutnya.

"Cepat bayar, Mbak!" Aku menodongkan kedua tanganku.

"Bayar? Memangnya kapan aku hutang! Asal kamu tahu saja, kata Bayu saat itu dia memberikan padaku, bukan ngutangin! Itulah kenapa aku tak merasa punya hutang!" dengan santai Mbak Desi menjawab. Namun, aku sebelaliknya.

Rasanya kepala ini mendidih mendengar penuturan dari Mbak Desi jika uang yang aku pinjamkan dengan cara meminjam ke majikan. Ia berikan begitu saja.

"Mas Bayuuuu! I'm comingggg, langsung menoel kamu sampai bengkak!"

Nyeseeekkk!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status