Aku juga masih tak percaya jika Mas Bayu mengkhianatiku. Sikapnya selama ini wajar dan tak ada yang berubah. Hanya akhir-akhir ini sejak pergi kerumah Panji untuk meminta air di rumah Panji atau jangan-jangan Mas Bayu kena guna-guna?Duh, kenapa aku jadi berfikir begitu jauh, tapi memang tak ada salahnya aku sebaiknya bertanya dengan hati-hati. Tentu, jika masih bisa kuambil hatinya, kenapa harus aku korbankan keluarga yang sudah kubina hampir sepuluh tahun?Berbagai ujian hidup sudah kita lalui bersama. Bagaimana harus hancur begitu saja dengan begitu mudah. Jika memang Mas Bayu buaya tentu akan aku buang jauh-jauh. Karena selingkuh itu sebuah penyakit. Akan bisa kambuh walau sudah di maafkan."Aku masuk kamar dulu ya, Bu!" ucapku setelah yakin dengan apa yang akan aku lakukan."Iya, Fit. Selesaikan semua dengan hati dingin. Jangan tergesa-gesa." Ibu berkata dengan lembut. Memang hanya dia yang mengerti aku sekarang. Dia orang yang tak pernah memanfaatkanku baik di kala susah ataupun
Kenapa perasaanku tak enak saat Mas Bayu mengatakan jika Arumi itu adik Panji. Ada rasa yang beda sebelumnya. Kalau tadi aku jujur cemburu, tapi kali ini justru rasa yang seperti ada permainan."Kamu percaya sama Panji jika Arumi gila karena kamu? Sedangkan ... Kamu sudah tahu Panji itu memiliki pesugihan dan entah dendam apa pada kita hingga memfitnah keluarga kita." Aku berusaha menjelaskan. Berharap Mas Bayu yang sedang tertutup hatinya sadar akan apa yang menjadikan ia khilaf."Justru itu, Fit. Panji dendam pada kita karena adiknya gila setelah tau aku menikah. Tapi, sekarang Panji sudah luluh saat aku siap untuk menikahi adiknya. Dia berjanji tak akan menganggu keluarga kita, asal adiknya aman dan sembuh."Aku tercengang dengan penuturan Mas Bayu. Bagaimana bisa? Dia dengan mudah bicara seperti itu, seolah aku siap untuk dimadu."Bukankah sebenarnya Panji setuju karena yakin jika kamu menikahinya keluarga kita hancur! Itu kan yang di inginkan Panji. Tanpa harus kembali membuat fi
Aku menuju tempat dimana Mas Jali telah mengsharlok. Tak perlu mencari, karena restoran sederhana dan mudah di temukan itu, memang cukup terkenal. Jadi kesana tujuan Mas Bayu? Aku tersenyum miring. Bagaimana pun aku berusaha tegar walau hati ini rapuh. Ada nyawa yang harus aku selamatkan untuk hak-nya kemudian hari.Tiba disana, aku menggunakan masker dan kacamata hitam. Masuk bersama orang yang aku suruh untuk beraksi sebentar lagi.Terlihat Mas Bayu duduk di pinggir dekat jendela yang menghubungkan dengan taman kecil diluar. Ia terlihat tersenyum senang. Sedangkan Arumi, wanita itu hanya sesekali tersenyum walau terlihat masih dipaksakan. "Apa Mas Bayu buta? Sudah jelas wanita yang ada dihadapannya kurang sehat. Bahkan merespon apa yang Mas Bayu lakukan saja sepertinya jarang." Aku bergumam sendiri."Mau pesan apa?" tanya seorang pramuniaga. Aku segera mengambil buku menu."Pesanlah!" Perintahku pada orang suruhanku bernama Arman.Dia mengangguk kemudian memesan makanan sesuai sel
"Aduh, Mas. Perutku kram sepertinya." Aku masih memegangi perut."Ka-kamu ... Mau Mas bawa ke Klinik?" tanya Mas Bayu yang kulihat dengan wajah sedikit panik."Aduh, rasanya ngga perlu, Mas. Ini udah mendingan. Tapi, kalau bisa jangan sebut nama wanita itu lagi!" Aku berusaha meraih pinggiran tempat tidur."Maksud kamu ... Arumi?""Awwwhh! Tuh kan kenapa kamu nyebut lagi. Makin melilit ini perut." Aku masih memegangi perut. Duduk di tepi ranjang."Iya, maaf!" Mas Bayu akhirnya mengankatkan kakiku untuk selonjor pada tempat tidur."Kamu ini aneh, mana ada begitu. Nyebutin nama orang bikin sakit perut!" Mas Bayu ngedumel."Loh ada, Mas! Ini buktinya. Banyak kok yang begitu, apalagi nama yang disebut itu calon madunya. Jelas jabang bayi pasti sedang protes tak terima!" Aku mendengkus kesal.Mas Bayu memilih diam. Ia pergi keluar dan aku memilih bermain ponsel. Aku mencoba berselancar di dunia Maya. Dengan modal nama lengkap, aku mencoba untuk menscroll akunnya. Siapa tahu ada petunjuk.A
"Oh ... Begitu ya? Ya udah ngga papa deh. Di screenshot saja. Jangan sampai ada yang kelewat," ucapku via telfon.Setelah mematikan telfon barang sejenak. Aku duduk menghela nafas. Entah kenapa rasanya perutku sedikit begah."Mbak, aku kedepan sebentar ya! Mau beli burjo," pamitku pada Mbak Desi yang tengah sibuk membungkus gula."Iya, Fit. Titip sekalian ya! Aku juga pengen," ujarnya. Aku hanya mengangguk. Tak seberapa harga burjo, yang terpenting mereka baik padaku, itu sudah cukup dan aku tak akan pelit untuk urusan apapun.Tiba di jalan raya, dimana tempat biasa penjual Bubur kacang ijo. Ternyata zonk. Pedagang tak jualan. Aku menemui kecewa. Tentu karena tak mendapatkan apa yang di inginkan setelah jauh melangkah. Mana panas lagi.[Mas, pulangnya belikan burjo yang ada di simpang lima ya!] Kukirim pesan WA pada Mas Bayu. Berharap nanti dia yang akan membelikan.Tiba kembali di toko. Aku pasang tampang sedih. Sudah tahu Mbak Desi jika pasti aku tak mendapatkan apa yang kuinginkan.
"Tadi Panji mengancam akan membuat Natasya bertekuk lutut padanya, sama halnya Bayu pada Arumi. Lupa akan keluarga." Mbak Desi berkata dengan sedih."Apa tadi yang di tempat pedagang Ayam bakar itu Panji?" tanyaku memastikan."Iya, Fit. Makanya tadi aku begitu marah. Melihat Natasya tengah makan dengan Panji dan juga sedang suap-suapan."Aku tertegun. Bagaimanapun Panji dengan Natasya kan masih saudara. Walau keponakan. Aku tak tahu apakah boleh ponakan di nikahi?"Panji bilang jika dia mencintai Natasya. Tapi, aku yakin itu bukan cinta. Karena jelas Panji sadar jika mereka saudara."Aku mengangguk mengerti. Panji memang terlalu misterius. Dia sudah ketangkap basah memiliki pesugihan tapi, entah kenapa masih saja tak punya malu."Aku khawatir, Fit. Tadi di rumah Natasya ngamuk-ngamuk ngga jelas. Seolah tak terima cintanya di tentang." Kini Mas Jali yang berbicara. Aku memijit pelipis. Kenapa satu orang tapi serumit ini. Belum selesai masalah Mas Bayu, tapi ini udah datang masalah yan
"Sudahlah, memang kamu sudah di butakan cinta oleh Arumi, hingga tidak sadar mana yang salah dan mana yang benar. Bahkan sekarang terang-terangan dzolim kepadaku dan calon anak kita!" cerocosku.Mas Bayu hanya menghela nafas panjang, kemudian kembali mengebulkan asap rokok ke udara. Aku memilih menjauh, tentu itu sangat menganggu pernafasan.Tak biasa memang Mas Bayu begini, biasanya ia tak merokok di dalam rumah. Mungkin karena stres saja karena mengetahui semuanya jika ternyata Arumi bukan gila karenanya."Kalau sudah seperti ini aku harus bagaimana, Fit?" ucapnya kemudian saat aku sudah hampir mendekati pintu kamar. Aku berbalik."Kenapa harus tanya aku? Yang harus kamu lakukan adalah mengambil sikap tegas. Menjauhi Arumi karena dia bukan lagi tangung jawabmu atau ... Kita cerai!" ungkapku ketus. Sungguh rasanya aku di buat gila oleh tingkahnya. Kenapa dia justru seperti sangat keberatan untuk meninggalkan Arumi?Aku segera masuk kekamar. Berniat untuk menggambil catatan. Hari suda
Aku segera menatap sekeliling. Mungkin bersembunyi adalah pilihan yang paling tepat. Tak mungkin aku bisa keluar segera karena jarak pintu dan tempat dimana aku berdiri cukup jauh.Aku langsung menyelinap pada sebuah patung berukuran besar. Entah patung apa aku tak memperhatikan dengan segsama, intinya disini aku bisa bersembunyi.Patung berukuran besar, lebih besar dari badanku. Tentu memudahkan aku agar tak terlihat. Ternyata yang datang adalah suster Arumi. Ia seperti membawa nampan makanan.Dia mengetuk pintu di kamar Arumi. Tak lama Panji keluar."Saya mau kasih makan, Nona, Tuan!" Suster berkata. Aku sempat terheran dengan panggilan Tuan pada Panji. Apa dia sudah merasa ningrat"Tak usah kamu beri makan dia! Lebih baik kamu hubungi Bayu, bilang kalau Arumi ngga mau makan karena dia tak datang!" Panji menahan Suster untuk masuk."Tapi bagaimana, Tuan. Sedangkan ponsel Pak Bayu saja tertinggal disini?" Suster menunjuk kearah meja. Aku mengintip dari celah tangan patung."Kenapa bi