"Eh, Mbak Melan. Sedang apa?" Mas Bayu juga mengenalinya. Aku menyempitkan mata, bahkan terdengar nada ramah pada Mas Bayu. Apa jangan-jangan ...."Oh, ini pengen makan bebek bakar aja. Apa aku boleh gabung?" tanya wanita yang di panggil Mas Bayu dengan sebutan Melan.Apa? Gabung. Yang benar saja. Bahkan sejak awal, dia tak melirikku sama sekali. Seolah aku dianggap hantu sama dia. Ganjen."Boleh, silahkan. Perkenalkan dia istriku Fitri dan itu anakku Ilham." Akhirnya wanita itu baru mau memandangku, tersenyum sedikit kemudian malah duduk disebelah Mas Bayu. Duh ... Kesal."Sama siapa? Ngga sama Engkong?" tanya Mas Bayu. Aku tak mengerti siapa yang di panggil engkong."Ngga, sendirian aja. Kalau sama engkong suka lama! Lama jalannya." Dia berbisik di akhir kata. Tapi aku tetap bisa mendengar. Siapa engkong dan siapa Melan. Ingin bertanya lebih jauh tapi sepertinya waktunya belum tepat.Melan bercerita pada Mas Bayu tanpa beban. Seolah sudah kenal Mas Bayu lama. Aku hanya menyimak d
"Hitung menghitung? Apa maksud kamu, Mbak?" tanyaku langsung yang baru keluar."Nah ini orangnya!" Mbak Desi langsung merebut kertas yang dipegang Mas Bayu."Baca ini! Semua ini biaya suamimu selama kami rawat dulu! Apa kamu mau membayarnya?" Aku mengambil kertas yang ia sodorkan. Berisi catatan panjang. Tentang biaya makan tiga kali kemudian dikalikan berapa ribu. Aku bahkan tak mudeng dengan yang di tuliskan."Ini apaan, Mbak?" tanyaku."Itu semua rinjian biaya Bayu dulu! Jumplah saja, siapa tahu kamu mau menggantinya. Kita tinggal itung-itung saja. Potong utangku yang sepuluh juta kemarin. Masih kembali banyak kan ke aku?"Aku melihat nominal dibawah sana yang mendekati di angka seratus juta."Itu pakai totalan dulu. Kalau nilai rupiah sekarang. Kamu tahu kan berapa kali lipat?""Ini maksudnya Mbak Desi mau minta bayaran atas apa yang Mbak berikan pada Mas Bayu dulu? Mbak ngga iklhas?" Aku mulai kesal. Dia seolah menggunakan kesempatan untuk memeras kami."Tidak! Sudah pantas aku
"Bagaimana bisa sampai aku tak tahu? Atau aku lupa?" Aku mengingat keras. Apa aku pelupa karena sibuk atau ....Aku berusaha membuka chat dari Mbak Saras. Takutnya aku ngga baca atau terlewat. Tak ada chat dari dia? Kemudian aku mencari kontak Mas Rian juga tapi nihil."Kenapa?" tanya Mas Bayu yang mulai naik keranjang. Mungkin heran melihatku bermain ponsel dengan gugup."Ini, Mas. Kamu udah lihat grup kan?" tanyaku penasaran.Dia mengangguk. "Tentang acara lamaran Icha?" tanya Mas Bayu kemudian."Iya, Mas. Kamu tahu, kok ngga ngabarin aku. Kan kita bisa datang. Kalau begini kita jadi ketinggalan. Ngga enak sama mereka," ujarku."Aku juga baru tahu saat lihat di grup. Mereka ngga ngabarin kita, artinya kehadiran kita tidak diharapkan bukan?" Mas Bayu menatapku intens.Benar juga. Kalau mereka tak mengabari tentang acara itu. Artinya mereka tak ingin kami hadir. Tiba-tiba ada rasa nyeri di ulu hati."Sudahlah. Tak perlu di pikirkan. Lagian, bukannya kemarin mereka juga tak datang saat
Apa? Kok Bisa? Aku langsung menatap pada mereka. "Kenapa? Apa kalian ngga butuh pekerjaan atau? Bukankah masalah gaji sudah kita sepakati kemarin?" tanyaku kemudian. Aku mengira mereka mungkin protes tentang gaji. Padahal menurutku sudah sepadan. Apa lagi karyawan baru."Bu-bukan itu, Bu. Kami hanya dengar desas desus yang membuat nyali kami menciut untuk bekerja disini. Kami memang sangat membutuhkan pekerjaan ini tapi ... Kalau nyawa kita taruhannya. Tentu kami tak mau. Apa lagi anak kita masih kecil-kecil." Salah satu dari mereka buka suara. Seorang wanita muda berusia 35 tahun, janda mati bernama Mariana. "Maksud kalian apa? Nyawa? Kerja di tempatku ini hanya butuh tenaga dan ketelatenan. Ngga ada hubungannya dengan nyawa!" Aku masih tak mengerti dengan apa yang mereka sampaikan. Bahkan Mas Bayu saja kini hanya bisa terdiam."Bukan begitu, Bu. Kami dengar jika pemilik toko ini menggunakan pesugihan. Maaf, Bu. Kami cuma takut di tumbalkan."Astaghfirullah!Aku baru nggeh jika ar
"Nah itu dia!" tunjuk Mbak Desi pada sebuah mobil pickup warna putih yang tentunya bukan milikku.Tunggu? Kenapa ada Natasya juga di mobil dan kenapa?Aku makin heran karena mobil yang datang adalah mobil yang tadi juga mengantar motor Hani. Kali ini mobil itu juga membawa motor baru. Apa tadi ada kesalahan hingga harus di tukar?Mas Bayu turun juga di ikuti Natasya. Wajah Mbak Desi terlihat sumringah sekali. Aku jadi curiga?"Mas Itu motor siapa?" tanyaku menunjuk pada motor jenis yang sama dengan motor Hani. Hanya beda warna. Hani pun keluar. Ia tampak kebingungan."Loh kok ngirim lagi? Emang salah ya, Bang?" tanya Hani pada Salwa motor itu."Nggak kok, Mbak." "Lah terus?" Hani penasaran. Sedangkan aku yang ingin bertanya pada Mas Bayu, dia tengah membantu menurunkan motor."Hei, Lu! Emang cuma kamu yang boleh di belikan motor sama Bayu. Natasya keponakannya juga berhak dong!" jawab Mba Desi dengan pongah.Seketika aku melonggo. Mas Bayu membelikan motor Natasya? Motor yang sama de
Aku dan Ibu langsung keluar dan melihat keatap, namun tak ada asap ataupun apa diatas sana."Ibu tadi dengar kan?" tanyaku memastikan. "Dengarlah. Masa suara sekencang itu ngga denger?" Kini Mas Bayu juga tergoboh dengan hanya menggunakan sarung dan telanjang dada."Tadi ada apa, Fit? Kok kaya ada yang nyalain petasan?" tanya Mas Bayu dengan mata masih sempit."Ngga tahu, Mas. Tapi di cari ngga ada apa-apa. Aku sama Ibu sampai bingung." jawabku."Ya sudah, Fit. Kita masuk saja. Berdo'a saja jika tadi bukan apa-apa," ujar Ibu. Aku dan Mas Bayu menganguk."Kamu tidur telanjang dada begitu. Apa ngga masuk angin, Mas?"tanyaku pada Mas Bayu yang tak biasa. "Ngga tahu nih, Fit. Malam ini tidur kok rasanya gerah banget," jawab Mas Bayu yang kemudian membantu aku menutup pintu.Ternyata hawa panas seperti ini memang tengah kami rasakan. Setelah selesai menutup pintu. Kami bersiap masuk kekamar. Tentu, Hani membawa kunci sendiri agar bisa masuk kerumah.Saat kami akan terlelap dalam mimpi.
Gegas aku keluar untuk mengeceknya. Namun, nihil. Orang itu sudah entah kemana. Aku justru celingukan sendiri."Mbak, makasih ya!" ujar Ririn yang sudah nangkring di jok motor suaminya."Iya, Rin. Hati-hati!" Aku pun menjawab. Kemudian memilih kembali masuk. Aku ingat betul sosok yang tadi berdiri di sebrang jalan dengan menetap lurus ke toko. Siapa dia? Memiliki tujuan buruk kah?Hanya karena tanah kuburan yang kutemukan. Kini hatiku menjadi penuh curiga dan suudzon. Bahkan dengan para pelayan pun aku menaruh kecurigaan. Benar-benar perbuatan orang syirik itu menyiksa dan sangat merugikan."Kamu ngapain?" tanya Ibu yang mungkin heran melihatku berdiri mematung."Ngga papa, Bu. Tadi ada orang di sebrang jalan. Aku curiga, jadi tadinya mau aku tanyain." "Terus mana orangnya?""Ngga ada, Bu. Pas aku mau samperin udah ngilang." Aku duduk dengan lemas."Mungkin tengah menunggu seseorang. Kemudian saat kamu akan kesana orangnya sudah datang. Jangan suudzon berlebih. Bersihkan hati kita da
"Begini, Fit. Entah kenapa orang yang sudah fix mau bayar tanah yang kutawarkan. Di telfon sudah deal, sudah lihat tanahnya juga mensurvei bahkan berjanji bawa uang dan bertemu di tempat yang di janjikan tapi saat bertemu langsung memilih mundur. Bahkan ada yang terang-terangan bilang jika aku penipu!" Mas Bayu berkata dengan nada sedih."Kok bisa, kamu nipu apa?" tanyaku penasaran."Nah itu, Fit. Aku ngga tahu. Mereka tiba-tiba seolah benci padaku. Padahal sebelumnya baik-baik saja.""Ya sudah, Mas. Sebaiknya kita berfikir positif. Mungkin memang belum rejeki. Sabar ya, Mas." Aku menenangkan Mas Bayu. Tentu takut jika dia akhirnya memilih jalan untuk berbuat syirik.Memang yang kami alami ini tak nalar di pikir. Tapi, kami masih punya Allah. Ada dia yang maha pemberi jalan segalanya."Iya, Fit. Ya sudah Ayuk kita tidur!" Ajak Mas Bayu. Aku memilih untuk melakukan salat sunah dahulu. Takutnya jika nanti kesiangan dan dapat melaksanakannya.***Sesuai instruksi yang sudah kami sepakati