"Pak RT, saya tidak sudi kalau Dita tinggal di rumah pemberian orang tua saya! Saya mau Dita dan keluarganya pergi dari rumah ini sekarang juga!" seru Bu Cici berapi-api. "Apa? Nggak bisa gitu dong? Sewa rumah ini telah dibayar penuh pada bulan ini! Mana profesionalismenya, Bu!" geram Dita saat mendengar perkataan Bu Cici."Profesionalisme, profesionalisme, gundulmu kui! Saya kembalikan uang kamu bulan ini sekarang juga. Saya pemilik rumah ini dan saya berhak menentukan siapa yang akan menempati rumah ini dan siapa yang saya usir!" ujar Bu Cici tegas. "Yah, nggak bisa begitu dong, Bu! Nyari rumah kontrakan kan pakai proses. Emang bisa sim salabim! Lagipula kalau saya pindah, bagaimana dengan pekerjaan dan tempat sekolah anak saya? Nggak kasihan banget sih sama single mom! Mana empatinya pada sesama perempuan?!" ujar Dita. Wajahnya meringis menahan sakit. Bi Cici tertawa. Sementara itu semua anggota arisan juga tergelak. "Heh! Apa kamu bilang tadi? Empati?! Single mom? Kamu itu nge
Sejenak wajah Herman tercengang. Dia menghela nafas panjang. "Aku ... aku hanya asal menebaknya, Ma. Sepertinya aku terlalu banyak bekerja sehingga asbun, asal bunyi, dan asma, asal mangap saja. Maafkan aku," ucap Herman lirih dengan memijit pangkal keningnya. "Hm, ya sudah. Aku buatin teh hangat dulu ya? Nanti pas mandi, pakai air hangat saja. Kan tinggal menyalakan shower," ujar Dinda berlalu ke arah dapur. Herman termenung sesaat lalu segera menuju ke kamarnya mencari kabel isi ulang daya.Dengan sabar, dilihatnya ponsel nya walaupun terus menerus menampilkan layar hitam karena ponselnya masih dalam keadaan ma ti. "Mas, tehnya sudah siap," ujar Dinda yang muncul dari pintu kamar nya. Ponsel yang dipegang Herman seketika nyaris jatuh karena dia terkejut mendengar sapaan Dinda. "Eh, kamu, Ma." "Heem. Ini tehnya." Dinda meletakkan cangkir teh yang beraroma melati di atas nakas. "Terima kasih, Ma.""Sama-sama. Oh ya, dari tadi, kuperhatikan kamu menatap ke ponsel kamu terus, Ma
"Selamat terpuruk, Dit. Kamu harus merasakan kesakitan yang jauh lebih parah dari yang kurasakan sekarang!"Dinda menyeringai lalu menghapus pesan yang tadi diketiknya untuk Dita, sekaligus pesan balasan dari janda itu. Dia lalu bangkit dan menuju ke lemari baju tempat menyimpan berbagai sertifikat aset dan BPKB mobilnya. Dinda kemudian berjalan mengendap-endap dengan membawa map yang berisi dokumen itu lalu menyimpan nya di lemari baju milik Windi. Dengan perlahan-lahan Dinda kembali ke kamarnya lalu merebahkan diri di ranjang dan menghela nafas panjang. Mempersiapkan dan memantapkan hati serta menata penjelasan yang akan diberikan pada orang tuanya, orang tua Herman, sekaligus pada Windi, anaknya tentang perpisahan yang sudah terpampang di depan mata. Hingga tak terasa dia terlelap dalam buaian mimpi.***Dinda terbangun saat pipi nya ditepuk-tepuk lembut oleh tangan Herman."Bangun, Sayang."Dinda membuka mata nya yang nyaris terasa berat. "Happy anniversary pernikahan kita yang
"Selamat malam, Dita. Saya sudah menunggumu dari tadi. Ayo, masuk dulu," sapa Dinda ramah pada Dita yang memucat. Dita tercengang melihat wajah Dinda yang di hadapannya. Dia terdiam dan terpaku di depan kamar hotel."Kok B-bu Dinda di sini?" tanya Dita terbata-bata. "Yah, saya di sini karena memang saya ingin membicarakan sesuatu dengan kamu dan suami ...""Lama banget, Yang ... lho kamu ..." Suara Herman terhenti saat melihat Dita yang berdiri dengan gugup di depan pintu kamar hotelnya. Dita pun menatap balik ke arah Herman yang hanya mengenakan handuk di bagian pinggang. Herman dan Dita saling berpandangan dengan bingung. Dinda tersenyum. "Masuklah, Dit. Ada yang ingin kubicarakan dengan kalian."Dita menggelengkan kepalanya perlahan. Lelaki itu berdiri di belakang punggung Dinda sehingga Dinda tidak bisa melihat ke arah wajah Herman, hanya Dita yang berdiri di hadapannya lah yang bisa memandang Herman dengan jelas. "Sa-saya pasti salah kamar. Saya tadi kesini untuk bertemu d
"Hah? Malam-malam begini?"Sejenak keraguan terlihat di wajah Dinda. "Kalau tidak malam ini, lalu kapan aku mengatakan nya pada mertuaku? Aku takut kalau aku menunda pembicaraan ini, bisa-bisa mas Herman menjemput Windi dan menjadikan nya senjata untuk melemahkan niatku," ujar Dinda.Fifi menghela nafas. "Yah, kamu benar. Kalau kamu nggak menjemput anak kamu, dikhawatirkan nanti Herman membawa dan menyembunyikan anak kamu agar tuntutanmu pada Herman dibatalkan. Tapi sekarang sudah jam setengah sebelas malam. Apa mertua kamu tidak tidur?" tanya Fifi sambil melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan nya. Dinda pun melemparkan pandangan nya di sekeliling halaman depan sebagai tempat parkir hotel yang sudah sepi. Hanya beberapa mobil yang terparkir di sana tanpa manusia dan tiga orang satpam di pos depan. "Yah, mau bagaimana lagi. Aku harus ke rumah mertuaku sekarang, Fi.""Baiklah. Hati-hati di jalan. Kabari aku jika terjadi sesuatu padamu," ucap Fifi seraya masuk ke dalam mo
"A-aku harus apa tadi?""Menunggu mamiku opname.""Kenapa harus aku? Kan bisa saja ...""Siapa? Dinda? Aku dan Dinda kan sedang dalam proses cerai karena kamu dan sekarang kenapa kamu yang sewot dan tidak mau menunggu ibuku?""Lho, kamu kok jadi nyalahin aku sih?" protes Dita. Dia sebenarnya agak malu dan gengsi karena di hadapannya ada pemilik warung yang menatapnya dengan kesal, apalagi panggilan telepon nya diaktifkan secara loud speaker. "Sudah, sudah! Kalau kamu mencintai aku, seharusnya kamu mencintai mamiku juga! Dan ... Kalau kamu tidak mau menunggui mamiku opname, kembalikan gelang emas yang sudah kuberikan padamu!""Astaga! Kamu pelit sekali!""Bukan pelit tapi aku menggunakan logika. Kamu harus ke rumah sakit Griya Sehat, paviliun mawar. Aku sudah dalam perjalanan ke kantor karena ada meeting penting!"Dita melongo saat Herman memutuskan panggilan teleponnya secara sepihak. "Mas, Mas Herman! Tunggu ...!"Tut! Tut! Tut!Dengan ekspresi wajah yang tidak bisa dilukiskan deng
Beberapa saat sebelumnya, Dinda baru saja sarapan dengan Windi, saat bi Inah masuk melalui pintu depan yang tidak dikunci. "Assalamualaikum, Bu Dinda.""Waalaikumsalam. Masuk, Bi. Saya sedang buru-buru karena akan mengantarkan Windi sekolah sekaligus berangkat dinas pagi. Sekaligus ada yang ingin saya sampaikan pada bi Inah," sahut Dinda berdiri dan menarik lengan bi Inah ke ruang belakang, tempat mencuci baju. Dinda menoleh ke arah Windi sekilas. "Sayang, kalau sarapannya sudah selesai, tunggu di depan rumah ya.""Iya, Ma," ujar Windi sambil menikmati nasi putih dan nugget ayam nya. Sementara itu Bi Inah menatap Dinda dengan penuh tanda tanya. "Ada apa, Bu? Kenapa Bu Dinda menyuruh saya untuk masuk lebih pagi?" tanya bi Inah bingung. "Apa saya melakukan kesalahan?" Dinda menatap ke arah Bi Inah lekat-lekat. "Bi Inah, saya akan menceritakan apa yang terjadi pada rumah tangga dan sekaligus meminta tolong Bi Inah.""Sebenarnya ada apa, Bu?""Suami saya selingkuh dengan Dita.""As
"Dinda, HRD tempat Herman bekerja adalah teman baik ayah. Ayah tidak terima dengan perlakuan Herman padamu. Dulu sebelum kalian menikah dan masih dalam masa pendekatan, ayah lah yang membantu nya masuk ke perusahaan itu dengan bantuan teman ayah. Sekarang ayah akan membuatnya dipecat dengan tidak hormat melalui teman ayah juga dengan alasan moralitas pegawai!"Dinda menoleh ke arah ayahnya. "Tidak usah, Yah. Ayah tidak perlu mengotori tangan Ayah untuk membuat mas Herman dipecat. Lagipula tidak baik memutuskan rejeki orang. Kalau pun mas Herman dipecat, aku ingin mas Herman dipecat atas kesalahannya sendiri. Bukan karena peristiwa ini.""Apa kamu tidak sakit hati atas perlakuan suami kamu? Aku saja yang istrinya mas Chandra merasa sakit hati lo, Din. Masa kamu biasa aja sih?" tanya Via. "Wah, jangan tanya perasaan ku, Mbak. Aku bahkan sampai memposting video dan foto saat Dita, selingkuhannya mas Herman yang saling berkelahi dengan anggota arisan di akun sosial warung seafood tempat