"Tante, semalam kok nggak ikut ke rumah Rina?" tanya gadis kecil berusia delapan tahun itu sambil menikmati kentang yang baru aku goreng. Aku yang sedang bersantai setelah dinas malam di depan ruang tivi sontak duduk di sofa. "Lho, emang semalam ada apa di rumah kamu, Rin?" tanyaku sekali lagi seraya menatap ke arah Rina yang sedang bermain barbie dengan Windi, anakku. "Lho, semalam dan juga beberapa malam, Om Herman sering ke rumah. Tapi aku sedih karena Windi dan Tante nggak ikut. Apalagi Om Herman pas datang ke rumah langsung masuk ke kamar mama," sahut Rina merapikan rambut barbie nya. Aku melongo. 'Kapan mas Herman ke rumah Dita, janda depan rumah yang merupakan ibu dari Rina? Apa saat aku sedang dinas malam? Astaga, apa benar yang dikatakan oleh Rina?' batinku. Aku melirik ke arah jam dinding yang menempel di tembok. Masih jam satu siang. Mas Herman masih lama pulang dari kantor dan Dita yang bekerja di rumah makan dekat kantor mas Herman juga masih bekerja di sana. Dita m
Aku mengamati foto dan video di hadapan ku walaupun hati menyuruh untuk segera mema tikannya. Tapi otak memberi aba-aba padaku untuk mempelajari foto dan video yang ada di hadapanku. Ya, aku harus tahu mulai kapan suamiku berselingkuh dengan janda itu. Aku menggulir lingkaran mungil di mouse dan mendapatkan foto pertama yang diposting oleh mas Herman. Sekitar dua bulan lalu. Kalau melihat ranjang dan ruangan sebagai latar mereka berfoto, sepertinya berganti-ganti. Seperti di hotel dan di kamar biasa. Tanganku terkepal. Selama ini aku yang hanya mendengarkan berita dan film tentang pelakor, sekarang dipaksa harus menerima kenyataan bahwa suamiku telah tergoda pelakor. Aku menghela nafas panjang. Melepaskan rasa sesak di dada, membayangkan anakku yang akan menjadi anak korban broken home. Tapi aku segera menenangkan hati, lebih baik Windi menjadi anak korban broken home daripada mempunyai ayah yang berzina dan membohongi ibunya. Akan lebih buruk untuk tumbuh kembang Windi jika dia tu
"Astaga, Mbak Dita! Kok bisa jatuh? Tangannya licin? Atau masih ada sabunnya?" tanya pura-pura berempati. Dita segera menggelengkan kepalanya. "Ma-maaf, Bu Dinda. Saya tadi melamun sebentar karena teringat suami saya saat ada main dengan perempuan lain. Oh ya, Bu Dinda belum menjawab pertanyaan saya," ujar Dita. Nada suara nya terdengar gugup tapi dia berusaha untuk tetap tenang. "Pertanyaan kamu yang mana, Mbak?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Aku berbalik dan mengambil sapu serta pengki lalu menyerahkannya ke arah Dita. "Mbak, karena mbak Dita yang sudah menjatuhkan dan memecahkan piring serta mengotori rumah saya, jadi mbak yang harus membersihkan nya. Tolong buang ke tempat sampah di luar sana, Mbak." Aku menunjuk tempat sampah dari bambu di luar rumah samping dapur. Dita tampak tercengang. "Saya yang harus membersihkan ini?""Iya. Karena mbak Dita yang mengotori rumah saya."Dita terlihat bersungut-sungut mengambil sapu dan pengki dari tanganku."Jadi kenapa Bu Dinda tega men
Aku baru saja menyimpan ponsel saat terdengar suara pintu depan diketuk. "Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Aku segera ke ruang depan untuk membukakan pintu. "Pagi, Bu Dinda!""Pagi, Bi Inah, ayo masuk dulu."Aku mempersilahkan asisten rumah tanggaku untuk masuk kedalam rumah. Namanya bi Inah. Sudah berumur sekitar empat puluh lima tahun, sangat cekatan. Dia bekerja di sini mulai dari jam tujuh pagi hingga jam lima sore. Jadi kalau aku sedang dinas sore dan mas Herman belum pulang ke rumah, Windi ditemani oleh Bi Inah. "Sudah sarapan, Bi?" tanyaku saat bi Inah mulai meraih sapu dan pengki. "Sudah, Bu Dinda.""Oh, saya kita belum. Karena kalau belum sarapan, di meja makan ada lauk, Bi."Aku membuka tudung saji meja makan. Bi Inah melihat nya sekilas. "Wah, Bu Dinda mantap betul. Pagi-pagi sudah matang saja lauknya," ujar Bi Inah menatap ke arah tumis cumi pedas dan udang krispi. "Hm, itu bukan masakan saya, Bi. Jadi nanti kalau bi Inah pulang ke rumah, bawa saja ya semua lauk i
Mendadak para tetangga panik karena Bu Ambar memegangi kepalanya dan terkulai lemas. "Eh, Bu Ambar kenapa?" tanya para warga panik. Aku secara refleks segera menangkap tubuh tambunnya. Wah, ternyata berat juga. "Tolong, bantu saya membawa Bu Ambar. Saya akan memeriksa ada apa dengan Bu Ambar," ucapku. Beberapa warga mulai menolong ku memapah tubuh Bu Ambar masuk ke dalam rumahnya. Ini kedua kalinya aku masuk ke rumah ini setelah dihuni oleh Dita. Pertama saat mereka mengadakan syukuran rumah baru. Kedua, sekarang ini. Bu Ambar yang sedang pingsan itu direbahkan di sofa ruang tamu. Aku memeriksa denyut nadinya dan menekan jempol kaki kanannya. Tampak Bu Ambar sedikit mengernyit karena jempolnya kutekan. Aku menghela nafas panjang. Merasa bingung kenapa Bu Ambar hanya pura-pura pingsan. Karena orang yang benar-benar pingsan, tidak akan menunjukkan reaksi apapun saat dicubit atau jempol kakinya ditekan. "Bagaimana kondisi Bu Ambar, Bu Dinda? Apa perlu kita bawa ke rumah sakit?" t
Aku melongo, menatap ke arah pengacara yang sekaligus teman sebangkuku saat SMA. "Jadi harus mengancam seperti itu? Apa saran ini kamu berikan pada klien kamu yang lain juga?" tanyaku kepo. Fifi tersenyum penuh misterius. "Hm, nggak usah mikirin itu. Yang penting kan pelakor itu tidak bisa menikmati uang kamu, Din. Kalau mereka main rapi, kita main rapi. Mereka main culas, kita juga main culas.""Memang kalau main ancam nggak melanggar hukum?""Kalau kamu bertanya siapa yang paling banyak melanggar hukum, ya mereka lah! Udah melakukan perbuatan tidak menyenangkan, kena pasal tentang perzinah*n pula! Weslah, aman! Ayo maju sama aku. Aku enggak sembarangan lho ya memberikan saran seperti ini. Hanya pada kamu saja. Kamu kan yang menemani suami kamu dari nol, mulai dari mengkontrak rumah sampai hingga mempunyai aset seperti sekarang ini. Eh, masa tahu-tahu direbut pelakor?! Dia udah bagus dapat suami kamu yang menjadi wakil manajer pemasaran sekarang. Dia masih bisa hidup enak."Aku me
"Sudah. Kurang aja*r juga suami saya dan janda gatel itu! Habis memborong apa saja di mall?! Saya kan menuju ke sana sekarang! Awas saja, aku akan menjadikan Dita sebagai umpan ikan lele di kolam belakang!""Saya dan beberapa ibu arisan akan membantu Bu Cici melabrak Dita. Bu Cici segera kesini saja."Panggilan telepon segera diakhiri setelah Bu Cici mengucap salam. "Bu Dinda, tadi baru saja telepon Bu Cici, istri nya pak Andre?" tanya Bi Inah dengan penuh rasa ingin tahu. Aku mengangguk dan tersenyum lalu mengirimkan pesan whatsapp ke seluruh anggota arisan geng kami yang berjumlah lima orang. Jadi total tujuh denganku dan Bu Cici.Aku mengirimkan foto pak Andre dan Dita yang sedang menurunkan beberapa tas dari dalam mobil ke seluruh anggota arisan. [Apa kalian sudah tahu kalau tetangga baru kita adalah pelakor? Sasarannya adalah pak Andre, suami Bu Cici. Ayo kita beri pelajaran berharga pelakor itu agar lebih pintar.]Terkirim dan langsung centang biru. Beberapa pesan balasan la
"Aawwww!" Dita menjerit kesakitan saat tangan kanan Bu Cici mendarat di pipinya. Sesaat mereka bertatap-tatapan. Dan kami semua tercengang dalam diam. Suasana hening sejenak. Tapi terasa memanas. Tangan Dita naik ke atas dan hendak memukul Bu Cici, saat pak Andre mendadak menangkap tangannya. "Sudah, Dit! Sudah!"Dita tercengang dan menurunkan tangannya dengan perasaan kesal. Sementara itu Bu Cici menatap ke arah Dita dengan senyum meledek. "Kenapa kau berbeda, Mas? Kamu takut dengan istrimu yang tua ini?" tanya Dita dengan mata melotot. "Heh, jaga ucapanmu ya? Tua kata kamu? Jangan seenaknya kalau bicara, pelakor!" seru Bu Cici tak kalah keras. Aku dan teman-teman lain sudah memasukkan semua papper bag dan kantung plastik berisi aneka baju dan sembako ke dalam mobil. Beberapa tetangga yang di kiri dan kanan rumahku yang biasanya cuek dan selalu menutup pintu pagar, kini keluar rumah dan menonton kami. Tak ketinggalan pula, Bi Inah terlihat mengintip dari balik pagar rumahku den