Share

Obat Yang Diberikan Ibu Tiriku
Obat Yang Diberikan Ibu Tiriku
Penulis: Nurja

Tanpa Cinta

Bab 1

"Tiara, nanti kalau dia meminta haknya, langsung kasih. Jangan kecewakan! Jangan lupa dipakai ya, baju yang udah Ibu siapin di tas kamu." 

Aku menelan ludah susah payah, mendengar apa yang Ibu bisikan di telingaku. Dengan berat aku menerima perjodohan ini. Atas semua kemauan Ibu dan Bapak. 

Sebelumnya aku juga tak pernah kenal dengan suamiku. Kami hanya bertemu beberapa kali saja. Saat lamaran dan kini menikah. 

Suamiku memang tampan. Namun, gurat wajahnya terlihat dingin dan angkuh. Bertanya saja aku tidak berani, apalagi sampai ke hal yang lebih intim. 

"Ibu sama Bapak nggak nginep sini?" timpalku. 

Kedua mata belo Ibu mendelik. "nggak. Ibu, Bapak sama adikmu pulang aja. Ingat kata-kata Ibu tadi ya? Apalagi kalau nanti kamu cepat hamil, pasti keluarga Keynan akan semakin membuat ATM kita gendut," tambahnya, bagai cambuk yang memecutku kuat. Segampang itu menyuruh tanpa tahu bagaimana rasanya jadi aku! 

Bak buah simalakama, hidupku serba salah. Tak menuruti kemauan orangtua, dicap anak durhaka. Menuruti kemauan orangtua, hidupku dalam derita. Mereka enak, bisa berfoya-foya dengan uang yang mertuaku berikan. Sedangkan aku ... aku yang dikorbankan untuk masuk ke kandang macan. 

Entah akan berapa lama aku bisa bertahan di sini. Sekamar dengan lelaki dingin seperti es Kutub.

Selepas Ibu dan Bapak pulang. Aku mengekori langkah Keynan untuk naik ke kamar atas. 

Dada ini tak hentinya berdegub kencang. Berjalan di belakangnya saja sudah ngeri, apalagi nanti berdua di kamar. 

"Aku mandi dulu, awas jangan ngintip!" 

Bugh! 

Mata yang tadi celingkukan reflek memejam karena menabrak sesuatu. 

Ludahku makin tercekat saat tahu apa yang kutabrak. Punggung Keynan yang tadi tiba-tiba berhenti di depan kamar. 

Ia lekas menoleh. Menatapku tajam. 

"Ma-maaf …," ucapku terbata. 

Wajah ini terasa memanas. Mungkin sekarang sudah memerah seperti kepiting rebus. Sungguh, tatapan Keynan membuat jantungku hendak melorot dari penyangganya. 

Dia ini manusia apa setan? Seramnya bukan main. Iya sih, ganteng, tapi … auranya beda, kayak ada horornya gitu. 

"Heh! Dengar nggak aku ngomong apa?!" sentaknya membuatku kaget. 

"I-iya, dengar kok," jawabku gelagapan. 

Keynan tak nyeletuk lagi. Ia membuka pintu dan langsung masuk ke kamar. Tentu aku juga. 

Tak hentinya aku berdecak kagum. Kamar Keynan sangat mewah, rapi, dan harum. Berbeda dengan kamarku yang sering ada kecoanya. 

Jangankan ada AC. Kipas angin saja sering rusak. Dan sekarang, aku akan tinggal di kamar yang super bagus ini. Apa aku harus menyebutnya rezeki? Kurasa … tidak! Untuk apa tinggal di tempat mewah kalau tidak bahagia. Ya, kali ini batinku memang tersiksa. Nikah hasil perjodohan itu nggak enak banget. 

Nasib, jadi orang yang dulu kaya, lalu bangkrut dalam sekejap mata. Kehidupanku berubah semenjak duduk di bangku SMA. Ketika semua berawal dari ulah istri kedua Bapak yang ikut-ikutan investasi bodong bahkan hingga sekarang masih meninggalkan hutang beberapa di beberapa Bank.

Sudah lama tidak merasakan fasilitas begini. Sekalipun merasakan, eh malah jadi korban nikah paksa. Sebegitu menyedihkan sekali takdirku. 

Keynan berlalu ke kamar mandi yang letaknya menyatu dengan kamar.

Sedangkan aku, aku sibuk menghapus riasan yang menempel di wajah. 

Setelah selesai menghapus make up, lanjut kubuka tas ransel yang kubawa dari rumah.

Selembar pakaian tipis menyambut. Mata ini lantas membeliak. 

Astaga! Kenapa Ibu pakai bawain baju haram begini sih? 

Lingerie menerawang berenda hitam segera kusingkirkan. Tanganku masuk lebih dalam untuk mencari piyama yang sengaja aku bawa dari rumah. 

Nggak bakalan aku mau pakai baju begituan. Memalukan! Emangnya, cowok nggak bisa tertarik apa? Dengan gaya pakaianku yang biasa saja. Dasar Ibu tiri! Batinku kesal. 

Resleting tas kembali kututup. Bergerak bola mata ini menatap jam dinding yang sudah menunjukan pukul setengah delapan malam. 

Itu artinya, pria di dalam sana sudah mandi hampir setengah jam lamanya.

Dia itu mandi atau bersihin kamar mandi? Kenapa lama sekali. Biasanya aku mandi juga paling lama sepuluh menit. Lah, dia, sampai setengah jam belum ke luar juga. Mana lagi kebelet buang air kecil aku. 

Terpaksa. Aku bergerak menuju pintu yang tertutup. Sedikit mengetuk berharap Keynan bergegas menyelesaikan ritual mandinya. 

"Maaf, bisa lebih cepat nggak ya? Saya udah kebelet."

Agak malu mengatakan. Tapi terpaksa, karena yang di bawah sana sudah nggak bisa diajak kompromi.

Tak ada jawaban. Gemercik air juga tak lagi terdengar. Fix, pasti Keynan ketiduran. 

Tanganku mengepal. Mencoba mengetuk lebih keras. 

Tak lama, pintu terbuka lebar. Berbarengan dengan munculnya sesosok pria berambut basah, menguarkan aroma wangi shampo yang menghanyutkan. 

Keynan mengenakan baju tidur lengan panjang dengan handuk yang tersampir di tengkuk lehernya. Mirip Abang tukang bakso menurutku. Tapi sama sekali tidak mengurangi aura ketampanannya.

Sesekali, Keynan menyugar rambut ke atas. Membuatnya lebih terlihat modis, hidung bangir dengan bibir merah sensual serta alis tebal yang rapi, sangat cocok dengan kulitnya yang putih bersih. Mirip aktor di negeri Ginseng idolaku.

Hanya sekilas aku memandang. Namun pesonanya masih terasa meski aku sudah berada dalam kamar mandi.

Selepas buang air. Aku lekas kembali, untuk mengambil handuk di tas dan membersihkan diri.

Guyuran air dari shower terasa menyegarkan. Hampir seharian kulit ini tidak terpercik air sedikit pun. Keringat di badan langsung luruh bersama aliran air yang membawa juga penat yang mengendap.

Selesai membersihkan badan. Kaki kurusku menjejaki lantai tanpa alas kaki. Kulihat Keynan sedang duduk di atas ranjang. Pria itu lantas menoleh setelah mendengar derit pintu yang kubuka.

Tatapannya aneh, tumben sekali dia mau melihatku. Biasanya, hanya sekilas. Namun kali ini berbeda.

Aku merunduk. Mencoba mengartikan tatapan Keynan. 

Apa ada yang salah dengan bajuku? Hingga dia menatap seperti itu.

Tak lama, Keynan berdiri dan berjalan sempoyongan mendekatiku.

"Kamu kenapa?" tanyaku. Ia malah tersenyum lebar.

"Jadilah milikku seutuhnya malam ini. Mari kita tuntaskan semua hasrat yang sudah di puncaknya," cetus Keynan lalu mencengkram kedua pundakku.

"Lepasin! Pasti kamu lagi akting 'kan? Jangan macam-macam!"

Aku mundur, berusaha melepaskan tangan kekarnya yang enggan merenggang.

Keynan malah tertawa sumbang. Menyeringai bagai singa yang hendak menerkam mangsa. 

"Aku nggak akan pernah biarin kamu pergi lagi." 

Semakin aku mundur. Keynan malah semakin merangsek maju, mendekatkan wajahnya ke wajahku. Membuat deru napas yang berhembus hangat menyentuh kulit, memberi sensasi aneh di sana.

"Sadarlah, Key. Kau sedang kerasukan ya?" Aku mendorongnya lagi.

Ucapanku hanya dianggap angin lalu olehnya. 

Secepat kilat, Keynan melemparku dengan kasar ke atas ranjang. Lalu mengunci tanganku yang berada di atas kepala.

Jemari itu dengan beringas mulai membuka kancing baju tidurku satu-persatu. Sekuat tenaga aku berusaha berontak tapi sia-sia, tenaga ini tak sebanding dengannya yang makin berbuat semaunya sendiri.

"Lepaskan!" Aku berdesis seraya bergerak, mencoba mencari celah agar bisa menghentikan perlakuan Keynan yang kurasa bukan atas kemauannya sendiri. 

Dia seperti orang mabuk. Tapi anehnya, tidak tercium bau alkohol sama sekali.

Aku meringis. Air mata ini pun meniti di pipi. Ketika aku kalah dan menyerah pada pergerakan pria yang makin menjadi.

Sekilas, ekor mataku melirik ke arah nakas. Di sana tadi ada dua gelas berisi air putih yang sama-sama penuh. Tapi, sekarang satu gelas itu hanya tersisa setengah.

Apa jangan-jangan Ibu sudah memberikan obat perangs4ng di gelas itu? Dan diminum oleh Keynan?

Tunggu, ini semua bukan bagian dari rencanaku. Aku telah melarangnya. Dan juga, bagaimana cara Ibu memasukan obat itu? Kok bisa? 

"Keynan, kumohon lepaskan aku. Kau boleh meminta hakmu. Tapi tolong lakukan itu atas dasar kemauanmu sendiri. Bukan secara brutal seperti ini," ujarku memelas. Berharap ia akan menghentikan aksinya.

"Hanya dengan cara ini, kita akan bersatu selamanya, aku mencintaimu Nadia …."

Cup!

Sebuah kecupan mendarat di bibir ini. Membungkam segalanya, bukan hanya kata yang ingin mengutara. Melainkan pedihnya rasa ketika digauli tanpa cinta. Dan … sebait nama wanita lain yang diucapkannya, sukses mencetak luka hati juga diri atas malam penyatuan ini.

Aku menyerah, membiarkan tubuhku dijamah. Meski harus dengan rintik air mata terus membasahi.

"Balas perlakuanku, Nad. Jangan diam saja," bisiknya lembut. Membuat tangisku tertahan karena sakit di area sana mulai menyerang.

Pedih ….

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status