Share

Bab 2 Pedih

Pedih Yang Merajai

Bab 2

Pedih … sepatah kata yang mewakili rasa. Menorehkan kenangan tak terlupa. Melukiskan sejarah disentuh tanpa cinta. Aku … kehilangan mahkota yang kujaga dua puluh tahun lamanya. Bukan kemauanku seperti itu, namun keadaan yang memaksa membiarkan semua terjadi begitu saja.

Sembabnya mata, membuat kantuk menyerang dibersamai lelah yang mendera. Tubuhku lemas seolah tak bertenaga. Untuk mengambil atasan piama yang terlempar ke lantai pun rasanya berat sekali.

Pria di sampingku terlelap lebih dulu. Dengan posisi tengkurap di bawah selimut tebal yang membungkus tubuh bulatnya tanpa sehelai benang. Mata ini memejam dengan sendirinya, menyelam ke alam mimpi. Berharap esok pagi sakit ini segera sirna setelah membuka mata.

*

Kurasakan ada yang bergerak di atas dada. 

Mata yang masih berat terpaksa terbuka. Sebingkai wajah menyambut, ia tersenyum. Tapi sedetik kemudian wajahnya berubah kaget.

"Ka-kamu, kenapa kita tidur seranjang? Apa yang terjadi semalam?" tanya Keynan beruntun. Ia cepat terduduk serta menarik selimut dan melilitkan di tubuhnya.

"Lupakan saja, caramu semalam benar-benar brutal," jawabku enteng. Seperti tak terjadi apa-apa. Padahal sakitnya masih terasa sampai sekarang.

Ditambah beberapa titik noda darah yang telah mengering di sprei. Membuat luka batinku sesungguhnya kembali menganga. Nama wanita itu terus terngiang di kepala meski aku tak mengenalnya. Memberi kesan seolah aku hanya wanita pemuas napsu belaka. Bukan aku terlalu penyepele, tapi … wanita mana pun juga akan merasakan hal yang sama. Nelangsa, ketika dia bersamamu tapi hatinya di tempat lain.

"Apa aku telah melakukan hal itu padamu?"

Netra Keynan mengarah pada titik noda itu. Kemudian menatapku yang duduk dengan kaki tertekuk sembari kudekap dalam pelukan.

"Kau masih tidak mau mengakui perbuatanmu padaku? Aku nggak nyangka sih, ternyata kamu seagresif itu. Padahal, awalnya kamu cuek banget kan sama aku. Yah wajar sih, lelaki memang begitu. Malu mengakui namun suka pada kenikmatannya." Aku tertawa. Tentu dengan paksa, beda dengan perasaanku yang sesungguhnya sakit mengatakan ini.

"Nggak! Ini pasti ada yang salah. Aku nggak mungkin sejauh itu. Apalagi sampai melakukannya sama kamu. Ini nggak beres. Pasti kamu yang sengaja menggodaku 'kan?" tuduhnya menyudutkan. Tatapan mata itu membuatku naik pitam ingin mendaratkan bogeman di kepalanya. Agar otak lelaki itu bisa sedikit waras.

"Hah, aku ngegoda kamu? Coba ingat-ingat dulu, semalam aku pergi ke kamar mandi dan kamu udah ada di ranjang ini 'kan? Kamu yang memaksaku, melemparku ke kasur secara beringas. Seperti macan yang kelaparan," decihku lalu membuang muka. Saat ini, melihat gorden lebih bagus daripada melihat mukanya.

"Aarrgh!" Keynan mengerang. Diiringi helaan napas yang terdengar jelas. "maaf, jika aku tadi malam telah lepas kendali. Meski aku sendiri tidak sadar, tetapi aku sangat ingat sekali rasanya seperti apa." 

Aku mengerutkan dahi. Apa maksudnya?

"Rasa apa?" tanyaku penasaran.

"Rasa yang pernah ada." Ia tersenyum miring. Membuatku langsung memutar bola mata malas.

Sejenak kami saling diam. Keynan dan aku masih di tempat yang sama. Di atas spring bed tapi dengan jarak yang agak jauh. Kuperkirakan sekitar satu meter. 

Tak seperti pengantin baru pada umumnya, yang saling melengket seperti lem. Hal itu berbanding terbalik denganku dan Keynan. Kami seperti orang asing yang baru saja kenal. Sangat kikuk dan kaku. 

"Tiara …," panggilnya pelan. Tumben ia bicara lembut.

"Hem …." jawabku sekenannya. Aku merunduk, meski sesekali melirik.

"Jujur, aku belum siap untuk menikah. Kau tahu sendiri 'kan, kalau kita menikah atas dasar dijodohkan. Untuk itu, aku akan membuat perjanjian denganmu. Tentu ini akan sangat menguntungkan kamu dan keluargamu." Tatapan Keynan mulai serius.

Aku juga lekas membalas bidikannya. Hingga kedua manik mata kami saling beradu.

"Perjanjian apa?" tegasku.

"Em, kenapa aku mau acara ijab kabul kemarin digelar sederhana dan di laksanakan di rumahmu itu ada semua ada alasannya."

"Apa alasannya?" 

"Aku tak ingin orang-orang tahu kalau aku sudah menikah. Apalagi …."

"Apalagi dengan gadis miskin sepertiku. Iyakan?" Aku sengaja memangkas ucapannya. 

"Bu-bukan gitu. Aku … aku sudah punya kekasih. Aku nggak mau dia kecewa kalau tahu aku sudah mengkhianatinya," katanya. Bibir merah itu terlihat bergetar.

"Aku tidak peduli. Sekarang kamu suamiku, itu artinya kamu milikku. Apalagi, semalam kita sudah melakukannya. Sudah jelas 'kan bagaimana konsekuensinya sebagai suami istri," tandasku. Biarlah terlihat tegas, agar Keynan tidak berlaku seenak jidat sendiri.

"Tolong jangan egois kamu. Aku begini demi kebaikan kita. Kamu untung dan reputasiku aman. Kamu lagi butuh banyak uangkan untuk biaya rumah sakit Ibu kamu?"

Mendengar tentang Ibu. Aku langsung tercengang. Rasa rindu perlahan merambati.

"Aku akan membiayai pengobatan Ibu kamu. Dan semua hutang bapakmu juga aku yang akan melunasi. Tidak hanya itu, aku jamin hidup kamu akan serba kecukupan Tiara, berapapun uang yang kamu minta akan aku penuhi. Asal kamu merahasiakan pernikahan ini. Bersikaplah seolah kita tak kenal saat di luar rumah. Tapi kalau dalam rumah kita berteman, dan bersikap baik layaknya pasangan suami istri di depan orangtuaku. Bagaimana?"

Aku menimang-nimang penawarannya. Tidak buruk. Bahkan, terdengar sangat menggiurkan. Memanglah yang dibutuhkan saat ini cuma uang. Aku tidak perlu pinjam uang ke sana sini untuk membayar biaya perawatan Ibu. Lagipun, aku juga tidak mencintai Keynan. Jadi, tidak masalah kalau merahasiakan pernikahan ini.

"Deal!" ucapku lantang. 

Telapak tangan kuangsurkan. Keynan menyambut jabatan tanganku.

"Senang bekerja sama dengan Anda, Nyonya." Ia tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putih nan rapi.

Ternyata, Keynan tak seburuk yang kukira. Awalnya dia memang seram seperti monster, tapi lama-kelamaan lucu juga.

"Oke, deal ya. Sekarang cepetan kasih aku uang. Soalnya aku mau pulang ke rumah Bapak." 

Seusai saling menyudahi salaman. Tanganku masih terulur namun dengan telapak yang terbuka.

"Kamu mau pulang? Kenapa?!" 

"Aku mau menanyakan soal o …." Astaga! Hampir saja aku keceplosan soal obat perangsang itu. 

"Soal apa?" 

"Em … bukan apa-apa kok. Aku hanya ingin mengambil pakaian. Karena kemarin aku hanya membawa baju sedikit." Alibiku. Napas panjang langsung meluncur pelan. Rencanaku pulang ingin menanyakan pada Ibu atas ulahnya yang membuat semua ini terjadi.

"Oh, nanti aku anterin."

Wow, aku nggak nyangka kalau Keynan akan menawarkan itu padaku. Ada apa dengan dia? Kenapa bisa berubah lunak seperti ubur-ubur begini.

"Nggak usah, Key. Aku bisa pulang sendiri kok. Aku orangnya nggak suka ngerepotin orang." Aku meringis. Menolak dengan elegan.

"Bukan masalah direpotin. Kita baru kemarin menikah, kalau kamu pulang sendiri, orang rumahan bakal ngira kita lagi berantem."

Ya, kali ini ucapan Keynan benar. Lumayan juga sih kalau dia mau nganterin. Biar bisa sekalian pamer sama si Mayang adik tiri menyebalkan itu.

"Baiklah, aku nggak nolak kalau kamu maksa," kelakarku. Keynan bergeming.

"Ya udah, aku mandi dulu." 

Keynan pamit. Tak lupa membawa gulungan selimut yang masih membungkus tubuhnya.

Sembari menunggu Keynan mandi. Aku merapikan kamar, menyibak gorden lalu mematikan lampu dan mengambil sprei yang terkena noda semalam.

"Tiara …!"

Aktivitasku terhenti kala suara Keynan memanggil dari bilik kamar mandi.

"Ada apa?" tanyaku setelah mendekat di ambang pintu.

"Aku lupa nggak bawa handuk."

Aku terkekeh mendengarnya. Ternyata es Kutub juga bisa lupa. Kerjain ah, mumpung ada kesempatan.

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Mama Lana
seru thor, semangat...
goodnovel comment avatar
Fahmi
Aku terkekeh mendengarnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status