Share

Bab 23

Ambar menerima uluran tangan Diraja dan pria itu segera menggenggam erat tangannya. Membawa Ambar masuk ke dalam kediaman keluarganya. 

“Kamu nggak akan meninggalkan aku sendirian nanti di sana, bukan?” tanya Ambar dengan ragu. Hatinya kembali berdegup kencang karena memasuki wilayah asing dan juga situasi asing yang tak pernah Ambar temui sebelumnya. 

“Kita satu tim, Ambar. Aku nggak akan membiarkanmu kesepian malam ini,” jawab Diraja. 

Rumah megah keluarga Diraja sarat dengan gaya Jawa Kolonial yang fokus kepada barang-barang etnik yang mungkin berumur puluhan tahun. Bergandengan tangan, mereka berjalan melewati foyer dan ruang tamu langsung menuju ruang keluarga. 

“Diraja?” panggil seseorang dari dalam. Mereka berjalan menuju sumber suara dan ketika mereka sampai di ruang tamu, ruangan sudah berisi beberapa orang. 

“Bu, aku datang bersama Ambar,” sahut Diraja dengan tenang. 

 Seorang wanita paruh baya seumuran ibunya tersenyum sumringah tatkala melihat mereka tiba. 

“Oh, akhirnya kalian datang!” Ibu Diraja menangkupkan tangannya penuh semangat sebelum datang menghampiri Ambar dan memeluknya dengan erat kemudian dilanjutkan dengan cium pipi kanan-kiri. 

Ambar tersenyum kikuk dengan penyambutan yang antusias ini. 

“Kenalkan ini ibuku, Ibu Larasati Sudibyo,” Diraja mengenalkan ibunya kepada Ambar. 

“Ini Ambar, Bu.” Diraja meremas bahu Ambar dengan kasual. 

“Cantik sekali Ambar, Diraja beruntung bisa mendapatkanmu,” ujar Nyonya Larasati blak-blakan. 

“Ibu… jangan buat Ambar malu.” Di belakang Nyonya Larasati berdiri seorang pria kharismatik yang mungkin sebagai cetak biru Diraja dalam dua puluh tahun mendatang. 

Amir Sudibyo menatap Ambar dengan ramah dan mengulurkan tangannya, menjabat tangan Ambar dengan hangat namun kokoh, gaya khas para pemimpin. 

“Ayahku, Amir Sudibyo,” Diraja mengangguk ke arah ayahnya, dan kemudian menyebutkan kembali nama Ambar untuk dikenalkan kembali kepada ayahnya. 

Mereka sudah pernah bertemu beberapa bulan lalu. Dan pria kharismatik inilah yang mengungkapkan ide gila tentang rencana pernikahan antara Ambar dan Diraja. 

"Akhirnya kita berjumpa kembali, Nak Ambar. Senang kita bisa bertemu dalam suasana yang lebih akrab seperti ini," ujar ayahnya Diraja seraya menepuk pundak Ambar. 

"Terima kasih sudah menyambut saya," balas Ambar dengan sopan. 

Terakhir, ada satu perempuan yang begitu anggun tersenyum kepada Ambar sebelum akhirnya memeluknya dan mengecup pipinya. 

"Dan ini kakakku, Rengganis. Suaminya Prabu tidak bisa datang karena masih ada rakornas partainya." Diraja menjelaskan siapa orang terakhir yang menyapanya. 

"Ambar, welcome to the family! Senang sekali bisa bertemu denganmu, akhirnya aku punya saudara perempuan juga!" 

Rengganis menggenggam tangan Ambar dan tertawa renyah penuh bahagia. 

"Kamu menyembunyikan Ambar terlalu lama dariku! Astaga she's so stunning!" Rengganis berbicara kepada Diraja yang hanya membalasnya dengan tatapan datar khasnya. 

"Omg! You're such a babe, Ambar. Apa rahasianya bisa secantik ini? Apa treatment khusus untuk membuat wajahmu begitu glowing malam ini?"

Rengganis menggamit lengan Ambar dan menyebabkan tubuhnya menjauh dari dalam dekapan Diraja. Kakak Diraja yang begitu cantik dan elegan tersebut membawa Ambar masuk ke dalam ruangan dan mengajaknya mengobrol. 

Hal kecil seperti itu membuat Ambar menjadi lebih nyaman dan rileks. Rasa gugupnya perlahan terkikis dengan sikap easy going Rengganis terhadapnya. Meskipun perbedaan umur mereka cukup jauh. Bahkan lebih jauh dibanding perbedaan umur dirinya dengan Diraja. 

Ambar tertawa rikuh mendapati pertanyaan spontan dari Rengganis yang sukses membuatnya bersemu merah. 

"Mbak Rengganis terlalu berlebihan! Aku merasa biasa-biasa saja seperti perempuan seumurku. Mbak Rengganis yang justru terlihat begitu menawan," balas Ambar secara jujur. 

Ambar dan Rengganis meninggalkan Diraja di belakang. Mereka berdua berbincang santai seakan mereka adalah teman lama yang baru berjumpa kembali. Mungkin karena pembawaan Rengganis yang begitu ramah dan open, rasa gugupnya perlahan hilang dan akhirnya Ambar bisa dengan nyaman berbagi cerita dengan Rengganis. 

“Bagaimana dengan perjalananmu ke sini? Apa begitu macet?” Rengganis bertanya dengan atentif kepada Ambar. 

“Diraja menjemputku, jadi tidak masalah,” jawab Ambar sambil tersenyum kecil. 

“Kudengar kamu masih kuliah? Ambil jurusan apa? Bagaimana kuliahmu? Semua baik-baik saja kan?” Rengganis memberikan rentetan pertanyaan tentang perkuliahannya. 

Benar-benar sesi tanya jawab yang sesungguhnya. 

“Rengganis, beri waktu Ambar untuk beristirahat sejenak. Berikan minum dahulu sebelum kamu mulai menginterogasinya!” Nyonya Larasati menegur anak perempuannya dan hanya dibalas dengan ringisan dari Rengganis. 

“Oh, nggak apa-apa, kok Tante!” tukas Ambar. Dia menjadi tidak enak karenanya. 

“Ayo duduk dulu, Ibu sudah siapkan makan malam untuk kita bersama.” Ibunya Diraja menyusul Ambar dan Rengganis masuk ke dalam ruang makan besar yang menghadap langsung ke arah kolam renang besar dan asri karena dikelilingi oleh pepohonan dan tanaman hias cantik. Di pojok dekat tembok terdapat gazebo yang terbuat dari kayu asli dengan ukiran cantik dan juga lampu taman yang indah khas gaya kolonial. 

Rumah keluarga Diraja dan rumah dirinya bagai langit dan bumi, Ambar menyadarinya. Bagaikan tamparan dan ejekan yang menggema dalam diam. 

“Dan jangan panggil saya Tante, ah! Kamu kan sebentar lagi menjadi menantuku, panggil Ibu ya,” pinta Nyonya Larasati penuh harap. Ibu Diraja mengelus lengan Ambar perlahan dan menunggu komentar Ambar. 

“Iya, Bu…” ujar Ambar akhirnya. 

Senyum Ibu Larasati merekah lebar dan itu semakin membuat hati Ambar semakin tidak karuan. Rasanya segala perasaan berkecamuk di dalam hatinya di dalam pertemuan pertamanya dengan keluarga Diraja. 

Ambar disuguhkan dengan teh premium hangat yang dituangkan oleh asisten rumah tangga bersama dengan cake manis dan beberapa kudapan tradisional dari toko bakery kenamaan Pand’or

Meja makan panjang telah dihias dengan bermacam-macam bunga hidup yang mengeluarkan wangi floral yang halus namun mengukuhkan stereotype bahwa orang kaya makan malam dengan jajaran buket bunga. 

Suasana ini mirip ketika Ambar datang ke rumah Tante Angela dan makan malam di sana, atau terkadang jika menginap di rumah kakaknya. Meskipun karena rumah kakaknya hanya ada dua orang untuk saat ini tentu saja setting-nya tidak seformal dan semewah sekarang. 

Ambar benar-benar merasa dijamu dan sedikit demi sedikit rasa kepercayaan dirinya tumbuh. Dia dapat tertawa dengan lebih lepas dan menanggapi pertanyaan dari kedua orang tua Diraja dan juga kakaknya dengan lebih luwes. 

“Ayo, semua sudah disiapkan kita makan malam dulu sambil berbincang nanti,” ujar Ibu Larasati sambil menangkupkan tangannya dengan bahagia. Mereka berbincang sekitar 15 menit sebelum akhirnya Ibu Larasati meminta asistennya untuk menyiapkan makan malam. 

Om Amir Sudibyo memimpin doa sebelum makan dan ketika sudah selesai, beliau mempersilakan Ambar untuk mencicipi makan malam mereka. 

“Ini Ibu yang masak, khusus untuk kamu,” ujar Amir seraya menatap Ambar. 

Ambar mencicipi daging rendang yang disuguhkan dan mulai makan setelah semua memegang sendok garpu mereka dan menyantap hidangannnya. 

“Iya, rasanya enak,” ujar Ambar dengan tulus. 

Ibu Larasati tersenyum lebar mendengar pujian Ambar, dan menepuk pundak Diraja yang duduk di samping ibunya tersebut. 

“Ibu senang kamu membawa Ambar ke rumah, Ibu merasa bahagia calonmu Ambar, manis sekali bersanding denganmu,” ujar Ibu yang dibalas dengan anggukan kepala dari suaminya. 

Sedangkan Diraja, dia hanya diam menyantap makanannya. 

“Aku senang jika Ibu dan Ayah menganggapnya seperti itu,” ucapnya singkat. 

Sebuah statement yang mengganjal hati Ambar. Ucapan calon suaminya itu tak merepresentasikan apa yang sebenarnya Diraja rasakan pada dirinya. Tak ada ungkapan langsung kalau Diraja bahagia menjadi pasangannya. 

Ambar merasa dia diterima oleh semua orang di dalam ruangan ini, kecuali oleh satu orang. Diraja Sudibyo tidak membuka hatinya kepada Ambar. 

***

NOTES: 

Hello guys, ini aku jadikan free chapter ya, karena chapter 22 kemarin ternyata aku upload double yang seharusnya 1,1 kata menjadi 2,2 kata. Ini sebagai kompensasi untuk readers yang membaca dengan koin. 

Terima kasih atas dukungannya readers, 

Yuk pantengin terus cerita Ambar dan Diraja yang makin lama makin kompleks. 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
carsun18106
bener banget kt mba titis, hrs ada bibit2 pebinor utk menimbulkan rasa posesif dan cintanya diraja, dan bukan semata2 harga diri atau status pernikahan
goodnovel comment avatar
Titis Puji Lestari
emang ya si om diraja minta di jewer,awas aja nangis2 bombay kalo ada yg goda ambar,akito belum gerak nich n biantara juga kayaknya kalo dah ketemu pasti mulai goda2. ambar
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status