Share

BAB 7

Sophia mengejapkan mata begitu sinar matahari masuk melalui celah gorden, menelusup hingga mengenai wajahnya. Perlahan, mata Sophia terbuka, dia bingung di mana dirinya berada. Sedetik kemudian, Sophia mengingat apa yang terjadi. Dia berada di apartemen Edmund karena semalam pria itu memaksanya.

Dengan tubuh yang terasa lemah, Sophia duduk di ranjang dan melihat sekeliling kamar hingga matanya berakhir di meja rias. Keningnya berkerut mengingat di mana dia tidur semalam. Mata Sophia beralih pada tempatnya duduk, ranjang yang sangat empuk menjadi tempatnya tidur. Akan tetapi, dia segera melupakan keanehan itu saat mulutnya menguap lebar.

Tangan Sophia menggaruk kepala bagian belakang kemudian menoleh ke atas nakas, tepatnya pada sebuah jam. Matanya memelotot saat melihat angka pada jam. Ini adalah angka paling parah dari sekian kalinya Sophia kesiangan. Dengan cepat, Sophia menyingkap selimut dan berlari keluar dari kamarnya. Akan tetapi, dia langsung melupakan tujuannya. Sophia terkesima dengan apartemen Edmund yang begitu mewah. Kaki Sophia melangkah menjelajahi lantai dua, mulutnya terbuka saat Sophia berjalan menuju teras di mana terdapat taman dan kolam renang outdoor. Sophia lebih terkesima lagi saat ia bisa melihat pemandangan kota dari atas.

Apartemen yang mewah batin Sophia sambil mengangguk-anggukan kepala dan kembali ke dalam.

Saat mengingat Edmund, Sophia segera berlari pelan menuruni tangga. Matanya menjelajahi lantai satu sambil memanggil-manggil nama Edmund. Teriakan Sophia berakhir ketika melihat sebuah ponsel di atas meja makan.

Kaki Sophia mendekat ke arah meja makan, di mana sudah tersedia sandwich dan segelas susu di samping ponsel itu. Sophia mengaktifkan ponsel itu, keningnya berkerut saat foto dirinya menjadi wallpaper ponsel pink itu. Tiba-tina saja tubuh Sophia tersentak kaget saat ponsel itu berdering, nama Edmund rertera pada layar ponsel itu.

Dengan ragu Sophia menggeser layar ponsel untuk mengangkat panggilan itu. "Hallo," ucapnya pelan sambil menempelkan ponsel pada telinganya.

'Syukurlah, aku pikir kau masih tidur.' Edmund terdiam sejenak. 'Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Makanlah sandwich yang ada di atas meja, jangan lupa minum susunya,' lanjut Edmund dalam telpon.

Sophia menganggukan kepalanya seolah Edmund ada di depannya. "Baiklah."

'Ponsel itu untukmu, hubungi aku jika ada sesuatu. Mengerti?'

"Mengerti," ucap Sophia dengan pelan.

'Jangan pergi ke mana pun, tetaplah di apartemen sampai aku pulang.'

"Baik." Sophia berucap dengan malas, Edmund langsung menutup panggilan telponnya.

Setelah selesai dengan sarapannya, Sophia kembali ke kamar untuk membersihkan diri. Setelah itu dia membersihkan bagian-bagian kotor di apartemen milik Edmund. Tidak memerlukan waktu lama untuk membersihkannya, hanya dengan waktu singkat semuanya lebih rapi dari sebelumnya.

Sophia duduk di depan televisi sambil meminum jus limun segar dari dalam kulkas. Beberapa kali dia menekan remote televisi, mencari acara yang menarik. Desahan pelan keluar dari mulut Sophia sambil melempar remote dengan asal karena merasa bosan. Diam di apartemen seharian sama sekali bukan keahliannya.

Mata Sophia beralih menatap jam kemudian tersenyum sesaat sebelum naik ke kamar untuk memakai jaket. Sophia memutuskan untuk keluar dari apartemen sebentar. Senyuman lebar tercetak pada wajahnya begitu Sophia sudah menaiki taksi untuk menuju apartemennya yang lama.

*****

Kaki Sophia langsung berlari kecil saat menaiki tangga menuju apartemennya yang ada di atas. Dia datang untuk mengambil barang-barangnya yang mungkin masih bisa dipakai, mengingat Edmund sudah menyiapkam semua keperluannya. Meskipun begitu, Sophia rasa ada beberapa barang yang bisa dibawanya ke apartemen tersebut.

"Sophia, kaukah itu?"

Langkah Sophia terhenti ketika mendengar suara seseorang yang ia kenal. Perlahan dia membalikkan badan. Senyuman tercetak jelas pada wajah Sophia saat tetangganya mendekat.

"Kenapa kau kembali ke mari, Sophia?" Wanita tua yang menjadi tetangga Sophia selama beberapa bulan itu kembali bertanya dengan wajah yang heran.

"Ada apa memangnya, Mrs. Malloy ? Tentu saja aku kembali ke apartemenku," ucap Sophia dengan nada bicara sedikit naik, merasa aneh dengan tatapan yang diberikan oleh lawan bicaranya.

"Tapi bukannya apartemenmu sudah ditempati orang lain, Sophia?"

"Ditempati orang lain?!" Mata Sophia memelotot terkejut dengan ucapan Mrs. Malloy.

"Ya, kemarin sore beberapa orang datang membawa barang-barang milikmu. Saat aku bertanya pada salah satu dari mereka, katanya kau pindah ke apartemen suamimu," jelas Mrs. Malloy dengan mata tidak lepas dari wajah Sophia yang mulai tersenyum tidak percaya.

"Oh iya, aku lupa. Permisi, Mrs. Malloy,"ucap Sophia kembali berjalan menuruni tangga dengan perlahan, raut wajahnya memperlihatkan Sophia sedang berpikir keras. Tentu saja memikirkan apa yang dikatakan oleh Mrs. Malloy.

Mengurungkan niatnya untuk mengambil barangnya yang masih bisa terpakai. Memikirkan seseorang yang mengaku suaminya, Sophia yakin orang itu adalah Edmund.

Kaki Sophia tidak berhenti berjalan hingga sampai di pet shop tempatnya bekerja. Mulut Sophia terbuka lebar saat melihat tulisan sold out pada pintu depan toko itu. Rasa aneh mulai menyelimuti Sophia. Dia mendekat ke arah kaca toko, membungkuk dan mengintip ke dalam. Barang-barang dalam toko itu kini tidak ada lagi dan semakin membuat Sophia semakin heran. Dia menegakkan kembali tubuhnya dan mengambil ponsel pemberian Edmund dari dalam saku celananya. Helaan napas keluar dari mulut Sophia saat mengingat bahwa dia tidak memiliki nomor ponsel Gunner. Dia memasukkan kembali ponsel ke dalam sakunya,  dan mengurungkan niat untuk menyampaikan pengunduran dirinya di pet shop ini. Akhirnya pagi ini Sophia pergi ke rumah sakit untuk mengunjungi Martina. Sebelum datang ke rumah sakit, dia mampir ke toko kue tempatnya bekerja. Dia ke sana juga untuk menyampaikan pengunduran dirinya di toko roti itu, sesuai dengan perintah Edmund yang menyuruhnya untuk berhenti bekerja.

Sebenarnya Sophia tidak biasa hanya duduk manis tanpa melakukan pekerjaan apa pun, dia ingin tetap bekerja di tempat terdahulunya. Namun, untuk saat ini Sophia belum berani menentang Edmund. Tubuhnya beberapa kali bereaksi ketakutan saat Edmund berdekatan dengannya. Ingatan saat Edmund memperkosanya masih terpatri jelas dalam pikiran. Berulang kali Sophia mencoba menghapus ingatan itu, tapi tidak semudah itu. Semuanya butuh proses.

"Sophie!" Sophia menghentikan langkah ketika seseorang memanggilnya.

"Ada apa, Dokter?" Sophia bertanya dengan nada pelan, menatap dr. Allarcik yang masih mengatur napas setelah berlari. Tubuhnya sedikit membungkuk menahan rasa lelah.

"Kenapa kau … tidak … datang kemarin sore?" Suara dr.Allarick terputus-putus. Tangannya membenarkan letak rambut sebelum berdiri tegak menatap Sophia.

"Memangnya kenapa? Sesuatu terjadi pada nenekku?" Raut wajah Sophia berubah menjadi khawatir.

"Tidak, Sophie. Nenekmu kemarin menjalani operasi," ucap dr. Allarick dengan suara yang sudah normal kembali. Menatap wajah Sophia yang masih belum menghilangkan raut wajah khawatirnya.

"Operasi? Operasi apa?"

"Transplantasi hati, itu membuat kondisi Ny. Martina jauh lebih baik dari sebelumnya. Semua ini berkat kau," ucap dr. Allarick  sambil menepuk pundak Sophia.

"Puji Tuhan, terima kasih. Berapa biaya yang harus aku bayar, Dok ?" Wajah bahagia tercetak jelas pada wajah Sophia. Sinar matanya kini menunjukkan harapannya telah kembali.

Dr. Allarick menggelengkan kepala. "Kau tidak perlu membayarnya, Sophie. Tuan Edmund D'allesadro membebaskan semua biaya untuk pengobatan nenekmu," ucapnya dengan senyuman kecil menghiasi.

Namun, wajah Sophia tidak memperlihatkan raut kebahagiaan saat dr.Allarick memberitahu siapa yang bertanggung jawab untuk neneknya. Mata Sophia malah menatap kosong, seakan memikirkan sesuatu dengan sangat keras.

"Apa kau baik-baik saja, Sophie?" Tangan dr. Allarick terulur, menyentuh bahu Sophia yang membawanya kembali dari kesadaran.

"Y-ya, aku baik-baik saja. Di mana nenekku sekarang, Dok ?" Mata Sophia beralih menatap mata sang dokter.

"Masih di lantai atas. Dia masih belum sadarkan diri," ucap dr. Allarick menutup percakapan mereka. Sophia langsung berpamitan untuk menemui Martina.

Beberapa jam berlalu dan tidak terasa hari sudah sore. Sophia diam menemani Martina sepanjang hari. Matanya menatap seseorang yang sangat berharga untuknya, seseorang yang selalu dijadikan alasan Sophia agar dirinya tetap hidup. Tatapan Sophia beralih pada perutnya yang datar, hatinya merutuki dirinya sendiri yang pernah berniat menggugurkan kandungannya. Pikiran Sophia berkelana, ia mengingat lagi perkataan mediang ibunya bahwa semua anak membawa keberuntungan, dan akhirnya sekarang Sophia merasakan keberuntungan itu.

Perasaan Sophia pada Edmund sedikit berubah. Dia sangat berterima kasih pada orang yang telah menyelamatkan nyawa neneknya. Sekarang yang harus Sophia lakukan hanyalah menghapus sedikit demi sedikit ingatan menakutkan saat Edmund memperkosanya. Dia merasa tidak ada yang dirugikan dalam hal ini, antara dia dan Edmund adalah sebuah hubungan yang saling menguntungkan. Edmund mendapatkan bayinya dan Sophia bisa menyelamatkan orang terkasihnya.

Suara dering ponsel menyadarkan lamunan Sophia. Dengan cepat, dia merogoh saku celana dan mengambil ponsel. Menghela napasnya berat sebelum menerima panggilan dari Edmund.

"Halo," sapa Sophia.

“Di mana kau? Bukankah sudah kubilang diam di apartemen?!” Terdengar  suara Edmund sedikit membentak dari seberang sana, membuat Sophia menjauhkan sesaat ponsel itu dari telinganya.

Dia berdecak kemudian menempelkan kembali ponselnya. "Aku di rumah sa—"

“Mommy menunggumu di apartemen dari tadi siang. Tidakkah kau punya sopan santun?!” Suara Edmund semakin meninggi, otomatis tangan Sophia meremas ujung baju.

"Benarkah?"

“Sekarang pulang!”

***

IG : @ALZENA2108

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status