Share

BAB 8

"Astaga, aku lupa menanyakan kode apartemennya." Sophia mendengus kesal begitu sampai di pintu apartemen.

Tangan Sophia terus menerus menekan angka yang salah, semakin lama rasa marahnya semakin bertambah. Sebelumnya Sophia sudah menekan bel berulang-ulang, tapi tidak ada jawaban dari dalam.

Tiba-tiba saja seseorang memegang tangan Sophia yang sedang menekan kode kemudian tubuh seseorang itu mengurung tubuh kecil Sophia dari belakang. Tangan itu menekan kode dengan benar hingga membuat Sophia penasaran siapakah orang itu. Sophia membalikan badannya untuk mengetahui siapa orang itu dengan bahu kanan yang bersandar pada pintu. Mata Sophia langsung bertatapan dengan mata biru safir milik Edmund.

Beberapa saat, Sophia terpana dengan mata Edmund, menikmatinya dengan punggung bersandar pada pintu. Sementara Edmund mengerutkan keningnya heran mendapat tatapan seperti itu, tangan Edmund yang memegang knop membuka pintu secara tiba-tiba. Membuat Sophia yang sibuk menikmati wajah Edmund harus terjatuh ke belakang akibat pintu terbuka.

"Aduh." Sophia memegang pinggul yang terasa sedikit sakit. Ditatapnya Edmund yang masih memperlihatkan wajah datar sambil berdiri di ambang pintu.

"Ya Tuhan, Sophie!" Rose berteriak saat melihat Sophia terlentang di atas lantai. Kaki Rose berjalan cepat mendekati Sophia untuk membantunya berdiri.

"Apa yang kau lakukan, Ed? bayimu bisa celaka!" bentak Rose sambil menatap tajam Edmund setelah membantu Sophia berdiri. Akan tetapi, Edmund tidak menjawab sepatah kata pun. Dia pergi menuju kamar begitu saja, meninggalkan ibunya yang sedang menahan amarah yang hampir meledak.

"Kau tidak baik-baik saja, Sophie? Apa perutmu sakit?"

Sophia menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan terakhir Rose. Dia mendesah lega ketika pantatnya menyentuh sofa yang empuk. Mata Sophia menatap Rose seakan berterima kasih padanya. "Aku minta maaf, Mom. Sophie tidak—"

"Tidak apa-apa, Sophie. Mom hanya ingin memberitahumu kalau kita akan fitting baju pengantin besok. Lagi pula, Mom datang untuk ikut beristirahat di sini," ucap Rose memotong perkataan Sophia.

"Besok?" Sophia bertanya kembali, mencoba memastikan apa yang diucapkan Rose benar. Wanita itu mengangguk sebelum akhirnya Rose mengambil ponselnya yang berbunyi

"Mom harus pergi, Sophie. Sesuatu terjadi. Tidak apa-apa kalau Mom tinggal?"

Sophia mengangguk membenarkan ucapan Rose. Wanita itu membawakan Sophia segelas susu hangat sebelum pergi. Dia mengambil tas kemudian mencium kedua pipi Sophia. Helaan napas keluar dari mulut Sophia, dia senang calon ibu mertuanya tidak marah sama sekali.

"Oh ya, tolong pastikan Edmund makan malam, Sophie." Sophia melihat ke pintu apartemen yang kembali terbuka, menampilkan kepala Rose yang mengintip dari luar. Sophia mengangguk dan membuat Rose mengacungkan jempolnya lalu kembali menutup pintu.

Sophia pergi ke dapur dan mengecek isi kulkas. Terdapat berbagai jenis sayuran, daging dan buah-buahan. Sangat jarang sekali melihat kulkas penuh di apartemen seorang pria lajang. Sophia mulai berkutat di dapur dengan bahan-bahan yang berada di kulkas. Dia akan membuat makanan untuk makan malam.

Dengan penuh kehati-hatian Sophia memotong-motong sayuran dan daging dengan cepat. Ia memilih untuk memasak taco, stick ayam dan kentang panggang. Sophia membutuhkan waktu hampir satu jam untuk menyiapkan makam malam. Setelah semuanya sudah tersaji, Sophia pergi ke kamarnya untuk mandi terlebih dahulu.

Selesai mandi, Sophia turun ke bawah, memastikan Edmund sudah memakan makanan yang ia buat. Namun dia salah, di sana tidak ada Edmund sama sekali. Kaki Sophia melangkah menjelajahi lantai satu untuk mencari Edmund. Saat tidak menemukan pria itu di lantai satu, baru Sophia menyimpulkan bahwa Edmund masih berada di dalam kamarnya.

Mulut Sophia mengeluarkan suara desahan malas dan kembali menaiki tangga menuju kamar Edmund. Tangan Sophia mengetuk beberapa kali pintu itu, tetapi sayangnya tidak ada sahutan sama sekali dari dalam.

"Makan malam sudah siap, Ed," ucap Sophia sambil mengetuk kembali. Masih belum ada jawaban sama sekali. Sophia kesal dan mencoba membuka pintu itu.

Mulut Sophia terbuka karena ternyata pintunya tidak dikunci oleh pria itu. Perlahan kepala Sophia yang masuk terlebih dahulu sebelum anggota badannya yang lain masuk ke dalam kamar itu. Kening Sophia berkerut ketika melangkah mendekati ranjang, dia terkejut saat melihat sekeliling kamar Edmund. Banyak pecahan kaca berserakan di mana-mana yang berasal dari pigura-pigura. Sophia mencoba melihat salah satu foto yang tergeletak di atas lantai. Tangannya terulur mengambil foto yang ada di antara pecahan kaca. Sophia kembali berdiri sambil memegang foto Edmund bersama seorang wanita sedang berada di pantai, keduanya saling memeluk satu sama lain. Wajah wanita itu sama dengan foto yang Sophia lihat di kantor Edmund. Hati Sophia bertanya-tanya, siapa sebenarnya wanita ini.

"Tidak sopan masuk tanpa izin."

Sophia tersentak kaget. Dia membalikkan badan. Di sana, Edmund baru keluar dari kamar mandi dengan memakai handuk yang melilit di pinggang dan rambut yang basah. Sophia memejamkan mata saat sadar bahwa dia terus menatap tubuh Edmund. Dia mundur perlahan sambil meraba-raba mencari pintu keluar.

"Kenapa kau menutup mata?" Edmund bertanya dengan kening yang berkerut. Ia terdiam di tempatnya sambil tetap menatap Sophia yang bertingkah aneh.

"Apa yang sebenarnya sedang kau la—"

"Aaw!"

Perkataan Edmund terhenti saat Sophia tiba-tiba menjerit. Perlahan Sophia membuka mata dan melihat kakinya berdarah terkena pecahan kaca. Edmund mengikuti arah pandangan Sophia. Dengan cepat, ia menghampiri Sophia dan menggendongnya untuk didudukkan di tepi ranjang. Edmund segera mengambil kotak P3K dari dalam laci, berjongkok tepat di hadapan kaki Sophia dan segera mengobati kaki yang terluka itu.

Edmund sedikit panik begitu melihat darah yang mengalir semakin banyak hingga melupakan dirinya yang hanya memakai handuk saja. Dengan penuh kehati-hatian, dia mencoba mengambil pecahan kaca yang menancap pada kaki Sophia.

"Aaw!" Sophia menjerit  ketika Edmund berhasil mengambil pecahan kaca yang menancap di kakinya. Dia mengigit bibir bawah saat pria itu menekan lukanya dengan kapas.

"Bisakah kau lebih berhati-hati?" Edmund menaikkan nada bicaranya, tangannya tidak berhenti mengobati kaki Sophia.

"Bisakah kau memakai baju?" Suara Sophia melemah karena Edmund mulai melilitkan perban pada kakinya yang terasa berdenyut.

"Bisakah kau mengetuk pintu?" Edmund yang sudah selesai memandang wajah Sophia dari bawah, mata Sophia segera berpaling ketika tatapan mereka bertemu.

"Aku sudah mengetuk, tapi kau tidak menjawab," ucap Sophia sambil menatap ke arah lain.

Edmund berdiri dari tempatnya, kembali memasukkan kotak P3K ke dalam laci. Kakinya melangkah menuju walk in closet, memakai baju sambil mengeringkan rambutnya. Sementara Sophia mencoba berdiri untuk keluar dari kamar Edmund, tapi rasa sakit masih menyerang kakinya. Pantat Sophia kembali duduk, menunggu sambil memainkan ujung baju yang ia pakai.

Sophia tersentak kaget ketika Edmund tiba-tiba menggendongnya tanpa permisi kemudian berjalan keluar dari kamar yang di penuhi pecahan kaca itu. Sophia tidak bisa berbuat apa-apa, tangannya hanya bisa memeluk leher Edmund dengan erat. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut keduanya.

Mata Edmund fokus ke depan, sementara mata Sophia fokus wajah pria itu. Dia terpana sesaat dengan wajah tampan itu. Rahang yang kokoh di selimuti bulu-bulu halus, mata biru safir yang tajam serta lesung pipi yang sering Sophia lihat ketika berbicara membuatnya terpesona. Namun, rasa kagum itu selalu pudar saat Sophia mengingat apa yang Edmund lakukam padanya. Berulang kali Sophia berusaha menghapus ingatan itu dan menuliskan kebaikan yang Edmund lakukan. Sayangnya, tidak semudah yang di bayangkan, semuanya butuh proses.

Saat Edmund menurunkannya di kursi, membuat Shopia tersadar dari lamunannya.

"Terima kasih," ucap Sophia ketika keduanya sudah duduk berhadapan di meja makan.

"Untuk?" Edmund menaikkan alis sambil menatap Sophia.

"Untuk transplantasi nenekku." Sophia balas menatap mata Edmund, memberanikan diri agar ingatan buruk tentangnya terlupakan.

"Dan?" Sophia mengerutkan keningnya bingung saat Edmund mengeluarkan satu kata dengan tatapan menggoda.

"Dan untuk kakiku," ucap Sophia sambil tersenyum. Melihat itu, Edmund juga ikut tersenyum sambil memalingkan wajah ke samping.

***

Sophia terbangun dari tidur nyenyaknya. Dia merasa tenggorokannya amat kering dan memutuskan turun ke bawah untuk minum. Shopia berusaha menahan rasa sakit di kaki saat turun dari tempat tidur. Dengan langkah yang tersendat-sendat, dia berhasil mencapai dapur dan meneguk dua gelas air putih. Setelah merasakan kesejukan di tenggorokan, kakinya kembali melangkah menaiki tangga untuk kembali ke kamar. Namun, Sophia mengurungkan niatnya membuka pintu kamar saat melihat seseorang sedang berdiri di teras lantai dua sambil memandang kota. Entah mengapa Sophia berjalan menghampiri orang itu.

Edmund menoleh ke belakang saat menyadari ada seseorang yang mendekat. "Kenapa kau tidak tidur?" Suaranya sangat halus seperti tertelan angin.

"Aku haus, kau sendiri?"

Edmund tidak menjawab pertanyaan Sophia. Dia malah membalikkan badan, kembali memandang kota Los Angeles yang dihiasi jutaan lampu. Merasa tidak dianggap, Sophia hendak kembali ke kamarnya, tetapi tangan pria itu menahan pinggangnya. Sophia  memandang tidak suka pada Edmund saat tangan itu tidak lepas dari pinggangnya.

"Berhenti menatapku seperti itu," ucap Edmund melepaskan tangannya dari pinggang Sophia.

Keduanya terdiam dalam lamunan masing-masing, menatap kota indah Los Angeles di malam hari. Hanya suara angin yang sesekali datang memecah keheningan. Tangan Sophia memeluk dirinya sendiri saat angin menerpa tubuhnya. Suara lirih Sophia membuat Edmund mengalihkan pandangan pada perempuan itu, menatapnya yang sedang kedinginan. Tanpa permintaan siapa pun, Edmund membuka mantel yang membalut tubuhnya. Memakaikannya pada Sophia dengan tiba-tiba.

"Apa yang kau lak—" Kalimat Sophia terputus saat Edmund memaksanya untuk memasukkan tangan ke dalam mantel.

"Kembalilah ke dalam jika kau merasa dingin," ucap Edmund sambil membenahi rambut Sophia yang berantakan.

"Tidak mau." Sophia kembali menatap indahnya kota. Aroma tubuh Edmund menguar dari mantel yang Sophia kenakan, membuatnya mendesah pelan karena aromanya begitu menenangkan.

"Bagaimana keadaannya?"

Sophia mengalihkan pandangannya pada Edmund saat pria itu bertanya. Tatapannya mengikuti arah pandangan pria itu; perutnya yang masih datar.

"Baik-baik saja," ucap Sophia melingkarkan salah satu tangan pada perutnya yang masih datar.

"Besok aku akan menyewa pembantu untuk membantumu di sini."

"Pembantu? Tidak perlu, aku bisa melakukannya sendiri." Sophia berucap sambil menatap mata Edmund.

"Kakimu sakit bukan? Lagi pula Mom bilang kau tidak boleh kelelahan."

"Aku tidak kelelahan. Sungguh. Kakiku juga mulai membaik. Aku akan semakin bosan diam di sini terus tanpa melakukan apa pun," ucap Sophia mencari-cari alasan agar Edmund membatalkan niatnya.

"Baiklah, terserah padamu." Edmund mengalihkan pandangannya, kembali menatap ke depan.

"Tapi, Ed, bolehkah aku bekerja?"

"Tidak!" Suara Edmund meninggi sambil menatap wanita itu kesal. Perempuan itu hanya diam dan menundukkan kepala.

Keheningan kembali menyelimuti keduanya. Edmund menatap kembali ke depan, sementara Sophia memainkan kuku jarinya. Dia ingin masuk ke dalam, meninggalkan Edmund yang baru saja membentaknya. Namun, kaki Sophia seakan kaku, tidak ingin beranjak dari sana.

Sophia sudah terbiasa bekerja dengan keras tanpa mengenal waktu. Dia tidak pernah menghiraukan rasa lelah. Hal itulah yang membuatnya merasa aneh sekarang, dia malah merasakan pegal saat tidak bekerja sama sekali. Diam dan makan hanya akan membuatnya bertambah bosan.

"Ngomong-ngomong kenapa banyak pigura hancur di kamarmu?" Sophia bertanya untuk memecah keheningan. Ditatapnya Edmund, berharap mendapatkan jawaban, tapi ternyata pria itu malah menatapnya dengan tajam.

Sophia yang terkejut mendapat tatapan seperti itu mundur satu langkah. Dia mengira kalau Edmund akan bergerak mendekatinya, tetapi pria itu malah melangkah meninggalkan Sophia seorang diri di teras. Tanpa berkata apa pun, Edmund berjalan sendirian, membuat Sophia mengerutkan keningnya heran.

"Apa yang terjadi dengannya?" Sophia bergumam sambil membalikkan badan, berniat kembali ke dalam menyusul Edmund yang sudah menghilang dari penglihatannya.

Perlahan Sophia melangkahkan kembali kakinya, saat terasa sakit, dia terdiam sebentar sambil memegangi lututnya. Angin kembali menerpa tubuh kecil Sophia, membuatnya bergegas untuk masuk ke dalam.

Tanpa diduga, kaki Sophia berdenyut lebih sakit dari sebelumnya hingga membuat perempuan itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh tepat ke dalam kolam renang.

Sophia yang tidak bisa berenang terus meronta meminta pertolongan. Suaranya tertelan oleh air. Dia terus bergerak tidak keruan di dalam air, mencoba menggapai udara saat pasokan oksigennya menipis. Sebelum Sophia benar-benar berhenti meronta, dia memanggil-manggil nama Edmund dalam hatinya. Berharap Tuhan menolongnya lewat pria itu. Hingga akhirnya, Sophia tahu kalau Edmund tidak datang saat kesadarannya telah hilang.

---

Ig : @alzena2108

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status