Sekian lama terabaikan, es krim yang berada di genggaman tangan Chloe pun mencair. Meluncur jatuh ke atas aspal tepat di depan sandal flip-flop yang dia pakai. Nyaris mengenai jari-jari kakinya. Namun, Chloe tidak terlalu mempedulikan itu, karena apa yang kini berada di depannya jauh lebih menjadi masalah. Setidaknya itu yang Chloe pikirkan.
Berniat untuk berlari pergi, tapi tidak mungkin. Sudah tertangkap basah saling bertatapan. Terlebih ketika Chloe tahu kalau lelaki di depannya sudah lebih dulu bergerak mendekat. Itu artinya mau tak mau dia harus menyambut kehadiran Juan.
Kini Juan sudah berhenti tepat di depannya. Jari-jari tangannya dijejalkan ke dalam celana denim yang dia kenakan. Kaus oblong putih polos yang membaluti tubuhnya, lebih membuatnya tampak cer
“Kalau lo setuju, lo jahat banget, Ju.”Juan masih belum bisa memutuskan. Entah kenapa permintaan dari Chloe barusan seperti sebuah permintaan yang teramat sulit untuk disetujui.“Lo sadar ngga, sih, kalau barusan lo udah buat hati dia sakit? Jangan malah makin dibuat sakit lagi dengan lo terima permintaannya dia.”Terlebih lagi seseorang yang berada di sampingnya sejak tadi ini begitu rewel memberi masukan yang sebenarnya tidak perlu. Sudah pusing dihadapi mahasiswa yang tiba-tiba saja mengakui perasaan padanya, lantas masih harus ditambah pusing lagi dengan kalimat-kalimat Alex yang semakin menyudutkannya. Mengisyaratkan seakan-akan Juan-lah yang paling jahat di sini. Lagi pula, kenapa juga Alex mesti kembali menemui Juan usai mengantar arwah yang dijemputnya? Pasti karena ada Chloe.
Juan menanggapi panggilan itu dengan memutar kepalanya ke belakang. Di sanalah dia menemukan seorang pria paruh baya berkemeja panjang kotak-kotak, bercelana jeans, dan berambut tipis—dengan beberapa helai rambut beruban mencuat di sela-sela rambut hitamnya—tengah berdiri menghadap dirinya dan Chloe.“Oh,” ujar Tuan Edgar singkat. Seakan dengan melihat Juan, tanda tanya yang sempat muncul di kepalanya seketika terjawab.Juan kembali menatap Chloe. Memberi isyarat pertanyaan ‘siapa?’ padanya, tapi reaksi dari perempuan di depannya itu hanyalah memandang si pria paruh baya sambil tersenyum ganjil.Chloe berjalan melewati Juan. Bola mata Juan pun bergerak mengekori langkah Chloe.
“Kalian berdua bicara apa aja?” tanya Tuan Edgar membuka percakapan sedetik setelah Chloe menutup pintu mobil.“Apa, sih, Papa. Kepo!” cetus Chloe tak senang. Memasang sabuk pengaman, lalu menyandarkan punggungnya. Mencoba merilekskan lagi tubuhnya usai dipaksa bertingkah seenaknya di depan seorang dosen.Jujur saja Chloe sebenarnya tidak berniat bicara ataupun bersikap seperti itu pada Juan, tapi kalau tidak begitu pasti dia akan mulai menyalahkan diri sendiri, mengurung diri sepanjang waktu, kalau perlu menangis sejadi-jadinya. Chloe tidak ingin lagi kelihatan lemah di hadapan siapa pun, terutama Juan. Lelaki itu selalu saja menemukan dia ketika sedang tidak dalam situasi yang baik. Sesekali Chloe ingin Juan melihatnya dalam sosok yang kuat dan tegar sewaktu sedang dihadapkan dengan masalah. Masalah apa pun, tak terkecuali masala
Aneh rasanya bercerita pada papanya sendiri perihal pengakuan perasaannya pada Juan. Tuan Edgar saja sampai melebarkan mata dan memutuskan untuk tidak memberi komentar apa pun dalam waktu yang cukup lama. Mengetahui anak perempuan satu-satunya dengan berani menyatakan perasaan pada seorang dosen, selain bisa disebut berani, juga bisa disebut terlalu nekat.“Papa ngga perlu susah-susah rangkai kalimat buat balas ucapan aku,” ujar Chloe menebak apa yang tengah Tuan Edgar pikirkan. Papanya itu memang sedang sibuk mengubrak-abrik isi kepalanya untuk menemukan kata-kata yang pantas untuk bisa dilontarkan. Jangan sampai komentarnya justru semakin membuat Chloe terjatuh dan kehilangan rasa percaya diri.Tuan Edgar memutar kemudinya ke arah kanan jalan.“Chloe, menurut Papa ngga masalah kok kalau kam
“Chloe, Papa tunggu di mobil, ya!”“Iya, Pa, sebentar lagi!” Chloe membalas teriakan papanya dengan tak kalah kencang.Hari ini seperti hari baru. Pergi dari rumah sendiri dan menetap dalam waktu yang cukup lama di asrama Seirios—tempat dimana semua permasalahan berawal. Tidak rela rasanya tiga hari berlalu begitu cepat, tapi kerinduan Grace sudah memanggil-manggil Chloe untuk segera kembali.Semalam Grace menelepon. Secara tersirat mengatakan kalau dia merindukan Chloe. Bercerita juga soal dia yang sedang berjalan-jalan sendirian menuju lapangan basket di siang hari hanya untuk melepas penat. Namun, malah tidak sengaja melihat Juan keluar dari asrama dosen dan pergi dengan mobilnya. Chloe tidak aneh dengan itu. Setiap orang punya agendanya masing-masing. Yah, paling t
Oh, please. Tidak lagi, Pak Juan. Batin Chloe memohon.“Ide bagus itu,” cetus Tuan Edgar. Membangkitkan rasa ketidakpercayaan Chloe.“Pa ….”“Biar dia ngga perlu bermalam di luar lagi, karena katanya besok ada kuliah pagi.”“Papa!”Sontak keduanya, baik itu Juan maupun Tuan Edgar, menoleh kilat. Dua orang security di dalam pos jaga pun juga sampai mendelik saking kagetnya dengan pekikan Chloe.“Ah …, Chloe, ngga apa-apa, kan? Kelihatannya Pak Juan juga ngga keberatan. Biar ka
“Woy! Bengong aja,” seru Grace membuyarkan lamunan Chloe. “Ayo, udah mau sampe.”Grace perlahan berdiri dari kursi bus. Dahi Chloe yang tadinya menempel lekat pada kaca jendela bus pun terlepas. Menimbulkan tanda bundar kemerahan di dahinya seperti habis tertimpa oleh sebuah bola tenis. Chloe ikut berdiri. Bersama dengan beberapa mahasiswa lainnya yang juga akan turun di halte yang berada di depan gedung jurusan. Kuliah jam delapan pagi di hari Senin, percayalah, itu adalah waktu yang paling sibuk di Seirios. Jika tidak bersiap-siap dari pagi, lebih dulu menunggu di halte depan asrama, dijamin sampai beberapa menit berlalu pun tidak akan kebagian bus.“Jadi, masih belum mau cerita gimana caranya tadi malam lo bisa sampai di asrama?” tanya Grace masih berupaya mengorek informasi.
Hampir satu bulan lamanya bolak-balik gedung jurusan, baru pertama kali ini Chloe datang ke ruang himpunan yang terletak di taman belakang gedung, dan rupanya pemandangan taman belakang menarik juga. Mengingatkan Chloe dengan toko bunga milik orang tuanya, meskipun sebenarnya di taman belakang tidak ada bunga-bunga.Jika Chloe berniat untuk mendeskripsikan, kurang lebih seperti ini: areanya lumayan luas, berbentuk persegi panjang yang memanjang sepanjang gedung jurusan, di bagian tengahnya terdapat kolam bundar berisikan beberapa ikan koi juga air mancur kecil, terdapat pula jalan setapak di antara rerumputan hijau di sekitar kolam, dua buah pohon rindang—dimana sudah terdapat beberapa orang yang merebahkan diri di bawahnya ataupun sekadar duduk berselonjor kaki sambil bersenda gurau—sementara di pinggirannya terdapat dua buah gazebo berukuran sedang, lalu bangunan koperasi, kantin kecil,