Nindy memejamkan matanya saat Raka kembali memarahinya. Lagi-lagi dia meringis melihat desain yang ia buat sudah tidak terlihat lagi rupa dan polanya. Jangan harap Nindy akan melihat sisi manis dari diri Raka saat di kantor, karena pria itu akan kembali menjadi Raka si Bos yang menyebalkan.
"Ini fungsinya apa, Nindy? Kenapa kamu hobi sekali memasukkan hal-hal yang nggak fungsional?"
Nindy mengerucutkan bibirnya mendengar itu. Dia memilih diam karena menjelaskan pun akan percuma, Raka akan tetap membantahnya. Pria itu pasti lebih tahu bagaimana keinginan Pak Naru.
"Perbaiki lagi." Raka medorong kertasnya dan menatap Nindy lekat.
"Kamu udah telat dua hari dari
Di dalam mobil, Nindy tidak bisa berhenti menatap cincin yang terpasang di jari manisnya. Cincin itu terlihat sederhana tapi juga mewah. Entah dari mana Raka tahu ukuran jarinya, yang pasti cincin itu benar-benar pas di tangannya.Makan malam mereka kali ini berjalan dengan romantis. Tidak ada perdebatan konyol di antara mereka. Dengan serius, Raka mengungkapkan keinginannya untuk menikahinya dan bertanya apa dia bersedia? Tentu saja Nindy bersedia. Dia telah jatuh cinta pada semua yang ada di diri Raka."Kamu seneng?" tanya Raka menarik tangan Nindy. Matanya masih fokus menyetir dengan tangan kiri yang menggenggam erat tangan Nindy."Seneng, Pak. Nggak sia-sia saya lembur buat selesain revisian kalau hadiahnya dilamar gini." Nindy terkekeh."Udah aku bilang panggil Raka, aku bukan Bapak kamu.""Tapi Bapak dari anak-anak aku.""Jangan mulai, Nind. Aku lagi nyetir."Nindy tertawa dan mencium tangan Raka yang masih menggenggamnya. Perjalanan ke kost kali ini berlangsung lama karena Raka
Dengan menggunakan batik, Raka terlihat semakin tampan berkali-kali lipat. Wajahnya yang tak pernah berenti tersenyum membuktikan jika ia menjadi manusia yang paling bahagia saat ini. Sama seperti gadis di hadapannya. Nindy tampak cantik dengan kebaya yang ia kenakan.Dengan cepat dan yakin, Raka mulai memasangkan cincin di tangan Nindy, begitu juga sebaliknya. Dari pemasangan cincin ini, Nindy sudah resmi menjadi calon istri Raka. Hanya tinggal satu langkah lagi sampai mereka akhirnya benar-benar akan bersama."Ndis! Liat sini," ucap Reina mulai memotret dirinya bersama Raka.Kebahagiaan Nindy menjadi berkali-kali lipat karena kedatangan sahabat-sahabatnya. Mereka rela jauh-jauh datang ke Jogja untuk menemaninya. Beruntung acara lamaran dilakukan di akhir pekan sehingga tidak mengganggu jam kerja banyak orang.Suara tepuk tangan terdengar sangat riuh. Keluarga besar Nindy berkumpul bersama hari ini. Sebagai cucu perempuan satu-satunya tentu tidak mudah untuk melepas Nindy. Semua kelu
Di tengah kesibukan kantor, Raka dan Nindy juga sibuk mempersiapkan pernikahan mereka. Tak jarang mereka mengeluh karena padatnya kegiatan. Bahkan di hari Sabtu seperti ini, mereka harus mengecek lokasi resepsi untuk yang terakhir kalinya. Besok adalah hari besar mereka, akad nikah dan resepsi akan dilaksanakan di hari yang sama."Capek, Pak." Nindy memijat kakinya setelah menghempaskan tubuhnya di sofa rumah Raka."Besok bakal lebih capek lagi, sabar ya." Raka mengelus kepala Nindy."Peluk." Nindy merentangkan tangannya dengan manja.Raka tersenyum dan mulai duduk di samping Nindy. Dengan segera dia menarik gadis itu untuk masuk ke dalam pelukannya. Di tengah kesibukan mereka, Raka sebisa mungkin tetap memberikan waktunya untuk Nindy. Entah sekedar makan bersama atau berbincang."Nginep di sini ya malam ini?""Mana bisa? Bapak sama Ibuk di kost bisa kesurupan reog liat anaknya nginep di rumah cowok.""Kan aku calon suami kamu. Lagian kamu juga sering nginep di sini.""Sstt, jangan bo
Dua bulan kemudian.Suara berisik dari dapur terdengar ke seluruh penjuru rumah. Raka meringis saat tangannya tidak sengaja menyentuh wajah yang panas. Dengan cepat dia menyiram tangannya dengan air yang mengalir. Dari kejauhan, Bibi meringis dan terlihat khawatir. Namun lagi-lagi Raka meminta Bibi untuk menjauh dan tidak mengganggunya. Raka ingin membuat sarapan spesial untuk istrinya. Dia sangat berterima kasih pada Nindy karena sudah menyenangkan hatinya semalam."Mas, Mbok bantu ya?""Nggak usah, Mbok.""Mas itu telurnya kelamaan, cepet dibalik."Raka dengan cepat kembali ke kompor dan membalik telurnya. Dia mendesah kecewa saat telur setengah matang yang ia buat berubah menjadi matang sempurna. Tidak masalah, Nindy juga akan tetap menyukainya. Raka kembali berdecak saat minyak goreng mengenai kemeja kerjanya. Tidak masalah, dia juga bisa mengganti pakaiannya nanti.Setelah matang, Raka meletakkan telur itu di atas nasi goreng buatannya. Dia tersenyum puas melihat masakannya pagi
Hari senin adalah hari yang dibenci oleh hampir semua orang. Mengawali minggu yang padat dan jauh dari kata akhir pekan memanglah menyebalkan. Banyak orang sudah bersiap untuk memenuhi jalan raya tapi tidak dengan gadis yang masih asik bergelung di bawah selimut. Gendis Anindya Maharani, gadis berparas manis yang tengah berjuang di kerasnya ibu kota. Ia masih tertidur lelap, mengabaikan suara kendaraan yang menembus dinding kamarnya. "Sayur!" Suara tukang sayur yang terdengar setiap pagi seolah menjadi alarm rutin bagi Nindy. Perlahan dia muali membuka mata dan melihat langit-langit kamar. Matanya yang belum bisa terbuka sempurna membuatnya mendengkus. Perlahan dia bangkit dan meraih cermin dari atas meja. Seperti dugaannya, matanya sembab dan bengkak seperti dikeroyok warga. Menangis setiap malam sudah menjadi kegiatan Nindy selama dua bulan terakhir. Dia tahu Tuhan sangat membenci orang yan
Hidup memang tidak selamanya akan berjalan mulus. Ada roda kehidupan yang akan terus berputar secara terus-menerus. Sudah menjadi tugas manusia untuk tetap fokus, agar jalan yang dipilih tetaplah lurus. Agar tetap lurus... Nindy memegang teguh kalimat itu. Sesulit apapun kehidupannya, ia tidak akan melakukan hal gila untuk bertahan hidup. Dia percaya akan hasil dari kerja keras. Nindy yakin, suatu saat nanti dia akan merasakan hasilnya. "Makasih ya, Buk." Nindy menerima empat bungkus nasi padang yang ia beli dengan senang. Empat bungkus nasi padang itu bukan hanya untuk dirinya sendiri. Mendapatkan sedikit rezeki tidak membuat Nindy lupa dengan teman-temannya. Dia masih ingat jika Ela, teman satu kuliah sekaligus satu kostnya mengalami kecelakaan tadi siang. Nindy belum mengetahui keadaan gadis itu hingga saat ini. Semoga baik-baik saja karena jika tidak, maka dompetnya juga tidak akan baik-b
Perjalanan dari kost membutuhkan waktu sekitar 10 menit dengan mengendarai motor. Namun sebelum kembali, Nindy memutuskan untuk ke pasar tradisional terlebih dahulu guna membeli beberapa kebutuhan dapur. Dia tahu jika tidak selamanya ia akan bergantung dengan masakan Arinda. Gadis itu juga memiliki nasib yang sama, yaitu berusaha untuk bertahan hidup dengan gaya seminimalis mungkin. "Bang, cabe campur lima ribu ya." "Cabe lagi mahal, Neng." "Ayo lah, Bang." Nindy mendekat dan berbisik, "Khusus buat saya." "Khusus buat Neng Gendis yang manis ini saya kasih, tapi jangan bilang ibu-ibu yang lain. Bisa rugi saya," balas penjual yang juga ikut berbisik. Nindy terkekeh, "Aman, Bang. Tapi kasih saya bonus." Penjual yang merupakan langganan Nindy dan Arinda itu mulai menatapnya pias. Ada saja tingkah anak kost yang membuatnya mengelus dada.
Cahaya matahari belum sepenuhnya muncul tapi Nindy sudah bersiap untuk memulai harinya. Sedari tadi dia tidak berhenti untuk tersenyum. Hatinya terasa campur aduk sekarang, antara senang dan takut. Senang karena akhirnya mendapat pekerjaan dan takut karena ini adalah hari pertamanya. Nindy memang belum tahu pekerjaan apa yang kakek berikan tapi dia yakin apapun itu pasti tidak akan mengecewakannya. Nindy mengusap rambut basahnya dengan handuk sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Dia melirik ponselnya yang bergetar. Seperti biasa, ada ayahnya yang mengirimkan pesan setiap pagi. Kali ini Nindy tidak lagi bersedih. Dengan semangat dia langsung membalas pesan ayahnya. "Iya, Pak. Ini udah bangun, lagi siap-siap." Lega. Perasaan Nindy sedikit tenang karena tidak lagi berbohong kali ini. Nindy mendekat ke arah meja rias dan melihat kalender kecil di sana. Ada tanggal yang sudah ia lingkari den