“Bukankah itu bagus? Kau harus cepat-cepat move on,” kata David ketika melihatku masuk ke dalam ruang rapat, lalu menyambar paper cup berisi kopi yang aku sodorkan padanya. Ia menyeruputnya sedikit dan wajahnya langsung berubah. “Ini pahit sekali, Mikky. Apa negara ini sudah kehabisan gula?”
“Tidak. Aku hanya menolong istrimu.” Aku menarik kursi di sampingnya. “Kau juga harus mengurangi donat-donat itu.” Di samping laptop David terdapat sebuah kotak kecil berisi donat. Seperti halnya dengan Watson, David mengalami sedikit obesitas. Ia suka sekali dengan gula.
“Sekarang kau terdengar seperti Anne,” ujarnya lirih.
David adalah sahabatku sejak kami masuk bersama di MollenLowe empat tahun yang lalu. Pria itu lulus dari Universitas Boston sedangkan aku dari Ann Arbor, Universitas Michigan. Aku mengambil jurusan periklanan sedangkan David komunikasi. Kami adalah duo maut di kantor ini, setidaknya untuk divisiku.
Tadi malam aku menelepon David dan memintanya datang ke kantor lebih pagi. Selain karena proyek yang belum selesai, aku juga ingin menceritakan banyak hal padanya. Aku sempat menceritakan beberapa pengantar untuknya agar aku tidak perlu bercerita terlalu banyak di kantor. Aku meyakinkan diriku jika aku butuh pendapat kedua. Dan, untungnya ia sahabat yang baik. Pria itu sudah datang lebih dahulu ketika aku tiba.
Kami berdua berada di ruangan rapat khusus devisi kreatif. Ruangan itu tidak terlalu besar tapi nyaman. Di tengah-tengah terdapat meja kaca bundar yang cukup besar dengan kaki-kaki hitam dari baja. Tepat di tengah meja itu terdapat pot kecil berwarna hitam dengan sebuah kaktus kecil di dalamnya. Entah itu ide siapa. Ada lima kursi mengelilingi meja itu. Ruangan itu berdinding kaca transparan. Jam sepuluh nanti, kami akan merapatkan kelanjutan proyek iklan yang sedang kami kerjakan. Jadi, sebelum jam itu, aku menyempatkan diri bercerita pada David apa yang belum aku ceritakan lewat telepon. Aku menceritakan semua yang terjadi sejak Sabtu malam dan malam-malam sebelumnya pada David. Termasuk lampu-lampu yang berkedip. Akan tetapi untuk bagian itu, ia sependapat dengan Nelson.
“Kau mungkin hanya sedang kelelahan, Mikky. Aku kadang pulang dan menemukan Anne seperti hantu. Dia suka sekali memakai masker sebelum tidur,” ujarnya.
“Menurutmu apakah ini tidak terlalu cepat? Aku bahkan tidak mengenal dia sama sekali.” Aku mengabaikan pendapatnya tentang lampu-lampu itu. Lagipula, aku memang tidak terlalu peduli hal-hal semacam itu. Aku lebih peduli pada Yui, rasa bersalahku ada Catty, dan kemungkinan Tod yang bisa muncul kapan saja.
Tanpa sengaja aku mendekati kotak donat David. Aku sudah sarapan sebelum berangkat dengan masakan Yui yang enak, tapi aku masih merasa sedikit lapar sehingga donat David terlihat menarik. David langsung memukul tanganku yang menjulur mendekati kotak donatnya.
“Kau boleh mengambil apa saja dalam hidupku kecuali donatku. Paham?” David menatapku seperti seorang polisi yang sedang memastikan bahwa aku mengerti tentang kesalahan yang aku perbuat. “Kau tahu, Mikky? Setiap malam, ratusan pria di negara ini membawa seorang gadis yang mereka temukan di club ke apartemennya. Kemudian, esok paginya jika mereka merasa cukup sampai di situ, mereka akan berpisah, lalu melanjutkan hidup seperti tidak pernah terjadi apa-apa, kecuali sebagai sebuah cerita. Jika mereka merasa cocok, mereka akan lebih sering bertemu dan memulai kencan. Apakah mereka yang terlalu berani atau kau yang terlalu khawatir?”
“Bukan begitu. Tapi, entah kenapa aku merasa seperti mengkhianati Catherine ....” kataku hati-hati.
“Hei! Kau bahkan tidak tahu gadis itu ada di mana sekarang.”
David benar, aku tidak tahu dimana Catty sekarang. Aku menghela napas pelan. “Sulit sekali meyakinkan diriku kalau dia pergi begitu saja. Dia membuang tiga tahun kebersamaan kami seolah-olah tidak ada artinya.”
David menggeser kotak donatnya padaku. “Karena kau sahabatku dan ini kali pertama aku melihatmu sedemikian putus asa, aku relakan satu donat untukmu. Gula bisa mengurangi stres.”
Namun, aku tidak menjamah donat David. Aku memilih menyeruput kopi pahitku. Mungkin rasa pahit di lidahku akan membuat rasa pahit di hatiku tidak terlalu terasa.
“Aku tahu ini sulit bagimu, Mikky. Tapi, ini kesempatan bukan? Aku rasa Yui gadis yang baik. Apakah kau tidak merasa kalau kalian itu mirip? Dari ceritamu, aku bisa melihat beberapa kesamaan kalian. Itu modal yang bagus untuk memulai sebuah hubungan. Kau begitu mencintai Catherine dan Yui sangat mencintai pria Irlandia itu. Jika tidak, dia tidak akan jauh-jauh datang ke South Boston. Kalian punya cara yang sama saat mencintai seseorang.”
Apa yang dikatakan David ada benarnya. Jika berniat menyembuhkan luka, Yui adalah obat paling mujarab. Namun, bukankah itu berarti aku memanfaatkan orang lain? Terlalu cepat untuk mengatakan kalau jatuh cinta, aku hanya tertarik dan iba pada Yui. Aku rasa itu awal yang baik. Dulu, aku jatuh cinta pada Catherine setelah berteman cukup lama dan merasa nyaman. Namun, aku ingat Tod. “Jika Tod kembali, bukankah dia bisa pergi juga?”
“Iya. Kalau dia wanita yang bodoh.” Karena aku tidak mengambil satu donat pun, David menarik kembali kotak donatnya dan meletakkannya di tempat yang lebih jauh dari jangkauanku.
Aku yakin, Yui bukan gadis bodoh. Aku menawarkan diri untuk membantunya mencari Tod tapi ia menolaknya. Sebelum aku mengatakan yang sebenarnya terjadi, Yui telah menentukan sendiri keputusannya. Namun, aku tetap merasa ini mengganjal.
“Aku tidak menyuruhmu menikahinya besok, Mikky.” Suara David hampir tak terdengar, donat memenuhi rongga mulutnya. Gula-gula putih dari donat yang ia makan berceceran di meja dan sekitar bibir pria tambun ini. Ia kemudian menenggak kopi pahit yang tadi aku berikan lalu menunjukkan wajah aneh setelahnya. “Seharusnya aku meminum kopi ini dahulu baru memakan donat. Setelah pahit baru manis. Sekarang rasa donat hilang begitu saja. Sialan.”
“Seminggu lagi Yui akan kembali ke New Hampshire. Dia akan melupakanku, melupakan Tod, dan memulai hidupnya yang baru.”
“Itu juga artinya kau punya waktu seminggu untuk melihat hubungan kalian akan berjalan sejauh apa. Asal kau mau membuka diri, Mikky. Aku tahu Catherine menghilang belum lama, tapi itu bukan alasan, bukan? Dia yang memintamu untuk melupakannya. Kau tidak perlu menyiksa dirimu sendiri dengan waktu. Menunggu saat yang pantas untuk beranjak. Saat yang pantas itu sebenarnya ketika dia mengirimkan surat itu. Sejak itu kau harus memikirkan dirimu sendiri.”
“Aku tidak tahu, Dave. Aku hanya merasa ini mimpi.”
David menepuk-depuk pundakku. Lalu orang-orang mulai masuk ke dalam ruang rapat.
***
Meeting berjalan dengan lancar. Klienku telah menyetujui usulan yang kami tawarkan untuk iklan produk mereka. Yang perlu aku persiapkan selanjutnya adalah lokasi pemotretan dan lokasi syuting untuk hal itu. Aku dan David telah memilih beberapa tempat. Kami hanya perlu untuk melakukan survei ke lokasi yang kami rencanakan.
Aku dan David masih berada di ruang meeting, sedangkan tim-ku yang lain sudah aku perintahkan untuk melakukan persiapan yang diperlukan. Kotak donat David telah kosong dan laptopnya sudah mati.
“Aku lebih penasaran dengan cerita Tod, Nelson, Nyonya Wendy Orsey, dan keanehan-keanehan yang kau ceritakan daripada Yui. Seharusnya kau juga begitu. Yui bukan sesuatu yang harus kau pikirkan terlalu dalam. Biarkan saja dirimu dan Yui mengalir seperti aliran sungai. Sedangkan Nelson dan wanita tua di samping unitmu itulah yang harusnya kau pikirkan. Apakah kau tidak merasa bahwa Nelson itu aneh? Atau benarkah orang yang berada di samping apartemenmu adalah Wendy?” kata David.
“Mungkin kau benar. Aku tidak perlu khawatir tentang Yui. Kalau dipikir-pikir apartemen itu memang agak berbeda. Penjaganya hanya ada pada malam hari. Nelson tidak pernah muncul pada siang hari. Lampunya bermasalah dan tidak ada yang berpikir menelpon seseorang untuk memperbaikinya. Mungkin yang dikatakan Nelson benar kalau yang mempermasalahkan lampu berkedip-kedip itu hanya aku seorang.”
“Keanehan lain adalah kau hampir berminggu-minggu berada di tempat itu tetapi tidak pernah bertemu dengan wanita di samping kamarmu. Padahal, Tod sering bertemu dengannya. Kalau dia mengurus neneknya, seharusnya kalian akan cukup sering bertemu di lobi, lorong, atau tempat-tempat lain di sekitar apartemen. Atau di minimarket.” David mengetuk-ngetukan jari-jarinya di laptop yang telah dilipatnya.
Aku termenung. Aku merasakan dahiku berkerut. Bayangan Tod tiba-tiba muncul di benakku. “Aku juga berpikir begitu. Tapi, aku terlalu sibuk dengan proyek ini. Klien kita satu ini sangat sulit, bukan?”kataku kemudian.
David mengangguk-angguk. “Aku jadi ingat. Mikky, bagaimana bisa kau pindah ke sana?” David mendorong bahu kiriku yang membuat kursiku berputar. Dia melihatku dengan tatapan yang aku artikan sebagai tatapan yang serius.
Jika mengingat-ingat kembali, aku baru menyadari David belum aku ceritakan sama sekali tentang kepindahanku ke apartemen baruku.
“Emmm. Sebentar.”
Aku mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi hampir sebulan yang lalu sebelum aku pindah. Pikiranku agak bercampur aduk sehingga agak sulit menemukan pangkalnya. Yang jelas, Catherine pergi, sewa apartemenku yang lama naik, lalu ada selebaran yang muncul di pintuku. Aku menelpon dan mendapatkan tawaran apartemen yang bagus. Aku pergi melakukan survei, suka dengan tempatnya karena harganya murah, lalu aku pindah.
“Terlalu banyak kenangan Catherine di tempat lamaku dan sewa apartemenku naik hampir dua kali lipat,” kataku pada David.
“Apakah itu berlaku juga pada semua penghuni? Apakah kau menanyakannya pada seseorang di sana?” David terlihat makin serius.
“Tidak. Aku tidak tahu. Lagipula pindah tidak buruk bukan?”
Jari-jari gemuk David masih mengetuk-getuk permukaan laptopnya. Kini tangan kirinya mengusap-usap dagunya. Ia mungkin sedang memikirkan sesuatu. “Mungkin kau berhalusinasi saat melihat Tod di taman bermain. Namun, kalau tidak, pasti berarti sesuatu. Bukankah terlihat sangat janggal kalau pria itu hanya berdiri menatapmu dari jauh? Sedang apa dia? Mengawasimu? Untuk apa? Yui? Dia bisa saja langsung mencarinya ke apartemenmu dan menarik Yui dari sana.”
“Kau benar. Lalu apa yang harus aku lakukan dengan semua ini?”
“Kita bisa memulainya dengan menelpon kantor pengelola apartemen. Adukan tentang listrik yang bermasalah dan kita lihat tanggapan mereka.”
“Kau betul juga.”
Aku kemudian mencari dompetku untuk melihat nomor yang diberikan Nyonya Milla Borden, wanita yang mengajakku melihat-lihat apartemen itu dan menjelaskan semuanya pada waktu itu. Agak susah menemukan kartu kecil yang diberikannya padaku karena aku menyelipkannya entah di mana. Aku tidak menemukan kartu itu di dompetku, ternyata ada di salah satu kantong di tas kerja. Untunglah aku menemukannya.
Di dalam kartu tersebut terdapat dua nomor. Yang pertama nomor seluler satu lagi telepon kantor. Aku mencoba yang pertama dan dihubungkan ke dalam kotak suara. Yang kedua diangkat.
“Halo!” sapaku, “bisa bicara dengan Nyonya Borden.”
“Halo, Sir.” Aku mendengar suara seorang laki-laki. “Di sini tidak ada yang bernama Nyonya Borden. Mungkin Anda memencet nomor yang salah.”
“Tidak.” Aku menyebutkan nomor yang aku tekan sampai bisa terhubung pada orang yang menjawab telepon. “Apakah itu nomor yang benar?”
“Iya. Anda menekan angka yang benar. Tapi, di sini tidak ada yang bernama Nyonya Borden.”
Jawaban itu membuatku tercenung. Apakah aku sedang kena tipu? Ini akan menjadi masalah besar kalau ternyata aku ditipu. David yang berdiri di sampingku melihatku dengan cemas. Aku yakin ia bisa menebak apa yang terjadi.
“Kita pergi ke alamat gedung itu dan mengeceknya. Mungkin ada kesalahan. Sambil survei lokasi untuk pengambilan gambar. Juga makan siang,” kata David.
Itu usul yang baik.
“Oke. Terima kasih atas informasinya.” Aku kemudian menutup telepon.
David menatapku lekat. “Sepertinya ada yang tidak beres, Mikky. Kau merasakannya, bukan?”
Aku mengangguk. “Iya. Kau benar David. Ada sesuatu yang salah di sini.”
“Kau ingat iklan bir yang kita buat di Cheko, David? Bukankah tempat ini mirip?” tanyaku setelah memerhatikan dengan seksama ruang bawah tanah tempat aku disekap. Ruanganku adalah ujung dari sebuah lorong—yang aku yakin cukup panjang—dengan langit-langit berbentuk lonjong. Dindingnya terbuat dari bata merah setinggi tiga meter. Lorong itu cukup lebar untuk bisa dilalui empat orang sekaligus.“Maksudmu Pilsen? Yeah, lorongnya memang mirip. Kalau kau ingat kata-kata Benjamin, tidak seharus kau terkejut. Bangunan ini sama tuanya.”Aku tidak pernah menyangkan akan ada ruangan seperti ini di bawah apartemenku. Selain ruangan tempat aku disekap terdapat dua ruangan lain yang pintunya tertutup. Sepertinya, aku akan menemukan banyak ruangan seperti itu sepanjang perjalanan keluar.Lorong panjang di depanku diterangi oleh lampu-lampu neon yang dipasang di atasnya. Andaikata neon-neon itu dimatikan pastilah tempat ini akan gelap-g
Kematian Wendy membuat Nelson menyerah. Setelah gadis itu lenyap menjadi debu, Nelson langsung berlutut dan mengangkat tangannya.“Semua penyihir di dunia ini akan mengejarku. Dan, karena Wendy telah mati, aku tidak bisa berlindung lagi di balik punggungnya. Lebih lagi, sebenarnya Wendy Orsey telah melanggar hukum yang ditetapkan oleh Hareruha dengan berusaha mengambil persembahan dengan sihir hipnotis. Ini adalah kesempatan besar bagi Nyonya Borden untuk menghabisi seluruh penyihir yang mengikuti Wendy,” kata Nelson panjang lebar. Aku tidak benar-benar mengerti apa yang dikatakannya. “Aku menyerah, lebih baik mati di tangan kalian daripada di tangan mereka.”Setelahnya, pria itu menuruti semua perintah dari Willy dan Benjamin Black. Nelson didudukkan di tempat aku diikat sebelumnya. Namun, tangannya tidak diikat seperti aku. Hanya saja, Willy mengarahkan sebuah pistol tua—seperti pistol milik Van Helsing di film—ke tempurung kepalan
Mataku terbuka dengan pelan bersamaan dengan sayup-sayup nada lembut yang menggelitik indera pendengaranku. Aku seperti bayi yang sedang dibuai agar tertidur dengan lelap. Ditambah lagi desir angin yang sepoi membasuh wajahku, membuat mataku ingin segera kembali terpejam. Namun, entah apa yang mendorongku untuk menahan kantuk itu dan meyakinkan diri untuk terjaga.Aku mencium bau laut. Mendengar debur ombak dan desis pantai yang tergerus. Rasa hangat yang nyaman merayapi sekujur tubuh. Terang mentari yang mencerahkan segalanya memenuhi mataku yang berusaha mengenali di mana aku berada.Dengan pelan, aku bangkit dan terduduk. Pada akhirnya aku bisa mengenali dimana aku saat ini. Sebuah pantai tropis yang sangat indah membentang di depanku.Aku yakin bahwa aku tak pernah sekalipun menginjakkan kaki di tempat ini, tetapi entah kenapa aku merasa mengenali suasananya. Tubuhku tidak bereaksi seperti orang yang pertama kali datang, tetapi laksana orang ya
Saat membuka mata, aku langsung diserang rasa sakit di perut yang menusuk-nusuk. Aku sampai meringis karena berupaya menahan rasa sakitnya. Belum selesai dengan rasa sakit itu, bau busuk menyerangku dengan membabi-buta. Aku menerka bahwa sekamar dengan bangkai anjing.Aku langsung mual. Apa pun yang hendak keluar dari mulutku sudah mencapai ujung tenggorokan. Mati-matian aku menahannya, tetapi sia-sia. Jadi, dengan penglihatan yang masih samar, aku muntah sejadi-jadiya. Semua masakan Benjamin keluar dari perutku, menambah bau busuk di ruangan ini. Lalu, bersama bau busuk sebelumnya, mereka menyerang penciumanku dengan membabi-buta.Sambil terengah-engah, aku menatap muntahanku yang membanjiri lantai. Aku jijik sendiri sehingga muntah kembali. Tampaknya aku tidak mengunyah spagetiku dengan benar karena sebagaian muntahanku masih menunjukkan bentuk asli dari makanan itu. Sialnya, celana dan sepatuku terkena muntahanku sendiri.Setelah isi perutku hampir seluruhnya
Yui melempar ransel ke punggungnya sedangkan aku langsung mengangkat tas tenis sembari menyambar tangannya. Aku berbalik dan melangkah menuju pintu. Namun, aku merasakan Yui menolak tarikan tanganku. Saat menoleh, aku mendapatkan Yui bergeming di tempatnya dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. Jari tangan Yui saling meremas. Aku menatap matanya dan merasakan binarnya meredup.“Kita akan ke mana?” tanya gadis itu. Aku menangkap getar dalam suaranyaAku menjatuhkan tas tenis lalu mendekat pada Yui. Dengan pelan, aku mengelus pipinya. Kulit pipinya terasa lembut di tanganku. “Ke tempat aman sampai semuanya selesai. Setelah semuanya selesai, kita akan mengurus semua masalahmu,” jawabku. “Percayalah padaku. Aku tidak akan meninggalkanmu.”Yui menatapku tajam sebelum mengangguk. Kedua tangannya meraih lenganku lalu menggenggamnya dengan erat. “Aku percaya padamu, Mikky. Aku akan selalu menggenggam tanganmu seerat ini dan ta
Benjamin dan Willy entah berada di mana karena aku tidak melihat mereka di mana-mana: di ruang depan, di ruang televisi, di dapur, kamar mandi, dan ruang-ruang lain yang pernah aku masuki. Aku kembali ke kamar. Di dalam kamar sudah ada David dengan sweater yang agak kebesaran. Karena penghangat rumah ini tidak dinyalakan, hawa dingin sehabis hujan yang menyelinap masuk terasa menusuk.“Benjamin dan Willy tidak ada di ruang depan,” kataku pada David yang sedang duduk di ranjangku. Aku berdiri di depannya sedangkan David melihat arloji di tangannya. Kalau tidak salah, ini sudah pukul sebelas malam. Aku sempat melirik jam dinding di ruang televisi sebelum mendaki tangga ke lantai dua. “Sepertinya pintu depan juga tidak terkunci. Ini saatnya aku pergi,” lanjutku.“Kau benar-benar yakin akan pergi ke sana, Mikky?” tanya David. Aku menangkap rasa khawatir pada suaranya.“Iya. Aku tidak bisa membiarkan Yui sendirian.”