PART 3
"Mbak Yah, bapak sudah kasih pakaian kotor sisa perjalanan dinasnya?" tanyaku saat memasuki dapur dan mendapati asistenku itu sedang memasukkan helai demi helai pakaian kotor dalam mesin cuci.
"Ini, Bu. Baru saja dianter ke sini," jawab Mbak Yah.
Mataku terarah pada tumpukan pakaian kotor milik Mas Raka yang sudah bercampur dengan milik Kayla di atas keranjang cucian.
Aku kemudian membungkuk, mencari-cari sebuah benda berwarna merah. Tapi nihil. Aku meluruskan punggung, kemudian menghela napas panjang. Entah dikemanakannya benda itu oleh Mas Raka.
"Ibu cari sesuatu?" tanya Mbak Yah. Rupanya ia sedang memperhatikanku. Aku menggeleng pelan, kemudian meninggalkannya begitu saja.
Tiba di ruang tengah, aku duduk di atas sofa santai. Kubuka kembali ponselku.
[Sudah Abang amanin. Makanya, lain kali jangan teledor, kamu.] Bunyi pesan Mas Raka kepada kontak bernama Arman.
[Maaf, Abang. Janji nggak keulang, deh. Btw, aku emang sengaja ninggalin di koper Abang, tauk. Biar dilihat sama istri Abang.] Pesan tersebut dibubuhi dengan emot tertawa sambil menjulurkan lidah.
[Nakal, kamu. Awas, ya. Nanti Abang hukum!] balas Mas Raka disertai emot tertawa lebar.
[Hukuman Abang selalu bikin nagih. Dihukum tiap hari nggak papa juga, aku mah.]
[Asal mau tanggung jawab kalau aku hamil.]
[Abang, kok nggak dibales?]
[Abang, ih!]
[Abang!]
Dahiku berkerut heran. Kemana Mas Raka sampai-sampai ia tak membalas si sundal dalam chatnya ini. Sundal yang dinamainya dengan nama lelaki dalam list kontaknya demi mengelabuhiku.
Pertanyaanku akhirnya terjawab saat Mas Raka tiba-tiba keluar dari kamar tidur kami.
"La, lagi ngapain?" tegurnya dari tempat ia berdiri.
"Nggak ngapa-ngapain. Cuma lagi chatting sama Lesti aja, ngebahas kerjaan kantor," jawabku berbohong sambil menyimpan cepat ponselku dalam saku celana.
"Kayla mana?" tanyanya sambil melangkah mendekat.
"Di jemput Lila, tadi. Ibu kangen, katanya."
"Loh, gimana, sih? Kok nggak ijin Mas dulu?" protes Mas Raka dengan nada tak suka. Ia memang sedikit sensitif jika menyangkut Kayla.
"Memang kenapa sih, Mas, kalau Kayla di rumah ibuku? Kan neneknya juga," sahutku sambil mengambil posisi rileks di atas sofa.
"Ya setidaknya ijin dulu sama aku, La. Kan aku juga kangen sama Kayla setelah seminggu dinas luar kota," sungut Mas Raka.
'Kangen anak setelah seminggu kamu bersenang-senang dengan gundikmu, Mas?' Aku membatin sinis.
"Biar saja Kayla di sana," kataku seraya beranjak berdiri. Mas Raka menatapku.
"Mau kemana, La?" tanyanya.
"Tidur!" jawabku singkat, kemudian berjalan menuju kamar. Tak kuhiraukan tatapan matanya yang penuh tanya.
Sesampainya di kamar, aku langsung merebahkan diri di atas ranjangku. Ranjang yang sudah membersamai kami sejak aku melepaskan kegadisanku pada Mas Raka pada malam pertama.
Kini, aku merasa jijik berbaring di sini. Merasa jijik tiap kali membayangkan sentuhan-sentuhan Mas Raka pada tubuh ini. Setelah semua pesan-pesan bernada mesum antara dirinya dengan gundiknya.
***
Pagi menjelang, aku terbangun bersama suara kokok ayam. Menengok ke samping, tampak Mas Raka masih meringkuk dalam balutan selimut di sebelahku.
Aku gegas bangkit menuju kamar mandi. Bahkan sampai matahari meninggi dan aku telah rapi dalam setelan kerja, Mas Raka masih asik mendengkur di atas kasur.
Aku mendengkus pelan saat memandangi wajahnya. Hari ini, akan aku kuak semua. Aku harus tahu siapa sebenarnya sosok di balik nama Arman itu.
Tanpa sarapan, aku langsung pergi menuju kantor. Mbak Yah sempat keheranan saat kukatakan padanya untuk tak perlu menyiapkan sarapan pagi ini.
***
Di kantor, aku juga kehilangan fokus. Pikiran ini terus mengembara pada Mas Raka dan sosok si gundik yang belum kutahu wajahnya seperti apa.
"Kenapa, La, kok lesu gitu? Sakit?" Suara teguran Lesti sedikit mengagetkanku.
"Hmm ... nggak apa-apa, Les," jawabku sambil melempar senyum hambar pada Lesti.
"Muka kamu pucet. Kalau sakit ijin aja, La," ujar Lesti lagi. Ekspresi wajah sahabatku itu tampak menunjukkan rasa khawatir.
"Aku nggak apa-apa, Les. Mungkin cuma kecapean," balasku sekenanya.
"Waduh, mentang-mentang laki baru pulang dinas luar. Langsung hajar!" ledek Lesti sembari melepaskan tawanya. Kubalas ucapannya dengan senyum kecut di bibir.
"Ada-ada aja kamu. Oh iya, entar siang aku mau ijin ke luar ya. Ada perlu bentar," ujarku. Teringat pada misi yang akan kukerjakan siang ini.
"Iya, gampang." Lesti menjawab.
Aku kembali melanjutkan pekerjaan, sembari menunggu jam istirahat siang tiba. Sesekali aku mengecek ponsel.
Tak ada aktifitas apa pun antara Mas Raka dan Arman selain ucapan selamat pagi yang dikirim perempuan itu pukul tujuh kurang tadi pagi.
Besar dugaanku, kedua insan laknat itu sudah saling bertemu sekarang ini. Karena si Arman ada menyebut-nyebut soal magang di kantor Mas Raka kemarin dalam percakapan pesannya.
Jam dua belas siang tepat, aku pun segera ke luar kantor setelah berpamitan pada Lesti.
Menembus lalu lintas yang cukup padat, kukemudikan kendaraanku menuju kantor Mas Raka.
Setelah menempuh sekitar setengah jam perjalanan, aku akhirnya tiba di depan kantor Mas Raka. Sebuah perusahaan ekspor-impor yang cukup bonafide, yang mana Mas Raka memiliki jabatan cukup penting di dalam sana.
Dalam pengkhianatan yang kamu lakukan, aku tak akan rela hancur sendirian, Mas. Kamu dan karirmu, juga akan kubuat hancur serta dalam leburnya perasaanku saat ini.
🍁🍁🍁
PART 30POV RAKAMelangkah keluar dari bekas ruang kerjaku, hati ini diliputi kemarahan yang sarat terhadap Nirmala.Bagaimana tidak? Surat dari pengadilan itu tiba bertepatan pada hari jabatanku di kantor diturunkan. Dan gilanya lagi, calon mantan istriku sendiri lah yang ternyata menggantikanku.Permainan macam apa sebenarnya yang Nirmala dan Brahma rencanakan untukku? Ada kerjasama apa di antara mereka berdua? Jika melawan mereka sendiri, tentu aku akan kalah telak dan berakhir menjadi pecundang.Seharusnya aku memang tak perlu heran terhadap gugatan cerai wanita itu. Hanya saja egoku benar-benar terpukul saat ini. Ibarat
Part 29Pov Nirmala"Halo?" sahut suara di seberang sana."Halo, Pak Brahma?""Yap.""Ada yang ingin saya bicarakan mengenai perjanjian yang Bapak kirim ke saya," ujarku."Silakan.""Mengenai ... uang bulanan," ucapku ragu."Kurang?""Oh, tidak ... tidak. Bukan begitu. Malah saya merasa itu terlalu banyak."
PART 28POV RAKA"Apa-apaan kalian mindah-mindahin barang-barang saya?!" sentakku pada beberapa karyawan yang tengah sibuk mengeluarkan meja kerja, serta kursi dan beberapa benda lain yang selama ini melengkapi ruangan kerjaku."Maaf, tapi kami hanya menjalankan perintah, Pak," jawab salah seorang dari mereka."Mulai sekarang, bukan di situ lagi ruang kerja Anda, Pak Raka. Besok akan ada GM yang baru, dan dia tak mau ada jejak Anda sedikit pun di ruangan."Aku sontak menoleh ke belakang. Di sana, berdiri Pak Brahma, laki-laki pecundang yang sok kuasa."Apa mak
Part ini mengandung baku hantam, Kakak. Jangan lupa votenya.🤩PART 27Pov Raka"Apa kamu lihat-lihat?!" sentak ibu sambil melempar tatapan galak pada Mirna. Gadis itu tersentak kaget, kemudian buru-buru menghampiriku."Abang habis gajian, ya?" tanyanya dengan suara manja sambil bergelayut di pundak kananku."Ehm ... iya, Sayang," jawabku sedikit terbata. Ibu menatap sengit ke arah aku dan Mirna."Kenapa kamu tanya-tanya Raka gajian, Mirna?" tanya ibu sinis."Lho, memangnya nggak boleh, ya? Aku kan sekarang istrinya Bang Raka." Mirna memprotes pertanyaa
Yuhuu ketemu di bab baru. Jangan lupa klik vote ya, Dear.Part 26Lesti langsung sibuk menyikut lenganku ketika sosok itu keluar dari dalam mobil dan tampak celingukan di depan halaman kantor yang sudah sepi.Mas Raka. Mau apa dia ke sini?"Eh, mau ke mana lo?" Lesti bertanya dengan raut wajah khawatir saat aku berdiri dari kursi dan hendak ke luar tenda warung es."Sst ... lo tunggu di sini aja," kataku pelan sambil melangkah ke luar."Kamu cari siapa, Mas? Cari aku, atau cari pamanmu yang cabul itu?"Suaraku tak keras, tapi Mas Raka sepertinya terkeju
Hai kakak, jangan lupa klik vote-nya ya Shay.PART 25Kubuka amplop berwarna cokelat pemberian Pak Brahma, dan terkejut saat melihat isinya. Di dalam amplop yang kini berada dalam genggamanku, terdapat beberapa kartu berlogo bank ternama."Apa ini, Pak?" tanyaku sambil mendongak ke arahnya."Itu adalah fasilitas dari saya untuk kamu. Debit dan credit card. Pakailah," ujarnya dengan suara tenang. Aku mengerutkan kening, kemudian mengangsurkan kembali amplop tersebut ke arahnya.Laki-laki itu terheran."Saat ini, kita masih belum memiliki ikatan apa-apa. Bukan bermaksud menyombongkan diri, tapi ini belum waktunya, Pak. S