Share

[Bab 2] Olm

perilaku, bahkan keceriaanku hilang. Pohon beringin belakang rumah yang biasanya hampir setiap bangun tidur aku lamunin, kini tidak pernah lagi kupandang setiap pagi. Seolah aku benci warna. Padahal hatiku yang tidak siap untuk tak melihat warna suatu hari nanti. Warna gelap yang kutakutkan akan menjadi warna yang selalu mengisi hariku nantinya. Aku masih tidak menyangka.

Pagi itu aku masih di dalam kamar. Kututupi seluruh tubuhku dengan selimut putih tebal selaras dengan warna sprei kasur. Mataku masih bengkak. Kadang air mata mengalir dari kelopak sembari melamun masa depan nanti. Karena sudah pasti, kebutaan akan terjadi. Itu sebabnya aku tidak suka dengan ramalan masa depan. Bagiku takdir itu misterius, sulit untuk ditebak, agar orang tidak berburuk sangka pada takdir dan tinggi hati padanya.

Tok-tok-tok

Aku mendengar suara ketukkan pintu kamar yang sedikit meredam karena posisiku yang sedang dalam dekapan selimut. Kemudian suara seseorang menyertainya. "Nak, bangun. Udah siang, nih." Udah jelas itu Papa. Dia mengacaukan keheningan.

Dengan malas dan sedikit kesal, aku bangkit dari tempat tidur dan mendekat ke pintu kamar yang permukaannya tertempel huruf balok kayu berbentuk namaku di sana. Jalanku masih sempoyongan, lalu kubuka pintunya perlahan.

"SURPRISE! " Eh, bukan hanya Papa yang ada di balik pintu, ternyata mereka datang. Aku melihat siapa yang ada dihadapanku. Ternyata mereka adalah Alma, Aisyah, dan Agra. Mereka adalah teman SMA-ku yang sudah beberapa bulan tidak bertemu semenjak lulus sekolah. Alma dan Aisyah anak kota, rumahnya jauh dari puncak. Sedangkan Agra, dia anak puncak, sama denganku. Namun dia anak rumahan, jadi jarang ketemu.

"Loh? Kok kalian ada di sini?" tanyaku ambigu dengan muka bantal serta pajamas ungu yang kusut. Rambutku yang hanya sebahu tampak berantakan bagai sapu ijuk yang gimbal.

"Nah, heran kan lo. Kita ... gituloh," seru Alma mencairkan suasana pagi yang sendu. Menurutku dari dulu dia memang heboh orangnya. Sampai sekarang tetap saja sama. Dengan giginya yang dipagar serta senyumnya hingga kelihatan gusi, pasti semua orang bakal tahu sifat orang ini. Rambutnya masih tergurai ikal sepinggul serta kulitnya yang putih membuat aku kadang iri sama orang model begini.

"Osa, sayangku. Ini kami bawain kue vegetarian sama ada juga pizza daging asap kesukaan elo. Habisnya kami bingung mau beliin lo apa. Lo kan pemakan segala. Hihihi," sambung Aisyah sembari menyodorkan banyak makanan ke aku. Kalau tadi aku iri dengan kecantikan Alma, sekarang aku iri oleh Aisyah yang dari dulu sifatnya baik sekali. Dia humble, juga setia kawan. Kerudung hitamnya yang menutupi badan sudah jelas menggambarkannya sebagai wanita muslimah yang baik. Ditambah bros putihnya yang mengkilap menancap anggun di dada kirinya semakin membuat Aisyah lebih rupawan.

"Gue gak bawa banyak. Nih, kompas, biar lo ngerti jalan pulang," sergah Agra datar saja sambil memberikan sebuah kompas berwarna perak padaku. Agra memang berbeda dari yang lain orangnya. Dia pemegang win strike juara kelas tiga kali berturut-turut di sekolah. Tapi dia anak IPA dulunya. Tidak sekelas denganku. Agra memang tampilanya nolep. Terbukti dengan model rambut Bowl Cut dengan OED (Outfit Every Day) sederhananya yang hampir setiap hari digunakan—Sweater. Matanya tajam, kalau sudah melirik pasti aku salah tingkah. Dia ngeselin. Kadang juga sok logis orangnya.

Mereka pun aku persilakan masuk ke dalam kamar. Ya, namanya anak cewe pasti nongkrongnya di kamar. Eh, si Agra malah ikut.

Aku ambil beberapa buah piring dan berbagai jus buah yang kubawa dari dapur. Aisyah dan Alma ikut membantu membawa gelas. Sedangkan Agra malah gantiin posisiku duduk di kosen jendela kamar sambil meratapi pohon beringin belakang rumah.

"Gue udah denger dari bokap lo soal kondisi mata lo. Kalem aja sih, Sa. Jangan dibawa ke pikiran. Setahu gue, lo kan ceria orangnya. Kita gila bareng juga. Please, jangan depresi dulu." Alma membuka pembicaraan sambil menuangkan jus apel dalam gelasnya. Alisnya yang hitam pekat—karena digambar dengan pensil alis—tampak melengkung jelas.

Aisyah yang sedang memotong kue vegetarian yang berwarna hijau juga ikut menyemangatiku dengan berkata, "Bener banget itu, Sa. Lo gak boleh berpikir gitu. Iman lo yang harusnya dikuatin buat menghadapi ini semua. Ini tantangan, bukan siksaan." Kata-kata yang dilontarkan Aisyah mengena dalam sanubariku.

Aku yang mendengar motivasi dari mereka hanya termenung menatap kosong ke depan—menatap ke arah mereka yang juga duduk di lantai kamar bersama. Mulai sadar. Tapi pikiranku kembali teralihkan dengan kata-kata dokter semalam. Suatu saat nanti, mataku hanya sekedar hiasan.

"Tapi ... suatu saat nanti gue gak bakal bisa lihat kalian lagi. Gue juga gak bisa ngelihat dunia lagi," gumamku pelan sembari mengaduk jus beri dalam gelas menggunakan telunjuk kanan.

"Melihat itu jangan cuma dari mata. Manusia punya hati, punya perasaan, juga punya kepekaan. Gue yakin lo bisa survive di kondisi baru lo nantinya." Lagi-lagi Aisyah membuyarkan pikiran jelekku.

"Iya bener tuh kata Aisyah," sambung Alma menyetujui pembicaraan Aisyah.

Pembicaraan menyerempet ke mana-mana. Pembahasan mengenai penglihatanku perlahan teralihkan dengan hebohnya obrolan kami—emak-emak rempong—yang membahas soal kakak kelas sewaktu sekolah yang jadi idaman saat itu. Kami bertiga tersenyum, tertawa, bahkan sama-sama gila. Sedangkan Agra memilih untuk keluar kamarku dan berteduh di bawah rimbunnya pohon beringin yang dikelilingi oleh rerumputan hijau. Tangannya seperti mengukir sesuatu di batang pohon gahar itu. Entah ngapain dia, mungkin jadi Isaac Newton sang pencetus Teori Gravitasi.

"Eh, itu si Agra ngapain di pohon?" tanya Aisyah padaku sembari menunjuk ke arah Agra yang masih duduk bersandar pada batang pohon.

"Chk, lo kayak gak tahu aja si Agra, dia kan penyendiri. Emang orang jenius kalau mikir gitu. Kalau kita langsung terobos aja, ya nggak?" timpal Alma sambil ikut memperhatikan Agra. Aku tertawa getir dengan candaan garing Alma. Tapi kurasa benar juga. Ngapain banyak berkhayal dan berpikir, lebih baik bekerja dan memandang realita.

Pagi itu lumayan cerah, bukan hanya cuaca saja, namun juga hati dan pikiranku seolah terbuka. Alma, Aisyah, dan Agra adalah teman-temanku yang selalu paham kondisiku satu sama lain. Kami beragam. Tapi kami sepemikiran dan sehati. Eh, kalau Agra aku tidak begitu yakin.

Hingga senja pun menggeser teriknya siang. Matahari mulai berada di ufuk barat langit. Untaian cahayanya mulai memerah. Langit mulai meredup. Alma dan Aisyah akan kembali ke rumah mereka masing-masing dengan diantar oleh supir Papa menuju pusat kota—kampung halaman mereka.

"Thanks, ya. Kapan-kapan main ke sini lagi aja. Gue gak keberatan, kok." Kami bertiga berpelukkan, seolah akan berpisah benua. Kemudian kami beranjak ke luar rumah, menunggu datangnya mobil yang akan mengantarkan mereka pulang.

Mobil pun tiba, lag-lagi kami berpelukkan. Alma dan Aisyah mengelus punggungku seolah menguatkan. "Stay strong ya, Sa. Lo harus kuat. Kita bakal temenin lo kapan aja. Nanti kita gila bareng lagi, ya." Alma meneguhkan kembali sambil memegang tangan kananku. Gigi kawatnya terlihat jelas ketika ia tersenyum.

"Semangat! Jangan tinggalin ibadah." Kemudian Aisyah yang memegang tangan kiriku sembari menyemangati. Alis tebalnya mengernyit ke atas. Wajahnya menenangkan.

Mereka pun masuk ke dalam mobil dan berangkat pulang. Kupandangi mereka yang perlahan menjauh dari rumah hingga lenyap dari pandangan. Aku yang masih dengan pajamas ungu tampak semangat lagi, walaupun tidak mandi pagi, tapi auraku segar kembali. Hari itu penuh makna.

Sore itu aku segera bergegas ke kamar untuk mengambil handuk, merapikan tempat tidur, dan menutup jendela. Di tengah perjalanan, aku baru teringat sesuatu. Agra, di mana dia? Kurasa dia sudah pulang lebih dulu sejak siang tadi. Anak itu memang aneh, datang bisa kapan saja, pergi pun kapan saja dia mau. Tidak pamit.

Sesampainya aku ke kamar, ketika ingin menutup jendela, alangkah terkejutnya aku melihat sesosok siluet yang dengan santainya nongkrong di kosen jendelaku. "KYYAA!!" Aku pun menjerit sekuatnya. Handuk putih yang aku sandang di bahu kanan kulibaskan ke arah orang tersebut.

"Woy, apa-apaan ini!? Gak jelas banget lo!" Rupanya itu Agra. Dia memberontak—mencoba menghindari sabetanku. Sudah dibilang, dia itu tidak bisa ditebak. Suka-sukanya saja nemplok sana-sini di rumah orang.

"Lah, elo kenapa masih ada di sini? Geser buruan! Ngagetin aja. Emang aneh orang kayak elo, ya. Seenaknya aja berkeliaran di rumah orang," tegasku kesal melihat tingkah laku anehnya. Urat dileherku hilang timbul saat mengomel dengan intonasi lantam.

"Banyak nanya. Lo mau ngapain rupanya?" tanyanya balik padaku.

"Mandi, lah. Udah sana lo cabut dari rumah gue!"

"Entar dulu, gue mau ngomong sama lo. Dari pagi kalian keenakan ngerumpi, sampai gue gak bisa ngomong ke elo." Agra menahanku yang akan bergegas mandi. Dia tetap terpaku di kosen jendela, badannya yang diisi tebalnya sweater menghadapku.

"Ngomong apa? Buruan!" bentakku kesal. Alisku kini membentuk huruf V.

"Gini-gini, bentar lagi elu kan gak bisa melihat, ya. Buta lah sebutannya. Jadi mending lo-" Belum kelar bicara, aku menyela Agra yang kembali mengingatkanku perihal penyakitku. "Ih ... lo kok jahat banget, sih, Gra?" Suaraku gemetar mendengar omongan lancang dari mulut Agra. Dia jenius, tapi tidak bisa memahami perasaan orang.

"Chk ... bukan gitu maksud gue. Makanya denger dulu gue ngomong, Sa. Mending di sisa penglihatan lo ini, lo pergunakan buat hal yang bermanfaat. Gue kasih saran lo buat ngejar mimpi, terutama yang bersangkutan sama penglihatan. Puas-puasin gitu," tegas Agra dengan ekspresi serius. Kakinya yang bening karena jarang keluar rumah tampak menggantung dari kerangka jendela.

Aku lagi-lagi terdiam, tidak tahu lagi mau ngomong apa. Tidak punya semangat untuk melakukn apa yang disarankan Agra. Kemudian Agra melanjutkan pembicaraan, ia kembali bertanya, "Gini, deh. Lo punya cita-cita?"

"Gak punya, kalau harapan banyak," jawabku singkat sambil berdiri berhadapan dengan Agra yang masih santai di atas sana. Wajahku tidak sudi melihat muka anak itu.

"Aduh ... Sa. Malang banget hidup lo. Kayak olm."

"Apaan lagi sih itu? Jangan berbelit-belit dong, Gra. Aku mau mandi nih."

"Gue gak bisa diburu-burui. Gue harus jelasin semuanya ke elo. Karena gue peduli sama lo. Sekarang, ikut gue ke pohon beringin belakang rumah lo." Perkataan yang buat aku terkejut adalah ketika untuk pertama kalinya dia bilang kalau dia peduli sama aku. Tapi tetap saja, aku bingung maksudnya apa.

Hari semakin gelap, azan baru saja berkumandang. Matahari tertelan bumi. Apa tujuannya buat mengajakku ke pohon beringin? Entahlah, aku ikut saja. Tanganku siap nampol kalau dia macam-macam.

Aku pun ikut dengannya menuju pohon beringin belakang rumah. Aku tahu, penglihatanku di malam hari hanya 20 persen, makanya jalanku agak sempoyongan. Tanganku meraba tiang-tiang lampu taman yang terpancang di sekitar pekarangan halaman belakang rumahku. Arahku berjalan hanya dituntun oleh tiang-tiang itu. Namun tanpa diduga, Agra menggenggam tanganku dan menuntunku ke arah pohon beringin. Lagi dan lagi, aku tidak bicara sepatah kata pun, tidak mungkin nolak, ditambah aku mulai panik dihantui malam gelap.

"Udah nyampe. Lo duduk di sini, gue nyalakan lampu." Agra melepas genggaman tanganku. Aku duduk di bawah rindangnya pohon beringin itu bersamanya. Kemudian Tik! Suara tombol lampu tidurku yang dipegang Agra menyala.

"Loh? Kok ada sama lo lampu tidur gue?" tanyaku kepadanya yang sedang memegang lampu tidurku yang berwarna merah dan berbentuk bunga mawar.

"Aku pinjam."

"Iishh ... serah lu, deh. Nanti pulangin, ya. Lo mau ngomong apa rupanya? Buruan!"

Agra mengubah posisi duduknya dari bersandar pada batang pohon kini ia duduk tegak menyila menghadapku sambil terus memegang lampu tidur.

"Ini olm ," kata Agra sambil menunjuk batang pohon beringin di samping kami yang terukir dan membentuk gambar binatang menyerupai belut. Dia sepertinya yang mengukir gambar itu. "Jadi olm itu amfibi yang seperti salamander. Olm itu gak punya penglihatan yang baik, tapi dia sangat peka terhadap suasana sekitarnya. Gue berharap, lo bisa mengambil pelajaran dari olm." 

"Lah, gini doang lo sampai ngajak gue ke pohon beringin malam-malam?" Yang benar saja, dia sampai mengajakku ke pohon beringin itu hanya untuk memperlihatkan wujud olm yang dimaksud padaku. Ukiran yang dibuatnya pun tanpa seizinku atau Papa selaku tuan rumah. Tiba-tiba sudah tergambar saja di batang pohon itu.

"Gue cuma menguji kepekaan lo aja sama cahaya. Lumayan bagus, sih. Gue salut sama cewek pekaan kayak elu."

"Udah? Gue mau mandi, nih."

"Yap! Itu aja," tandas Agra menyudahi pembicaraan. Matanya dipejamkan, senyumnya melebar. "Sebenarnya masih ada yang mau gue tanya, tapi gue gak mau buru-buru. Lain waktu gue tanyain lagi. Nih, gue pulangin lampu lo. Masuk rumah dan mandi. Gue yakin umur lo panjang, soalnya olm bisa hidup satu abad." Pembicaraan selesai. Agra pergi. Aku pulang dengan bingung atas tingkah lakunya yang random.

~~~~~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status