Share

[Bab 3] Pilihan Hidup

Malam harinya setelah pembicaraan dengan Agra selesai, aku yang baru keluar dari kamar mandi langsung menuju kamar tidurku untuk segera berpakaian. Malam itu udara sejuk dan mencekam mengisi ragam dunia. Gorden jendela tersibak-sibak lasak seperti hatiku yang gelisah untuk mengutarakan sesuatu pada Papa.

Seusai berpakaian dan termenung sembari menyiapkan mental, aku putuskan untuk berbaur pada Papa menyiapkan hidangan malam. Terlihatlah pria yang menjadi Papa sekaligus Mama yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Kudekati ia untuk membantu meringankan pekerjaannya. Aku mengaduk sup krim jagung di dalam panci atas kompor. Sesekali kutaburi sedikit garam untuk mempergurih cita rasanya. Kami tidak menggunakan penyedap atau MSG, hampir semuanya serba organik.

Papa sibuk memblender buah bit dan apel untuk dijadikan jus bloody maryTampak wajahnya yang lelah sehabis pulang dari kebun untuk menkoordinasi pegawainya yang bekerja di sana. Dia pria hebat.

Setelahnya seperti biasa, kami pun menyantap makan malam di atas meja makan kayu dengan peralatan makan juga serba kayu yang diperhalus. Kami bercengkrama, tertawa, dan kembali gembira. Aku mulai melupakan penyakitku. Hingga pada pembicaraan yang serius, wajahku kembali mendatar.

"Oh iya, kamu rencana mau kuliah di mana? Mau ambil jurusan apa?" Pertanyaan ini lagi yang sudah entah berapa kali Papa tanya padaku. Aku tersedak, mengubah mimik wajah seolah berkata, “Sial, pertanyaan bodoh ini lagi”.

Aku semakin gelisah, selalu dihantui oleh pertanyaan ini. Dengan ragu aku menjawab pertanyaan Papa yang mungkin akan kecewa. "Hmm ... sebenarnya Osa gak mau kuliah, Pa," Intonasi kupelankan  karena pastinya akan terjadi hal yang tidak mengenakan.

Dan benar saja, sontak Papa terkejut dan menaikkan nada bicaranya padaku. Kumis tipisnya bergoyang senada dengan gerakan bibir. "Apa!? Gak mau kuliah? Mau jadi apa kamu, Nak?" Aku terdiam, menggerutu sambil menundukkan pandangan.

"Jangan kecewain papa. Papa mau kamu lanjut kuliah, itu semua demi masa depan kamu—anak papa. Kamu gak harus ngambil jurusan pertanian, kok," sambung papa menekankan keinginannya agar aku berkuliah.

Namun dengan keputusasaanku, upaya Papa tak akan kupedulikan. Di sisa penglihatanku yang entah berapa lama lagi ini, aku ingin hidup bebas. Kemudian pandangan kutengadahkan ke wajah Papa yang tampak emosi. Aku pun menjawab, "Osa gak mau kuliah, Pa. Osa butuh kebebasan, buat ngewujudkan harapan," nadaku gemetar.

"Kuliah itu bukan penjara! Kamu gak papa larang kok buat bergaul sama siapa aja. Jangan banyak tingkah!"

"Bagi Osa kuliah itu tekanan! Buat apa Osa kuliah? Osa gak punya cita-cita. Osa gak bakal mau kuliah. KEPUTUSAN OSA UDAH BULAT!”

Mendengar sifatku yang bersikeras menolak tuntutannya, akhirnya Papa beranjak dari meja makan dan pergi entah ke mana. Kurasa ke teras halaman belakang—tempat ia menyendiri. Papa gak mau main tangan denganku, dia lembut. Baginya pendidikan adalah prioritas untukku. Tapi maaf, bagiku pendidikan hanyalah formalitas untuk dipandang orang karenanya. Aku hanya ingin bersikap realistis. Aku tidak perlu diatur.

Bagaimana cara supaya Papa bisa memahami kondisi hatiku, aku pun tidak tahu. Papa itu hidupnya terlalu teratur, apa saja dijaga. Mulai dari makanan, gaya hidup, sampai pendidikan pun dia jaga. Sedangkan aku, remaja yang tidak punya mimpi atau cita-cita. Baru saja kemarin mimpiku direnggut oleh perkataan dokter. Glaukoma, itu katanya. Seolah dokter kuanggap Tuhan. Apa yang dikatakannya, sudah terpatri dalam diri.

Berkali-kali aku meminta maaf pada Papa yang sedang merenung di teras taman belakang. Wajahnya tampak letih dan sedih. Ia melamun, aku bukan peramal, tidak bisa baca isi pikirannya, tapi aku bisa merasakannya. Mulutku komat-kamit mencoba menjabarkan keinginanku lagi. Kujelaskan semuanya tentang isi hatiku. Keputusanku untuk tidak melanjutkan pendidikan karena penyakit merusak masa depan, sudah bulat. Walaupun teman-temanku sudah memberi motivasi, namun tetap saja, aku harus realistis. Jangan banyak berkhayal. Aku tidak percaya diri, tidak punya ambisi, apalagi membayangkan masa depan cerah nanti. Mustahil.

Papa sama sekali tidak mau menggubris perkataanku. Mungkin pemikirannya yang terlalu imajinatif. Mungkin juga aku yang terlalu berpikiran negatif. Entah. Seperti membengkokan hal yang benar.

Aku kembali ke kamar untuk tidur, tubuhku yang setinggi 165 sentimeter merebah di atas hamparan empuknya kasur. Aku telentang—menatap asbes putih di langit-langit kamar. Lampu kamar tidak hidup malam itu, aku coba membiasakan diri pada keadaan gelap. Penglihatanku ramai, banyak kunang-kunang saat gelap. Aku tidak bisa melihat tulisan karena dihalangi olehnya. Olehnya yang nanti merenggut pandanganku.

Merasa tidak tahan dengan pandangan gelap, aku memutuskan untuk membuka gorden jendela berwarna ungu untuk menerangi kamar. Cahaya rembulan pun berhamburan memasuki ruang kamarku. Malam itu purnama. Angin sepoi-sepoi juga ikut berembus dari ventilasi jendela kamar. Baru kali ini aku takjub dengan indahnya malam. Mataku mulai terpejam. Pikirku melayang. Ragaku tak berdaya. Aku tertidur dalam hening.

~~~~~

Besok paginya, aku terbangun lebih dini. Pukul 6 pagi, ketika matahari masih malu untuk menunjukkan eksistensinya. Aku sudah bersiap-siap di atas sepeda gunung dengan setelan seperti biasa, sweter tebal dengan celana sport

aku kenakan, tidak lupa rambut hitamku yang bergelombang kukuncir agar udara sejuk bisa lalu lalang berembus di kepala.

Hari ini aku akan pergi ke pasar buah yang jaraknya tidak jauh dari rumah—masih di daerah puncak. Pasar itu buka dini hari sekali. Aku berencana untuk menemui Raka, dia adalah temanku yang biasa bekerja di pasar untuk berjualan buah hasil kebun kami. Niatku untuk bertemu dengannya adalah untuk bertukar pikiran. Dia anak desa yang hijrah ke puncak, tapi punya pikiran terbuka.

Perjalanan pun aku lalui dengan menggowes sepeda gunung putih milikku. Aku pergi dari rumah tidak pamit dengan Papa. Sebab, dia malah lebih dulu pergi ke kebun sebelum aku bangun.

Setiap kayuhan sepeda, aku menikmati alam yang indah nan mempesona dengan seksama. Turunan gunung aku lalui dengan hati-hati. Embun pagi masih membasahi sejuknya negeri. Nafasku berembun. Aku selalu mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan padaku. Walau hari itu, saat aku terpuruk, Aku sempat melupakan kehadiran-Nya.

Pasar buah sudah di hadapan. Lokasinya sedikit lebih rendah dari rumahku yang berada di puncak. Terlihat para penjual buah sedang sibuk menyusun buah-buahannya pada stan-stan mereka masing-masing. Terlihat juga sebuah gedung berwarna hijau besar, di situ adalah pasar buah modern. Berdampingan dengan pasar buah tradisional.

"Woy, Sa!" tegur seseorang dari kejauhan yang melambaikan tangannya padaku. Pandanganku yang kabur walaupun sudah menggunakan kacamata, membuatku harus mengayuh sepeda ke stan miliknya yang berada di ujung pandangan.

"Eh, Raka. Kebetulan banget aku lagi nyari elo." Ternyata orang itu Raka. Hari itu ia mengenakan kaos putih polos dengan celana jeans yang ia potong hingga lutut, juga sendal Swallow

hitam membuat OOTD-nya sederhana.

"Kamu mulai sombong, Sa. Semenjak lulus sekolah kamu gak pernah kelihatan lagi. Biasanya, kan pulang sekolah selalu mampir," Raka mengomel seraya menyiapkan dagangannya. Tutur katanya halus, tutur kata anak desa.

"Bukan ... bukan gitu. Gue lagi ada masalah, Ka. Gue mau ngobrol sama elo, bisa?" pintaku padanya yang sedang sibuk merapikan barang dagangannya.

"Cerita aja, gak ada orang kok di sini."

"Serius, nih. Mau denger?"

"Iya, Aku bakal dengar kamu bicara."

Aku duduk di atas kursi plastik berwarna hijau milik Raka. Menghela napas dan mulai bicara. Semua permasalahanku yang terjadi belakangan ini aku tuangkan semua padanya. Dia menghentikan sejenak kerjanya, kemudian ikut duduk menghadapku tanda menghargai pembicaraan.

"Hmm ... ini aku kasih kamu pendapat menurutku, ya." Raka mulai memberi tanggapan. "Jadi, lebih baik kamu ikut aja apa yang menurutmu baik. Kalau gak mau kuliah karena masalah penglihatanmu, ya udah, jangan paksakan. Sama kayak aku, kok. Aku juga malah dari lulus SD udah gak mau lanjut sekolah lagi. Karena bukan minatku untuk menempuh pendidikan." Aku mengangguk menatap dirinya yang memiliki kulit sawo matang. Wajahnya mulai ditumbuhi kumis tipis, kedua lesung pipinya terkembang saat setelah dia memberi opini.

"Hidup itu jangan terlalu realistis,” Dia melanjutkan, “Kamu harus sesekali punya mimpi, punya cita-cita.  Dari dulu, aku tahu kamu mau ke Puncak Jayawijaya, kan? Ya udah pergi! Jangan sia-siakan sisa penglihatanmu. Aku tetap bakal bantu kamu, kok, Sa.

"Ngomong-ngomong, tetap semangat, ya! Aku tahu ini berat. Tapi bisa dilalui," tuturnya panjang lebar memberiku solusi juga motivasi. Tatapannya yang berbinar, seolah menandakan ada hal aneh yang tumbuh dalam hatinya.

Ternyata langkahku sudah benar. Tinggal bagaimana caranya agar Papa bisa memahami keinginanku ini. Aku sangat salut dengan Raka, dia pekerja keras. Dulu kami SD bersama, waktu ditanya cita-cita oleh guru, dia jawab mau jadi penjual buah di pasar buah mengikuti jejak sang ayah. Kami tertawa mendengar cita-citanya. Tapi benar saja, dia mewujudkan cita-citanya itu. Walau sederhana, tapi dia bisa. Lain halnya denganku, denganku yang tidak pernah punya cita-cita. Waktu sekolah saat ditanya tentangnya, aku selalu jawab "Belum tahu, buk, pak." Bahkan sampai sekarang. Malah parahnya lagi, sekarang ketika ditanya tentang cita-cita, aku pasti jawab "Gak punya." Lumayan ada peningkatan, peningkatan akan kemunduran.

Walau pembicaraan telah usai, aku masih nongkrong di stan milik Raka. Aku masih stay di atas kursi plastik hijau miliknya. Sambil bersandar, aku iseng membuka ponsel pintarku. Sudah lama tidak bermain gawai walau sering kubawa ke mana-mana. Aku kurang suka bermain di dunia maya yang tidak realistis. Raka sedang melayani para pembeli yang datang. Pagi itu di pasar buah sekitar pukul setengah delapan sudah sangat ramai. Masyarakat sekitar maupun turis luar wilayah sering mampir ke pasar itu karena letaknya berada dekat dengan puncak.

Setelah bercengkrama dan melihat-lihat keadaan pasar buah yang sudah lama tidak aku kunjungi, kini saatnya aku pulang ke rumah. Aku berpamitan dengan Raka yang masih sibuk melayani pembeli. Aku kembali mengayuh sepeda dengan membawa 2 buah naga yang diberikan oleh Raka untukku gratis. Dia tahu aku suka buah tropis, karena darinyalah, aku suka buah unik ini.

Sepulangnya aku dari pasar buah, siang itu aku ingin langsung saja membuat jus buah naga pemberian Raka. Papa belum pulang dari kebun, biasanya dia pulang saat senja. Aku sendirian di rumah. Hari itu terik, panasnya sampai ke tulang. Biasanya di siang bolong begini aku ke kebun buah Papa, tapi kali ini mungkin tidak.

Kubawa segelas jus buah naga yang tadi kubuat untuk kembali mendekam dalam kamar demi menghindari panasnya matahari. Aku mendekati kamar, membuka pintunya, dan ...

"EH!!! Lo ngapain nongkrong di situ!? Ngagetin aja." Aku terkejut melihat orang itu lagi di atas kosen jendelaku yang terbuka. Kali ini tidak terlalu terkejut melihat Agra yang lagi-lagi nemplok seenak jidat di kosen jendela kamarku yang sengaja kubuka karena masih siang, dan tubuhnya terpampang jelas kelihatan—tidak serupa kemarin sore yang hanya siluetnya saja kelihatan.

"Lo ngapain lagi, sih!?" tanyaku sedikit emosi sama kelakuannya yang tidak bisa ketebak. Tubuhnya yang dibalut baju model zip berwarna abu-abu bersandar di kokohnya kosen jendelaku yang lebar. Pandangannya menatap sisi kosen satunya seolah mengabaikan perkataanku. Kedua tangannya ia lipat di atas dada.

"Gue mau ngelanjutin ngobrol sama elo," jawabnya datar. Pandangannya menghadapku yang duduk tegak di atas kursi komputer ungu sambil memegang gelas berisi jus buah naga.

"Kalem aja. Kita ngobrol santai."

"Ya udah, ngomong aja, Gra."

"Lo duduk tegak di kursi itu, itu maknanya lo tegang, padahal ada sandaran di kursi itu. Tenangin diri dulu," pintanya untuk aku menenangkan diri. Entah ramalan dari mana dia bisa tahu perasaanku. Dia suka berteori dan menebak-nebak.

Aku pun bersandar tenang menghadapnya. Berasa diinterogasi.

"Oke-oke. Aku ulangi pertanyaan semalam. Lo punya cita-cita," tanyanya lagi mengulang pertanyaan semalam. Interogasi dimulai.

"Enggak ada, Gra ...."

"Kenapa?"

"Gue gak suka banyak berkhayal. Gue realistis orangnya."

"Coba definisikan arti realistis menurut lo."

"Realistis itu orang yang gak banyak berkhayal," jabarku sok pintar di hadapan orang jenius. Ketika Agra menanyakan arti realistis padaku, sejujurnya aku tidak mengerti dengan pasti soal itu. Jadi aku jawab sebisanya saja.

"Wakakakakak." Dia malah tertawa mendengar penjelasanku. Aku cengengesan melihat muka cool namun lugunya yang tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak begitu. Baru kali ini setelah bertahun-tahun berteman dengannya aku mengetahui kalau dia punya gigi gingsul di bagian kiri sebelah taring.

"Nih, ya, gue jelasin yang benar. Realistis itu orang yang bermimpi semampunya. Gak terlalu tinggi, tapi tetap punya mimpi, dan merealisasikannya.Tapi kalau lo beda lagi, gak punya mimpi sama sekali. Itu namanya pesimistis, bukan realistis," dia menjelaskan arti sebenarnya dari realistis. Kegembiraannya hanya sekelebat saja, ekspresinya kembali jutek.

"Udah, deh. Lo juga ngapain sok care sama gue? Jangan sok pintar, pakai ngerendahin aku segala!" ucapku dengan nada tinggi karena kesombongannya. Dia pintar, tapi sombong. Seolah dirinya yang paling jenius di muka bumi ini. Dia juga selalu mencampuri urusanku.

Senyuman kecil tersirat di wajahnya, kemudian ia berkata, "Emang gue care sama elo, Sa." Aku terkejut mendengar perkataannya. Dia menatapku tajam. Aku menatapnya bingung. Kemudian dia melanjutkan perkataan. "Sejujurnya waktu gue dengar kabar soal penyakit yang lo rasain sekarang, gue khawatir. Beberapa kali gue cari tahu soal glaukoma, nyari tahu tentang bagaimana penyembuhannya. Dan hasilnya, zonk. Glaukoma gak bisa disembuhin."

"Terus?"

"Ditambah lagi, lo yang berkali-kali bilang gak punya cita-cita, gak tahu mau ke mana, itu makin buat gue khawatir. Gue gak mau elo putus asa. Lo boleh bersikap realistis, tapi please, lo harus juga bersikap imajinatif. Punya mimpi, kemudian wujudkan. Bukan hanya harapan aja. Karena harapan adalah keinginan yang lo berikan pada orang lain. Memang siapa yang mau mewujudkan harapan lo? Jangan terlalu berharap.

"Sekarang gue tanya, apa harapan lo yang ingin diwujudkan?" katanya panjang dan kemudian bertanya padaku. 

Kali ini wajahnya tampak serius, tegas menatapku. Cowok yang kukenal soft boy ternyata punya sisi tegasnya juga. Aku menundukkan pandangan sambil melamuni jus buah naga dalam genggaman. Mencoba menelaah perkataan Agra, juga mempersiapkan jawaban yang ia tanyakan.

"Ha-harapanku bukan soal masa depan, Gra. Harapanku mudah," aku bergumam pelan dan gugup. Mulai jinak.

"Jelaskan," pintanya.

"Pertama, gue mau diving di Kepulauan Raja Ampat. Kedua, gue kepingin mendaki Puncak Jayawijaya di Papua. Ketiga gue mau ketemu kembaran gue. Ya udah, itu aja, sih." Aku menjelaskan harapan-harapanku yang ingin kucapai dengan tatapan kosong.

"Hah? Kembaran?" tanya Agra padaku sedikit terkejut.

"Iya, kenapa? Lo tahu pasti kan, gimana rumah tangga keluarga gue ?"

"Eh, enggak, kok. Gue ngerti apa maksudnya,” Agra mendeham, kemudian melanjutkan, “Ternyata lo anak alam banget, ya. Kalau Cuma itu saja gampang. Ajak teman-teman lo buat traveling ke tempat-tempat yang lo sebutin tadi. Asal ada biaya aja. Gini-gini, gimana kalau minggu depan kita berangkat ke Papua," pinta Agra.

Sejenak aku diam, berpikir kalau masih ada yang mengganjal jika aku meninggalkan Papa dalam kondisi tidak baik. "Tapi ... gue ribut sama papa semalam karena gue gak mau kuliah. Udah gue bujuk tapi papa gak mau menggubris.”

"Hmm ... itu gampang, pokoknya nanti kalau papa lo pulang, ceritain aja soal rencana traveling ini. Pasti dia jawab, kok." Agra kembali meyakinkan aku.

"Ya udah. Lo pulang aja dulu mending. Soalnya bentar lagi sore, papa biasa pulang sore. Nanti kita dikira ngapain lagi."

Agra pun bergegas keluar dari kosen jendelaku. Dia melompat, mungkin berkhayal jadi atlit parkour. Tidak tahu, tapi aneh, belakangan ini dia bersikap segitu pedulinya sama aku. Dia paham sekali perasaanku, sama seperti Raka. Tapi yang membedakan yaitu sifat: Kalau Raka pekerja keras, kalau Agra pemikir keras.

Walaupun dia juga tinggal di puncak, tapi aku tidak pernah tahu rumahnya. Tak ada juga kepikiran buat mengintili dia ketika pulang. Dia terlalu misterius.

Senja pun akhirnya tiba. Udara sejuk mulai menyisiri dedaunan yang ada di pekarangan rumahku. Pohon beringin belakang rumah tampak bergoyang seirama embusan angin. Aku terus menatapnya dari kosen jendela. Jiwaku terasa tenang. Suara angklung terdengar dari pintu masuk rumahku yang dipajang menggantung, angin yang berembus mesra membuatnya bersuara merdu seolah orkestra alam.

Diriku yang masih tetap terfokus pada pohon beringin belakang rumah, mulai terbayang sosok keluarga kecil yang kumiliki namun tidak bisa bersama. Aku mulai berkhayal, seandainya Mama dan kembaranku tinggal di sini, pasti menyenangkan. Aku tidak tahu gimana rasanya kasih sayang Mama. Kata orang, Mama itu segalanya. Bahkan banyak orang membuat kiasan tentang kasih sayangnya. Bidadari tak bersayap, perempuan paling mulia, hingga kasihnya yang sepanjang masa. Apakah itu terlalu berlebihan? Entahlah, aku tidak pernah ada di posisi itu.

"Ey, melamun aja kamu." Tiba-tiba Papa tampak berkacak pinggang di depan pintu kamarku. Dia sudah pulang sambil memegang aluminium foil berisi ubi bakar.

"Eh ... Papa," jawabku sedikit terkejut. Keheningan pecah.

Papa mendekatiku yang berada di kosen jendela, lalu memberikan ubi bakar yang ia genggam padaku, aku menerimanya dengan sukacita. Kemudian tangan kanannya memegang kepalaku sambil mengelus-elus lembut. Dia tersenyum tulus padaku. Aku tersenyum bingung padanya.

"Jadi kamu mau traveling, ya?" tanya Papa berdiri di hadapanku yang sedang duduk di kerangka jendela itu. Tangannya masih menimpa kepalaku.

"Loh, kok Papa tahu? Padahal kan belum Osa kasih tahu?" Mendengar hal itu, aku kembali terperangah, dari mana Papa tahu soal kemauanku itu?

"Papa dikasih tahu temanmu."

"Temanku yang mana?"

"Itu, yang laki-laki pendiam itu. Yang suka pakai baju sweter, kadang  juga pakai baju zip. Papa gak tahu namanya."

"Oh, Agra. Memangnya kapan dia ketemu Papa?"

"Tadi siang, waktu papa di kebun sayur, dia datang dan cerita semuanya ke papa. Dia juga yang membujuk papa supaya kamu dibolehin gak lanjut kuliah karena mau traveling."

"Hmm ...," aku menghela napas dan lanjut bicara, "Jadi ... Papa udah izinkan Osa buat gak kuliah, nih?"

Papa mengubah posisi berdirinya menjadi berlutut menghadapku. Kini tingginya sama denganku yang masih nangkring di kosen jendela. Dia menatapku dalam, memegang pundak kirku dan berkata, "Dari anak itu juga papa seolah diajarkan untuk gak terlalu bersikap realistis pada kehidupan. Papa tahu, pendidikan itu adalah kewajiban formal setiap pejuang mimpi. Tapi papa sadar, mimpi gak mungkin jadi nyata kalau kamu aja gak punya passion dalam bidang pendidikan formal," Papa mulai memahamiku.

"Jadi Osa boleh traveling ke Papua?" tanyaku sedikit gembira. Sekilas senyum mulai merekah dari wajah ovalku.

"Pastinya! Tapi kamu harus pergi barengan sama teman-teman yang lain, ajak mereka. Soalnya papa juga sedikit khawatir tentang penglihatanmu. Tapi papa yakin sama temanmu Agra. Dia orang baik, pintar juga," jawabnya jelas menyetujui keinginanku itu.

"Ma-makasih ya, Pa. Osa janji bakal jaga diri di sana." Kegembiraan tergambar di wajahku. Akhirnya harapanku yang akan menjadi cita-cita bakal terwujud. Dari dulu Papa selalu larang aku buat traveling jauh-jauh tanpanya ke alam terbuka.

Papa juga tersenyum. Ia memelukku erat dan berulang kali menciumi kepalaku. Hari itu penuh makna, Agra yang bukan siapa-siapa malah jadi pemeran utama yang menyatukan kami berdua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status