Share

[Bab 1] Oryza Sativa

"Jika kau merasa nelangsa akan kondisimu, mungkin kau egois. Karena banyak orang yang kecewa akan perilakumu yang kau sendiri tidak mengetahuinya"

~~~~~

Rasanya aneh, hanya orang model sepertiku saja yang tidak punya ambisi untuk melakukan apa pun, tidak punya tujuan hidup, bahkan tak mau berurusan sama yang namanya cinta. Hidupku damai-damai saja. Alam, adalah panorama yang tidak akan berkhianat menemaniku, jadi tidak mungkin kan aku berselisih paham dengannya? Tapi jika aku dilarang untuk bisa melihat alam lagi, baru itu masalahnya.

Aku menengadah ke langit luas, hari mulai senja. Gradasi warna kuning, oranye, dan rona merah, melukis lanskap langit. Bagaimana bisa aku keluar dari kebun buah milik Papa dan kembali ke gubuk tempat kami berkumpul, dengan kondisi rabun jauhku yang semakin parah ini? Bahkan kacamata miopi hitam yang dari siang tadi kugunakan seolah tak berfungsi lagi sekarang.

Langitnya semakin keruh, berbeda dari biasanya. Awan kali ini sangat gelap, ada kilatan cahaya di dalamnya. Aku rasa gumpalan awan gelap itu adalah awan kumulonimbus. Aku tahu itu sewaktu di SMA dulu—di jurusan IPS. Sepertinya hujan akan menyerbuku.

Tik-tik-tik ...

Aku beralih pandang menghadap tangan kananku yang seperti merasa ada tetesan air yang jatuh. Buah-buahan yang kupetik dan kumasukkan ke dalam keranjang rotan tampak basah oleh rintikkan itu. Aku terkepung.

Derap langkahku percepat, menyusuri jejeran pohon apel yang rindang dan tersusun rapi laksana tembok tegak perkasa. Rambutku yang hanya sebahu ikut bergoyang sesuai ritme hentakkan kaki. Jantungku berdebar kencang seperti ingin meletus. Napas tidak beraturan, pikir tak karuan ....

"PA ... PAPA ...!!" aku menjerit dengan irama gemetar mencari di mana Papa. Embusan angin kencang menerpa gelombang suaraku yang tidak seberapa. Suaraku tak terdengar oleh siapa-siapa.

Semakin kelimpungan, aku tancapkan tenaga otot kaki sekencang-kencangnya menebas jalanan berumput lebat kebun itu. Aku berlari tak tentu arah. Buah-buahan seperti apel, stroberi, jeruk, dan lainnya tampak berjatuhan dari keranjang anyaman rotan yang kutenteng.

Hujan semakin deras, bulir-bulir air yang jatuh ke tanah tampaknya semakin banyak. Wajah ovalku tampak dipenuhi olehnya sehingga membuat napas tersengal. Lariku tidak kendor sama sekali, malah semakin kencang. Hingga seonggok akar atau apalah itu yang menyembul dari tanah menerjang pergelangan kaki.

Buk!!!

Aku terjatuh menggelepar ke tanah. Daguku mendarat lebih dulu ke permukaan becek lahan kebun itu. Keranjang yang kusandang di lengan, terjatuh dan membuyarkan tumpukkan buah ke lahan perkebunan. Berserak.

Syok, lemas, dan pingsan karenanya.

~~~~~

Sial! Aku tidak bisa melihat apa pun sekarang. Di mana aku? Apa yang terjadi setelah insiden itu?

Kepalaku masih terasa oyong dan meremang gelap. Kupegang titik perih lainnya dengan tangan yang meraba mengarah dagu. Benda lembut apa ini yang melekat di sana? Mungkin ini perban dan kapas yang menempel membungkus luka.

Aku mengerang kesakitan, dari batang hidungku tampak kerutan. Dengan susah payah aku mencoba membuka mata, namun masih tidak kelihatan apa pun, mungkin karena aku tidak memakai kacamata. Rabun. Tapi aku melihat bayangan seseorang di kiriku. Apakah itu Papa?

"Osa, kamu sudah siuman?" Benar saja, orang itu adalah Papa yang bersuara berat. Tubuhnya yang gahar membuat suara keras terdengar ketika ia menggeser benda.

Papa mengenakan kacamata ke pandanganku, tampaklah rambut cepak dan kumis tipisnya yang basah karena air hujan. Alisnya mengernyit khawatir memandangku. Aku manggut-manggut berisyarat mengiyakan pertanyaannya. Kemudian kurubah posisi tidurku menjadi duduk bersandar bantal di kepala kasur. Ini di kamar.

"Kamu sekarang di kamar. Tadi papa nemuin kamu pingsan di kebun apel. Lalu papa gendong kamu ke gubuk. Papa telepon pegawai buat membawakan mobil untuk kita pulang. Soalnya hujan sangat lebat tadi." Papa menjelaskan kronologi kejadian padaku sambil mengaduk teh hangat yang di dalamnya berisi perasan jeruk lemon, punggung tangan kirinya yang dihinggapi tahi lalat, menghampiriku sambil memberi gelas. “Tenang aja, yang gantiin pakaian kamu ibu pemetik buah. Bukan papa, kok.”

Aku menyeruput pelan teh tersebut, menenangkan pikiran, dan mulai berkata, "A-aneh banget tadi, Pa. Padahal biasanya walau di tempat gelap, pandangan Osa gak separah tadi. Tadi itu udah rabun banget, gak kelihatan apa-apa."

"Hmm ... papa juga gak tahu soal begituan. Kalau cara nanam bonsai, papa tahu, hahaha ...” Dia tertawa, memperlihatkan gigi seri bawahnya yang mulai berkarang. “Besok lah, kita ke rumah sakit kota," tandasnya menjawab omonganku sambil bergurau. Ia duduk di kursi komputer milikku yang berwarna ungu dengan sandarkan busa lembut di dalamnya.

Aku menghela napas, memang beberapa hari ini penglihatanku terasa semakin parah. Apalagi saat malam hari, mau dari dekat atau dari jauh, pandanganku tetap saja rabun, buram seperti perasaanku yang menerawang pahitnya masa depan.

Besok kami akan pergi ke Rumah Sakit Kota untuk memeriksakan kondisi mataku. Harapanku hanya satu: jangan halangi aku untuk melihat indahnya alam bebas.

~~~~~

Jarum jam telah selesai berputar, kini saatnya ia mengulang tugasnya kembali sampai waktu terhenti. Hari sudah berganti, waktu menunjukkan pukul 05.30 WIB. Mentari masih malu-malu menunjukkan eksistensinya di ufuk timur bumi kala itu.

Semalam, rasanya menggantung sekali aku tidur. Menahan perih di dagu, juga mendebarkan jantung karena hari ini adalah hari pemeriksaan mata. Nampaknya itu hal yang sepele, yang bahkan anak berusia 18 tahun sepertiku harusnya tidak mencemaskannya lagi. Tapi rasanya tidak denganku, setiap hal-hal yang menurutku besar dan akan kulalui, rasanya menakutkan, padahal belum tentu hasilnya mengecewakan. Suka berburuk sangka—suuzan.

Pagi ini aku putuskan untuk tidak absen melaksanakan rutinitas setiap bangun tidur: menggowes sepeda.

Dengan masih mengenakan piama, tampilanku pagi ini masih sangat buluk. Muka bantal yang penuh luka hanya kubasuh dengan air—tidak mandi—atau lebih tepatnya belum, karena memang biasanya aku mandi setelah olahraga pagi.

Sepeda gunung ber-body putih dengan lis hitam kukeluarkan dari garasi rumah. Di moncong sepeda tertera lampu yang akan menerangi jalanan gelap. Aku menungganginya, mengayuh pedalnya, dan kemudian meluncur menyusuri dunia.

Kayuhan pedal sepeda sesekali kuperlambat karena lelah, juga ingin melihat keindahan alam sekitar dengan lebih seksama. Banyak pepohonan yang masih rindang nan asri yang tertancap rapi di permukaan tanah. Kelokan, tanjakan, turunan aku lalui perlahan. Aku tinggal di daerah puncak, jadi jangan heran dengan kondisi alam dan jalanan di daerah sini.

Dari atas sini tampak gundukan bukit yang mencakar-cakar langit karena ketinggiannya. Embun pagi pun masih bisa dirasa dalam napas. Langit hari itu tampak cerah, tidak ada awan hari ini.

Hah! Rasanya sia-sia aku melewati kenikmatan yang hakiki ini dengan melakukan hal yang tidak berguna di dalam rumah. Aku sangat menghargai karya Tuhan, tidak pernah sama sekali aku menyia-nyiakannya apalagi menghindarinya. Kecuali waktu senja, malam hari, atau apa pun yang berkaitan dengan kegelapan.

Setelah kurang lebih setengah jam aku menggowes sepeda, kuputuskan untuk kembali ke rumah secepatnya, karena kami akan segera menuju rumah sakit pagi ini atas janji dokter yang sudah berkompromi dengan Papa semalam.

Waktu masih menunjukkan pukul tujuh, masih ada 4 jam lagi sebelum kami ke pusat kota untuk pemeriksaan mata. Aku memutuskan untuk berehat sejenak di tempat tongkrongan biasa yang aku datangi ketika sedang bosan, meratap, juga waktu kosong. Tempat itu adalah kosen jendela kamarku sendiri.

Aku duduk di kosen jendela kamar yang besarnya bagai gua yang menganga. Kakiku menggantung, mengayunkannya perlahan dengan santai. Tatapanku terus terpaku ke pohon beringin rindang yang berhadapan langsung dengan kamarku—di halaman belakang rumah.

Pohon beringin yang teduh itu masih saja berdiri di sana. Kata Papa sih, pohon beringin melambangkan persatuan. Tapi nyatanya, keluargaku hancur tak karuan. Hahaha ... aku benci kiasan. Kuterus menatap rindangnya pohon itu berdiri kokoh sambil sesekali meratap sepi, itulah kegiatanku sebagai anak yang tinggal seorang diri bersama Papa.

Papaku berkata bahwa pohon beringin belakang rumah itu adalah saksi bisu terbentuk hingga hancurnya rumah tangga mereka, yang membuat aku dan kembaranku terpisah karena hak asuh. Bahkan aku tidak tahu siapa nama kembaranku itu, bagaimana kondisinya, dan apa yang sering ia lakukan bersama Mama yang jauh di sana. Entah di mana.

Kadang aku nongkrong di kosen jendela ini juga karena pertanyaan Papa yang sampai sekarang belum bisa kuberi penjelasan. “Nanti mau lanjut kuliah ke mana?”

Padahal aku berharap pertanyaan Papa bukan begitu, tapi, “Mau lanjut kuliah atau tidak?”

Ya! Itu karena aku tidak punya ambisi untuk melanjutkan pendidikan hingga kuliah. Bahkan cita-cita pun aku tidak punya, tidak niat, tidak tertarik juga. Sudah jelas aku tak mungkin bisa menjadi seperti Papa, seorang S2 di bidang pertanian.

Eh, ya ampun, aku lupa, ini sudah pukul delapan, waktunya makan pagi. Aku lupa bantu Papa menyiapkan makanannya. Dengan bersicepat aku beranjak dari kosen jendela, melangkah keluar dari kamarku yang penuh warna. Tidak tahu kenapa, aku sangat suka sama warna, kecuali warna gelap. Mataku sakit karenanya.

Sampailah aku di ruang makan yang di sekitarnya teronggok meja makan bulat dari kayu, warnanya coklat mengilat. Sesekali kugoreskan kuku jari tangan di atas meja itu, tidak  tahu kenapa juga alasannya, stetisfying saja. Sesekali kepalaku memperhatikan Papa yang sedang menyiapkan makanan di dapur tidak jauh dari meja makan tempat aku duduk. Kulitnya sawo matang, dulunya sih putih. Sekarang saja sudah mulai gosong karena keseringan terbakar sinar matahari. Soalnya Papa selalu turun tangan langsung buat mengurus kebunnya bersama pegawai. Dia petani handal, pecinta alam sama seperti aku. Saking cintanya sama alam, sampai dekorasi rumah pun bertema nature.

Papa mendekatiku yang berada di meja makan. Kedua tangannya memegang tatakan kayu yang di atasnya ada sepiring mangkuk dan gelas yang juga berbahan dasar kayu.

"Jus wortel campur susu dan sup krim jagung punya Osa. Habisin, ya," Papa mendekat ke meja makan sambil menyuguhkan sarapan di hadapanku. Mataku terus mengikuti arah hidangan lezat itu hingga mendarat menuju meja makan.

"Eh, Pa. Sorry, ya. Osa gak bantuin Papa buat nyiapin makan pagi." Aku cengengesan saja sambil minta maaf karena tidak membantu Papa menyiapkan sarapan. Kebanyakkan melamun.

"Bukan masalah, Nak. Kamu makan aja pokoknya. Papa udah makan ubi bakar sisa panen bulan lalu tadi, waktu kamu bersepeda," jawabnya sambil tersenyum memperlihatkan kerutan di ujung kedua matanya. Dia sudah kepala empat.

"HAH!? Papa makan ubi bakar hasil kebun? Kok gak sisain buat Osa!?" aku menggerutu  seusai meneguk segelas jus wortel yang ampasnya menempel di bibir atas. "Papa tahu kan, Osa suka banget ubi bakar."

Papa duduk di kursi meja makan dan menatapku sambil menghela napas. "Ih, kamu udah besar masih aja kayak anak-anak gitu. Jangan merengek, udah tamat sekolah, kan?" Papa menasihatiku yang kadang masih bertingkah kekanak-kanakan. Lagi-lagi aku cengengesan. Memang benar, aku masih suka labil. Katanya. Tapi bagiku hal itu memang nyata adanya.

Pagi itu setelah sarapan, aku dan Papa langsung berangkat ke kota untuk pemeriksaan mata, karena perjalanan dari puncak ke kota lumayan jauh. Papa sedang memanaskan mesin mobil di garasi, sedangkan aku sibuk mencari setelan hari ini. Sweater merah tua, celana denim abu-abu, juga sepatu kets sewarna dengan sweater aku gunakan untuk pergi. Tidak lupa kuselempangkan tas kulit di pundak. Kami pun berangkat mengendarai mobil Alphard putih milik Papa.

Brrm .... Kepulan asap hitam dari mesin mobil membuncah keluar, membuat udara sekitar menjadi lebih “berwarna”.

~~~~~

Mobil pun berhenti tepat di Rumah Sakit Mata Pusat Kota. Papa dengan ligat Memarkirkannya, kemudian kami masuk ke dalam RS.

Aku dan Papa duduk rapi di jejeran bangku besi tempat para pasien menunggu namanya dipanggil. Suasana di tempat ini sudah lumayan ramai, padahal hari masih pagi. Ya, namanya juga di kota, pasti setiap sudut ruangan diwarnai oleh hiruk-pikuk keramaian. Tidak peduli seberapa dini waktu memulai hari.

"Oryza Sativa, pasien nomor tiga, silakan masuk ke ruangan," panggil salah seorang perawat di rumah sakit itu. Kami pun bergegas menuruti perintah dengan masuk ke ruang pemeriksaan.

Aku langsung mendapatkan banyak tes penglihatan, entah tes apa saja, yang jelas banyak. Dokter juga banyak nanya soal penglihatanku, sudah sepeti interogasi polisi—mendetail.

Satu jam kami menunggu. Mataku yang sudah mulai puyeng melihat putihnya ruangan rumah sakit akhirnya teralihkan ketika dokter datang menghampiri. Dia mengajak kami ke dalam ruangan sepetak yang sepertinya itu ruang pribadi untuk diskusi penting dengan pasien.

"Bagaimana hasilnya, dok?" tanya Papa pada dokter yang berada di hadapan kami. Tampak wajah Papa yang cemas terlukis dalam ekspresi.

"Anak Anda sepertinya menderita penyakit penglihatan glaukoma," tutur dokter itu sambil memegang kertas yang tidak jelas apa tulisannya. Wajahnya tampak pasrah dan siap menerima reaksi kami.

Dengan sontak Papa nampak shock mendengar hal itu. Beberapa kali pandangannya mengalih padaku yang duduk di samping kirinya. Dia terperangah dan seolah tidak percaya. Bibirnya terkatup dan ludah ditelan kuat-kuat yang menandakan mentalnya terguncang kacau.

Aku yang tidak tahu soal ilmu kedokteran, akhirnya angkat bicara dan bertanya pada dokter, "Memang kenapa, sih? Glaukoma itu penyakit apa, dok? Kan bisa disembuhin?" tanyaku tanpa henti dengan ekspresi ingin tahu yang menggebu. Jantungku berdebum kencang karenanya.

"Hmm ...” Dokter menghela napas dalam-dalam. Sepersekian detik dia terdiam, seolah sedang mengolah kalimat terbaiknya sebelum ia ungkapkan dengan terpaksa. “Glaukoma itu penyakit mata yang disebabkan oleh saraf yang menghubungkan mata ke otak rusak. Akibatnya, penglihatan perlahan berkurang hingga akhirnya buta permanen. Pandangan di tempat gelap juga terganggu. Hanya 75 persen sisa pandangan kamu tersisa. Sedangkan untuk ruangan gelap 20 persen. Belum ada cara penyembuhan untuk penyakit ini.”

Mendengar hal itu aku pun ikut terkejut, walau sedikit terlambat, tapi ungkapan mengerikan dari dokter membuatku syok. Kepalaku berkali-kali mengarah ke Papa yang sedang meratap. Mataku yang memandang mulai tampak berkaca. Pandanganku terganggu oleh genangan air dalam kelopak. Aku keluar dari ruangan dan langsung pergi memasuki mobil kami yang terparkir di depan rumah sakit. Aku menangis. Rupanya harapan hanyalah doa tanpa hasil.

Kacamata hitam kucampakkan keras mengenai kaca depan mobil, untungnya tidak pecah. Berulang kali kukucek-kucek kedua mata sambil terus menangis bercecer air dari dalamnya. Pikirku sudah tidak karuan, entah takdir apa yang sedang direncanakan Tuhan sehingga penyakit seperti ini menimpaku secara tiba-tiba.

Sejak saat itu aku terpuruk. Aku tidak mau keluar rumah untuk melihat indahnya alam puncak lagi. Mataku seolah tidak rela melihat ragam warna dalam dunia. Hidupku monokrom.

~~~~~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status