Share

Bab 4 - Jadi rajin

Author: Sils
last update Last Updated: 2025-01-03 13:34:14

Tanpa sepengetahuan Rania, di balik jendela besar ruang depan rumah itu, sepasang mata tajam mengawasinya dengan tenang. Lelaki itu berdiri, menyandarkan bahu pada kusen, memperhatikan gerak-gerik Rania yang terlihat jelas dari balkon kamarnya. Senyum miring tersungging di bibirnya.

"Lucu," gumamnya pelan, hampir seperti bisikan. Setelah itu, ia berbalik, langkahnya tenang menuju taman belakang, meninggalkan jendela dan gadis yang tampak terlalu penasaran tersebut.

Hari pun bergulir. Tapi pagi ini berbeda untuk Rania. Jam masih menunjukkan pukul lima subuh, namun dia sudah terbangun, bahkan dengan semangat yang jarang sekali dia rasakan. Biasanya jam segini dia masih meringkuk di bawah selimut, tapi kali ini?

Rania sudah berdiri di depan cermin, mengenakan pakaian olahraga. Legging hitam dan kaos olahraga yang pas di badan, rambut dikuncir sederhana. Dia menatap bayangannya di cermin sambil tersenyum tipis.

"Eh, kenapa gue jadi semangat banget ya pagi ini? Aneh," gumamnya sambil menarik napas panjang.

Dia mengambil botol minum di meja, menaruhnya di saku kecil tas pinggang yang dia pakai. Sepatu olahraga putih sudah terpasang rapi di kakinya. Rania menatap jam dinding lagi, memastikan. "Masih jam lima lewat sepuluh. Kapan terakhir kali gue bangun pagi buat olahraga?" pikirnya, sedikit heran pada dirinya sendiri.

Dengan langkah ringan, dia turun ke lantai bawah. Rumah masih sunyi, hanya ada suara sesekali dari dapur, mungkin Bibik lagi siap-siap juga.

"Eh, Mbak Rania, kok udah bangun? Tumben pagi-pagi udah rapi," tanya Bibik dengan nada terkejut, melihat Rania sudah mengenakan pakaian olahraga.

Rania hanya nyengir. "Iya, Bik. Pengen lari pagi aja. Mau keliling komplek, gitu," jawabnya santai.

"Bagus, bagus! Biar sehat ya, Mbak. Tapi jangan lupa, hati-hati di jalan, ya."

"Iya, tenang aja, Bik." Rania melambaikan tangan dan keluar rumah.

Udara pagi terasa segar banget. Langit masih agak gelap, tapi suasana komplek sudah mulai hidup. Beberapa tetangga juga terlihat keluar rumah, ada yang menyiram tanaman, ada juga yang berjalan pagi.

Rania menarik napas dalam-dalam, lalu mulai berjalan perlahan, sebelum akhirnya berlari kecil di sepanjang jalan komplek. Tapi jujur, ada tujuan tersembunyi yang bikin dia semangat pagi ini. "Rumah baru itu. Kalau gue keliling komplek, siapa tahu bisa ketemu si Om hot itu lagi."

Pikiran itu bikin Rania tersenyum kecil sendiri, tapi dia segera menggeleng, mencoba menyangkal. "Ah, gue ngapain sih mikirin yang aneh-aneh. Ini cuma lari pagi biasa. Nggak lebih."

Tapi langkah kakinya tetap mengarah ke jalur yang melewati rumah tetangga baru itu. Mata Rania melirik cepat ke arah rumah besar di seberang. Jendela-jendela tampak tertutup, lampu di depan rumah masih menyala. Tidak ada tanda-tanda aktivitas di dalam.

"Ah, mungkin masih tidur kali ya? Atau... mungkin dia juga suka olahraga pagi? Siapa tahu gue ketemu di jalan!" Pikiran itu bikin jantung Rania berdegup lebih cepat, tapi dia segera menenangkan diri.

"Lari, Ran. Fokus lari. Bukan ngelamun!" katanya pelan, memotivasi dirinya sendiri, sambil terus berlari melewati rumah itu. Tapi entah kenapa, langkahnya terasa lebih ringan hari ini. "Semoga ada alasan bagus buat terus semangat olahraga kayak gini..."

Gue terus lari, ritme napas mulai teratur meskipun kaki udah sedikit berat. Beberapa kali papasan sama tetangga yang udah lumayan berumur—seumuran Bunda sama Ayah. Mereka pada bengong, mungkin heran banget ngeliat seorang Rania yang jarang banget keluar rumah, tiba-tiba ada inisiatif buat lari pagi.

Salah satu Ibu-ibu yang suka ngumpul sama Bunda bahkan sempet manggil gue. "Rania! Eh, tumben banget lari pagi? Ada angin apa nih?"

Gue senyum kecil sambil tetep jalan di tempat biar nggak kehilangan momentum. "Iya, Bu. Lagi pengen sehat aja," balas gue dengan nada sok santai.

Si Ibu ngangguk, tapi jelas banget matanya penuh kecurigaan, kayak lagi baca gerak-gerik gue. Gue buru-buru lanjut lari sebelum dia nanya lebih jauh.

Pas sampai di bunderan komplek, tempat ini emang jadi pusat nongkrong warga komplek. Ada tukang jajanan keliling mangkal di bawah pohon-pohon rindang, meja-meja kecil mulai disiapin buat pembeli yang mau duduk. Gue langsung berhenti, haus banget. Kalau minum es boba di pagi seger kayak gini sih, surga dunia!

"Bang, boba milk tea satu ya," gue melambai ke abang tukang boba yang lagi sibuk ngelayanin pembeli lain.

"Siap, Mbak Rania!" jawab dia sambil senyum ramah.

Gue duduk di salah satu bangku kecil sambil neduh di bawah pohon rindang, nunggu pesenan gue jadi. Tapi mata gue langsung kepincut sama gerobak telur gulung di sebelah tukang boba. Telor gulung, nih! Sarapan bergizi ala Rania.

Gue berdiri lagi, mendekat ke abang telur gulung yang udah sering banget jadi langganan gue. "Bang, sepuluh ribu ya, kayak biasa, pake saos yang banyak!"

"Siap, Mbak. Mau pake saos pedes atau kecap aja nih?"

"Campur aja, Bang. Hidup harus balance!"

Abang tukang telur gulung ketawa kecil sambil mulai ngeluarin tusuk sate dan mencelupinnya ke minyak yang udah ada bihun dicampur telur. "Tumben banget pagi-pagi nongol, Mbak. Biasanya siang aja, itu pun kalau lagi niat keluar rumah."

Gue cengengesan. "Lagi pengen aja, Bang. Sekali-kali jadi warga komplek yang baik."

"Nah gitu dong, sesekali lihat matahari pagi biar fresh," balas dia sambil ngangkat tusuk pertama yang udah mateng.

Pas gue balik ke tempat duduk, boba gue udah jadi. Wah, rejeki anak pagi! Gue langsung duduk sambil nyeruput minuman favorit. Ah, nikmat banget rasanya, meskipun pagi ini gue masih bingung kenapa bisa semangat banget keluar rumah.

Sambil nunggu telur gulung mateng, gue iseng ngelirik sekitar. Beberapa orang yang lagi nongkrong di sini saling ngobrol, suara mereka samar-samar bercampur sama suara kendaraan yang lewat. Tapi entah kenapa, gue ngerasa kayak ada yang merhatiin.

Gue nengok ke kiri, ke kanan, nggak ada siapa-siapa yang familiar. "Ah, halu kali gue. Biasa, efek pagi-pagi belum biasa olahraga," pikir gue sambil narik napas dalam-dalam.

"Nih, Mbak. Telur gulungnya udah jadi," suara abang telur gulung bikin gue kaget dikit. Gue buru-buru berdiri dan nyamber pesenan sambil bayar.

"Thanks, Bang! Rejeki pagi ini komplit banget," kata gue sambil jalan balik ke tempat duduk, siap nyikat sarapan kombo boba dan telur gulung. Tapi di ujung mata gue, samar-samar gue ngerasa kayak ada sosok yang nggak asing lagi lewat di depan gerobak.

Gue melirik cepat. Sebelah mana? Ah, nggak ada lagi. Mungkin cuma kebetulan. Tapi jantung gue tiba-tiba berdetak lebih cepat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Istri Dadakan Si Om Tampan   Bab 29

    Mas Arsen berdehem pelan, menarik perhatian gue yang masih pura-pura sibuk minum. Gue menoleh, menunggu dia bicara, tapi ekspresinya tetap tenang seperti biasa. "Lalu," katanya pelan, nadanya terdengar seolah dia lagi mikirin sesuatu. "Kalau dalam waktu dekat ada yang melamar kamu, gimana?" Gue hampir keselek minuman gue sendiri. "Ha?" Gue menatap dia dengan mata membesar. "Maksudnya, Mas?" Dia tetap tenang, pandangannya lurus ke depan, seolah pertanyaan itu bukan hal besar. "Ya, misalnya aja ada seseorang yang serius ingin melamar kamu. Apa kamu siap?" Jantung gue berdebar kencang. Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba, terlalu langsung, dan—tunggu, kenapa gue merasa ini bukan sekadar iseng? Gue tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Duh, Mas, pertanyaannya berat banget pagi-pagi gini." Arsen masih diam, tapi gue bisa merasakan kalau dia menunggu jawaban gue. Gue menarik napas dalam-dalam, mencoba menjawab dengan santai. "Kayaknya... aku belum kepikiran sejauh itu, si

  • Menjadi Istri Dadakan Si Om Tampan   Bab 28

    Setelah pulang dari acara makan malam yang cukup panjang, gue ngerasa capek banget. Ayah dan Bunda udah langsung masuk ke kamar mereka, ngelanjutin istirahat setelah seharian penuh aktivitas. Gue pun masuk ke kamar, melemparkan tas di meja dan rebahan di tempat tidur, berharap bisa tidur cepat.Tapi, saat gue membuka handphone, tiba-tiba ada notifikasi chat dari Mas Arsen yang bikin gue berhenti sejenak. Gue langsung membuka pesan itu, membaca dengan cermat.Mas Arsen_Gimana makan malamnya? Seru nggak?_Gue terdiam beberapa detik, mikir dulu sebelum ngetik balasan. Makan malam tadi penuh dengan obrolan yang bikin gue penasaran, terutama setelah ketemu Mbak Savia. Tapi gue gak mau terlalu cerita banyak, takut dia malah makin bingung atau ngira gue terlalu over sharing.Akhirnya, gue ngetik singkat, berharap tetap terdengar santai. Me _Seru Mas, jarang-jarang ada family time kayak tadi. Mas gimana hari ini?_Setelah menekan tombol kirim, gue beranjak menuju kamar mandi, mau bersih-be

  • Menjadi Istri Dadakan Si Om Tampan   Bab 27

    Begitu sampai di restoran, gue langsung keluar duluan, sementara Ayah dan Bunda menyusul dari belakang. "Ayo, malah berdiri di situ," kata Bunda, sedikit gak sabaran. Gue menghela napas, kenapa malah deg-degan sih? Padahal dulu waktu Mbak Risya ngenalin suaminya, gue gak gini-gini amat. Gue akhirnya ngekor aja di belakang Ayah dan Bunda yang jalan duluan. Dari kejauhan, gue melihat Mbak Risya melambai ke arah kami. Ya ampun, kangen banget!"Mbak!" seru gue, langsung mempercepat langkah. Begitu sampai di meja, gue langsung meluk Mbak Risya erat. "Mbak, udah lama banget gak ketemu! Kangen!" Dia ketawa kecil sambil membalas pelukan gue. "Mbak juga kangen banget sama kamu." Gue melepas pelukan dan langsung nanya, "Eh, Dara mana? Kok gak keliatan?" Dara, anak Mbak Risya yang masih satu tahunan itu, biasanya selalu ada di sekitar. "Oh, biasa, lagi di toilet sama Papanya," jawabnya santai. Sementara itu, Ayah dan Bunda bersalaman dengan Mbak Risya. Gue duduk di sampingnya dan

  • Menjadi Istri Dadakan Si Om Tampan   Bab 26

    Suara pintu utama terbuka terdengar dari lantai atas. Gue langsung bangkit dari kasur dan turun ke bawah. Begitu sampai di ruang tamu, Ayah masih pakai jas dokternya, wajahnya keliatan capek tapi tetap tersenyum. "Ayah!" Gue langsung berlari ke arahnya, mencium tangannya, lalu beralih ke Bunda, mencium tangannya juga. "Adek!" Ayah menyambut gue dengan pelukan hangat. "Siap-siap ya, biar nanti gak buru-buru. Ayah harus balik ke rumah sakit lagi, ada jadwal operasi." Gue langsung cemberut. "Ih, Ayah sibuk banget! Padahal acara kayak gini jarang juga. Aku kan masih kangen!" Bunda ikut menimpali sambil melipat tangan di dada. "Tuh, dengerin, Pak Dokter. Kerja mulu, anak istri di rumah jadi nomer sekian." Ayah terkekeh kecil, melepas jasnya dan menggantungnya di sandaran kursi. "Bukan gitu, Sayang. Pasien gak bisa nunggu. Nanti Ayah buru-buru pulang kalau operasi selesai, ya?" Gue masih manyun, tapi tahu juga gak bisa ngapa-ngapain. "Pokoknya janji ya, Ayah gak boleh lama!" A

  • Menjadi Istri Dadakan Si Om Tampan   Bab 25

    Gue berdeham pelan, nunggu siapa yang barusan ngomong sama Pradita. Suaranya berat, tapi kayaknya bukan suara yang familiar. Mas Arsen? Enggak, bukan. Apa suaranya berubah? Sosoknya akhirnya keluar dari dalam rumah. Cowok tinggi, keliatan masih muda, ekspresinya santai. "Siapa, Kak? Temen kamu?" tanyanya, nada suaranya ramah tapi matanya penuh selidik. Oh God. Bukan. Gue hampir aja refleks mundur karena kaget. Jantung gue langsung naik drastis. Pradita cuma mengangguk santai ke arah gue, "Tetangga sebelah." Lelaki itu—oke, gue baru ngeh sekarang—ternyata lumayan ganteng juga. Hehehe. Gue ngasihin wadah makanan ke tangan Pradita, terus menjulurkan tangan buat menjabat lelaki di dekatnya. "Saya Rania, tetangganya Pradita," gue ngenalin diri sambil tersenyum. "Saya Dewo, Omnya Pradita," katanya, suaranya lebih ramah dari ekspresi keponakannya yang tetap datar. Dia melirik wadah makanan yang gue bawa. "Ini, bua

  • Menjadi Istri Dadakan Si Om Tampan   Bab 24

    "Gimana, barang buktinya sudah diterima semua?" tanya Arsen, langkahnya mantap menuju kubikel Anton, rekannya yang bertugas di bagian Penyidik Kriminal. Anton mengangguk, menyodorkan setumpuk laporan yang tertata rapi. "Sudah, Pak. Hari ini kita juga punya jadwal interogasi untuk tersangka bandar yang kemarin ditangkap," lapornya dengan nada serius. "Bagus," Arsen mengambil salah satu lembar laporan, matanya tajam menelusuri setiap detail yang tercetak di sana. Setiap nama, setiap keterkaitan dalam jaringan itu—semuanya berpotensi mengarah ke sesuatu yang lebih besar. Ia mengetukkan jarinya perlahan di atas meja, berpikir dalam diam. "Pastikan kita nggak kecolongan. Gue mau semua titik yang mereka sebutin diawasi penuh," perintahnya akhirnya, suaranya tenang, tapi tegas. Anton mengangguk mantap. “Siap, Pak. Tim sudah disebar di beberapa lokasi yang dicurigai sebagai tempat transaksi. Kita tinggal tunggu perkembangan dari lapangan.” Arsen meletakkan laporan itu, menatap Anton

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status