Ovi melanjutkan kisahnya. Harusnya Tania mendengar semua ini langsung dari mulut suaminya. Hanya saja, ada banyak hal yang akhirnya dia campuri karena salah paham di antara dua orang itu. Bukan maksudnya mendahului Nero. Hanya saja, sikap Tania yang menurutnya sudah keterlaluan, membuatnya harus turun tangan. Dia tidak ingin, rumah tangga yang baru seumur jagung ini retak. Perbedaan usia yang terpaut cukup jauh, memang kadang menimbulkan banyak prasangka. Apalagi Nero tipe lelaki pengalah, yang memilih untuk menerima semua tuduhan daripada menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. "Nero mengikhlaskan Andrea menikah. Dia merasa berhutang budi sama papa kamu karena udah ngasih kerjaan. Apalagi setelah dia lulus kuliah, Mas Bram ngangkat dia jadi staf khusus." Beberapa kali Ovi menarik napas sebelum melanjutkan cerita. "Nero orangnya jujur. Dia cerdas dan pintar. Cuma nasibnya yang kurang beruntung." "Mas belum pernah cerita apa-apa. Aku enggak tau masa lalunya, cuma tau dia rekan k
Nero menarik kain yang menutup tubuhnya. Dingin. Lantai rumah sakit ini benar-benar seperti es yang membuatnya menggigil. Ada selembar kasur tipis sebagai alas tapi tetap saja masih terasa dinginnya. Setelah pulang dari klubnya Raka, dia bergegas ke rumah sakit. Melihat kondisi Bram yang belum ada perubahan sama sekali akhirnya dia memutuskan menginap di sini. Gila! Dia tidur bersama dengan yang lainnya di ruang tunggu khusus untuk keluarga pasien yang dirawat intensif. Di rumah sakit ini, ada disediakan satu ruangan seperti itu. Nero sempat berkenalan dengan seorang ibu yang kemudian berbaik hati meminjamkannya bantal dan kain sarung. Dan di sinilah dia, bercampur baur dengan yang lain. Entah kenapa rasanya malas mau pulang ke rumah. Melihat Tania yang selalu marah membuat hatinya sakit. Sebenarnya dia bisa menginap saja di hotel atau di apartemen, tapi Nero lebih mengkhawatirkan kesehatan Bram, walaupun sebenarnya sudah ditangani dengan cukup baik. Seorang owner sebuah perusa
Nero baru selesai mandi saat melihat istrinya memasuki rumah. Jarum jam dinding menunjukkan angka tujuh dan ini sudah malam. "Mas baru pulang? Kemaren tidur di mana?" Tania bertanya. Melihat gelagat sang suami yang tidak seperti biasanya, dia mulai mencurigai sesuatu. Lelaki itu tidak pulang semalaman bahkan tidak memberikan kabar sama sekali.Nero memandang istrinya dengan lekat, berharap dia tidak marah lagi. Bukannya takut, hanya saja memang rasanya tidak nyaman jika selalu bertengkar dengan pasangan."Dari rumah sakit ngeliat papa kamu," jawabnya pendek, tapi matanya mencuri pandang. Menerka dalam hati, apa istrinya masih marah atau tidak.Tania berjalan menuju kamarnya, tak menghiraukan suaminya sama sekali. Melihat wajah istrinya yang cemberut, Nero menahannya."Kamu masih marah?""Tanya aja diri sendiri!" jawabnya kesal. Siapa juga yang tidak akan marah jika diperlakukan suaminya seperti ini.Tung
Dengan langkah pasti Nero berjalan memasuki ruangannya. Sapaan dari para karyawan yang lewat hanya dijawabnya dengan anggukan."Selamat pagi, Pak." Nisa menyambut kedatangan bosnya dengan senyum merekah."Pagi." jawabnya cuek, kemudian membuka pintu.Ruang kerja kerja berukuran lima kali enam meter itu terlihat apik dengan sentuhan interior yang berkelas. Simple tapi nyaman dan sejuk dipandang. Ada sebuah meja kerja lengkap, juga satu set sofa serta buffet yang menyediakan berbagai macam snack untuk para tamu. Tak lupa sebuah kulkas yang berisi berbagai macam minuman dingin.Dulu ada foto Saskia di ruangan itu, tapi setelah kematiannya, Nero tak lagi menyimpannya. Kenangan indah bersama sang almarhumah istri kini tersimpan apik di dalam hati. Tak akan terganti oleh kehadiran Tania, karena mereka mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa dicampur adukkan.Melihat sikap Nero yang dingin, Nisa segera membuka tas. Menyemprotkan sedi
Dering panggilan telepon mengalihkan konsentrasi Nero saat mengerjakan laporan di ruang kerjanya. Nama Tania tertera di layar kacanya."Kenapa, Sayang?""Mas ke sini sekarang. Papa udah siuman."Suara istrinya yang serak di balik telepon membuat Nero segera bergegas menuju rumah sakit, dan membatalkan meeting dengan klien yang cukup penting hari ini. Berulang kali dia meminta maaf agar hubungan bisnis tetap berlanjut. Untunglah mereka mengerti karena sudah bekerja sama cukup lama.Sesampainya di sana, dia melihat Mike berdiri di luar. Si bule' berambut pirang itu menatap sebuah ruangan dari dinding kaca, lalu memberinya kode agar segera masuk secara bergantian. Nero mengambil baju khusus yang harus digunakan jika ingin membesuk pasien di ruang intensif.Dia berjalan mendekati ranjang. Bram terlihat lemah. Kesadaranya sudah mulai pulih. Lelaki paruh baya itu menatap anak dan menantunya secara bergantian. Sedangkan Ovi memilih
Nero menggandeng Tania mesra. Mereka berdua memasuki kantor dengan senyum dan langkah pasti. Beberapa pegawai memberi salam dan hormat. Beberapa yang lain berbisik-bisik membicarakan mereka yang tampak seperti adik kakak atau paman dengan keponakan. Wajah Tania berubah karena tidak biasa dibicarakan begitu. Dia tidak suka."Jangan dengerin. Kita ada rapat direksi hari ini. Kamu siap?" Nero mengeratkan gengamannya."Iya, Mas. Tapi aku bagaimana, ya? Apa aku bisa?" Ada ragu dalam hatinya."Pasti bisa. Sampaikan yang penting aja. Terutama tentang kesehatan papa." Nero tersenyum menatap istrinya.Denting lift berbunyi. Ketika pintunya terbuka, mereka menuju lantai tempat di mana semua ruangan berada. Sebelumnya mereka melewati ruangan Nisa, sekretarisnya. Ada yang ingin Nero sampaikan sebelum meeting dimulai."Nisa!"Ketukan pintu terdengar. Wanita itu tersentak mendengar suara sang pujaan hati memanggilnya. Dengan anggun dia m
Nero memandang selembar kertas yang diserahkan sekretarisnya dengan mata terbelalak. "Apa ini Nisa?" Dia bertanya kebingungan."Surat pengunduran diri saya, Pak."Nisa menatap wajah lelaki tampan di hadapannya. Wajah yang selalu membuat hatinya merindu setiap saat. Wajah yang telah mengalihkan dunianya selama beberapa tahun terakhir ini."Kenapa? Apa gaji di kantor ini kurang buat kamu?" tanya Nero penasaran. Untuk beberapa karyawan yang mengundurkan diri karena alasan tertentu, dia akan langsung menyetujui. Namun, jika tanpa alasan yang jelas, dia pasti akan mempertanyakan."Gaji cukup. Mungkin memang sudah waktunya. Saya juga sudah lama di sini, hampir enam tahun," jelasnya.Padahal dalam hatinya sedang bergejolak, berusaha menahan mati-matian air mata yang hendak jatuh. Dia harus kuat. Inilah keputusan terbaik yang sudah diambil.Nero menganggukkan kepala berkali-kali, berusaha menerima ini. "Tapi harusny
Suara riuh dan teriakan menggema di rumah Bramantyo hari ini. Mereka mengadakan acara untuk menyambut usia tujuh bulan dari kehamilan yang dikandung putrinya."Gimana udah pantes belum?" tanya seorang wanita paruh baya yang mengenakan kebaya lengkap. Dia bertugas memandu acara."Belum ..." jawab ibu-ibu serentak. Kemudian kainnya diganti lagi."Sudah pantes?" Dia bertanya ulang."Belum...." Kata itu diucapkan berulang-ulang sampai kain yang ketujuh.Nero memandang istrinya yang terlihat senang. Dia tidak terlalu mengerti mengenai prosesi adat begini. Selama ini, hari-harinya hanya disibukkan dengan pekerjaan. Sempat dia merasa kasihan melihat Tania yang sedari tadi diguyur air saat siraman. Wanita itu terlihat mengigil menahan dingin, tapi dia menyelesaikan acaranya sampai akhir.Semua ini tidak akan berjalan lancar jika Ovi tidak ikut turun tangan. Mereka sepakat mengadakannya, selain untuk doa dan keselamatan