Share

Hamish Alfredo Maxton

Part 3: Hamish Alfredo Maxton

Chiara langsung kembali ke restoran melalui jalan belakang, setelah membeli gula pasir dari supermarket. Tangannya yang mungil begitu kerepotan membawa beberapa kantung plastik yang berisi gula pasir. Dengan sigap, kedua rekannya langsung membantu Chiara menjinjing kantung plastik itu, seraya menata di gudang makanan.

“Kenapa lama sekali, Chia?” tanya salah satu rekan kerja Chiara yang merupakan senior disini. Chiara langsung gelagapan, tak mungkin bagi dirinya untuk menceritakan kejadian tadi pada seniornya itu.

“Ah, tadi aku sempat terjatuh dan kakiku terkilir kak, jadinya aku berjalan lebih lama untuk sampai kesini,” ujar Chiara setengah berbohong. Senior itu memperhatikan Chiara dari atas sampai ke bawah dengan teliti, membuat siempunya tubuh merasa risih.

“Kenapa kau tak menelponku jika kakimu terkilir? Setidaknya, aku bisa membantumu jika tahu keadaanmu tadi,” omelnya membuat Chiara merasa bersalah.

Duh, kalau sudah begini, Chiara harus apa coba?

“Teleponku ketinggalan kak Arnold. Maafkan aku ya,”

“Huh, ya sudah. Apa kakimu masih sakit?” tanya Arnold dengan wajah datar.

Namun, Chiara tahu bahwa seniornya ini tengah mencemaskan dirinya.

Chiara menggeleng mendengar pertanyaan Arnold.

Arnold menghela napas, meninggalkan Chiara sendirian disana. Chiara bernapas lega ketika kebohongannya tidak terbongkar, setidaknya untuk saat ini. Tak lama, Arnold kembali menghampiri Chiara, dengan membawa handuk serta sekantong plastik kecil es batu.

“Nih, kompres bagian yang terkena sakit. Setelah itu, kita lanjut bekerja,” Arnold langsung menyerahkan kedua benda itu pada Chiara. Chiara tentu menerimanya dengan gugup, karena tak ingin kebohongannya terbongkar.

Dengan berlagak seolah tengah terkilir, Chiara langsung membalut kantung es itu kedalam handuk kecil, lalu menempelkannya di kaki sebelah kanan. Rasa dingin yang tajam langsung menghampiri kulit Chiara. Setelah lima menit, Chiara melepaskan handuk itu dan menyimpannya dibaskom kecil agar es tidak meleleh kemana mana.

“Kak, aku sudah merasa baikan. Ayo kita lanjutkan membuat pudingnya,” ajak Chiara dengan nada riang. Arnold yang tengah memotong stroberi untuk garnish pudding mengangguk mengiyakan. Chiara pun kembali menghidupkan kompor dan kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

Setelah puding matang, Chiara langsung memindahkan puding itu ke wadah, membiarkan agar puding itu dingin dengan sendirinya.

“Chia, kau sudah selesai membuat pudingnya?” tanya Rebecca. Chiara mengangguk mengiyakan.

“Kalau begitu, kau bisa menata kue kue yang sudah ku pesan di meja resto utama, Chia?”

“Aku bisa, Rebecca. Itu pekerjaan mudah,” sahut Chiara tersenyum kecil. Rebecca ikut tersenyum karena melihat Chiara tersenyum.

“Baiklah kalau begitu,” ujar Rebecca lalu meninggalkan Chiara di dapur. 

Chiara langsung melepas celemeknya lalu berjalan kearah resto utama, agar bisa menata kue di meja dessert sesuai perintah Rebecca. Kaki jenjangnya dengan percaya diri melangkah menuju kesana.

Ketika sampai di resto utama, Chiara membelalakan mata melihat kue yang teronggok begitu saja di meja, tidak tersusun sedikit pun. Chiara menghela napas, ini sama saja Rebecca menyuruh dirinya untuk menata ulang kue kue ini. Dengan setengah malas, Chiara pun menata satu demi satu kue kue itu, sesuai dengan jenisnya.

Ketika tengah asyik menata kue, tiba tiba saja televisi yang menggantung di tembok menyala, menampilkan berita yang membuat Chiara mengernyit.

Berita hari ini

Dikabarkan bahwa seorang pria telah tewas di hutan dekat ibukota. Menurut pihak kepolisian, tidak ada jejak kekerasan pada tubuh korban. Namun, dileher pria itu terdapat sebuah bekas gigitan seperti gigitan binatang liar. Banyak yang menyebutkan, pria ini tewas bukan karena ulah binatang liar, melainkan ulah werewolf karena darah pada tubuh hilang secara misterius

Chiara berpikir keras, tidak ada tanda kekerasan tapi darah korban menghilang? Bukankah ini terasa janggal? Dan lagi, kepolisian menyebutkan adanya bekas gigitan pada leher korban. Chiara berpikir, apakah ini ulah binatang liar? Ataukah ulah werewolf?

Oke, Chiara harus meralat pikirannya tentang werewolf. Mereka hanyalah sebuah legenda dan tidak nyata. Dan lagi, bagaimana bisa werewolf berdampingan di dunia dengan manusia? Bukankah mereka mempunyai rupa berbentuk serigala dan bertubuh manusia?

Karena terlalu larut dalam pikirannya, Chiara tak sadar jika ada seseorang yang berada dibelakangnya. Orang itu menepuk pelan punggung Chiara, membuat sang gadis tersentak kaget. Chiara langsung berbalik dan menemukan pria yang tadi menolongnya ketika jatuh.

“Eh, bukannya Anda orang yang menolong saya tadi?” tanya Chiara dengan bahasa formal. Orang itu mengangguk mengiyakan.

“Tak perlu bicara formal jika denganku, mungil,” ujar pria itu seenak jidat memanggil Chiara. Mungil? Apa maksudnya?

“Mengapa anda, eh kamu memanggil saya mungil? Lalu sedang apa kamu berada disini?” tanya Chiara bertubi tubi. Pemuda itu tersenyum kecil, lalu menarik kursi yang berada didekat Chiara. Ia pun mendaratkan tubuhnya pada kursi itu.

“Aku ada urusan dengan Rebecca, jadi aku ada disini,” ujar pemuda itu santai.

“Dan lagi, aku melihatmu tengah serius menonton berita . Jadi aku berniat untuk mengagetkan dirimu,”

Oke, rasanya Chiara ingin sekali mengumpat untuk sekarang. Ingin mengagetkan dirinya? Huh, yang benar saja! Apa pria ini tak punya pekerjaan lain saat ini?

“Namaku Hamish Alfredo Maxton,” ujar pria itu memperkenalkan diri tanpa diminta. 

“Aku kan tidak bertanya tentang namamu,” ujar Chiara ketus karena pria ini malah memainkan rambutnya. Hamish terkekeh geli melihat respon dari gadis didepannya ini.

“Dan lagi, jangan mengganggu pekerjaanku!”

“Aku kan tidak mengganggumu, mungil,” elak pria itu yang bertolak belakang dengan kenyataan. Oh rasanya Chiara benar benar ingin berkata kasar sekarang pada pria didepannya ini.

“Dan lagi, kuharap kau mengingat namaku. Siapa tahu, kau bertemu dan ingin menyapaku dijalan. Tidak etis rasanya menyapa tanpa mengetahui nama orang itu bukan?” 

Chiara bergumam malas sebagai respon yang ia berikan pada pemuda bernama Hamish itu. Rasanya, ia enggan meladeni pemuda itu sekarang. Chiara tak mau jika Rebecca memarahinya karena pekerjaannya belum selesai akibat ulah pria ini. Jadi, Chiara berpikir, ia hanya perlu mengacuhkan Hamish untuk sekarang.

“Oh ya, mungil, apa kau percaya akan keberadaan werewolf?” tanya Hamish pelan. Chiara yang tengah menyusun kue kering langsung menghentikan aktivitasnya sejenak, lalu menatap Hamish dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. Mengapa Hamish menanyakan hal ini? Apa kepalanya terbentur sesuatu?

“Tidak,” jawab Chiara dengan wajah datar. Hamish tersenyum mendengar jawaban singkat dari gadis didepannya ini.

“Mengapa kau tak percaya? Apa ada alasan khusus?” tanya Hamish menatap Chiara. Chiara langsung memalingkan wajah, enggan bertatapan dengan pemuda didepannya ini.

“Tidak ada alasan khusus kok. Toh mereka hanya legenda saja. Lagipula, bagaimana mereka berbaur dengan manusia? Tubuh mereka saja sulit untuk disembunyikan, bukan?” tanya Chiara datar. Hamish mengelus dagunya layaknya detektif yang sedang memecahkan masalah.

“Kalau misalnya mereka nyata, dan berbaur dengan manusia, bahkan bisa jadi orang terdekat kita, kamu akan berkomentar seperti apa?” pertanyaan Hamish yang satu ini membuat Chiara bungkam seketika.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status