Share

Denial

Part 4 : Denial

Chiara menggelengkan kepala mendengar pertanyaan tak masuk akal dari Hamish. Bagaimana bisa makhluk mitologi itu berdampingan dengan manusia? Chiara tak habis pikir dengan pemikiran pemuda nyentrik didepannya ini.

“Itu tak mungkin terjadi. Jadi jangan terlalu berandai andai, Tuan,” pungkas Chiara mengakhiri pembicaraannya dengan Hamish.

Gadis mungil itu tak ingin mendengar lagi tentang werewolf yang berdampingan dengan manusia. Oh ayolah, hari ini, sudah dua orang yang menanyakan ini padanya! Bagi Chiara, intinya makhluk mitologi itu hanyalah legenda. Titik.

“Kau tipikal perempuan keras kepala juga rupanya,” komentar Hamish seraya menggelengkan kepala. Tangan kekar milik pemuda itu langsung mencomot salah satu kue yang tadi disusun oleh Chiara, lalu memakannya dengan lahap. Hamish tak mempedulikan tatapan tajam yang Chiara layangkan untuknya.

“Aku hanya berpikir realistis,” sahut Chiara tak mau kalah. Chiara merasa, pembicaraannya dengan Hamish berputar putar ditempat, tidak ada poinnya sama sekali. Ini hanya akan membuang waktunya saja.

Keduanya langsung terdiam begitu Chiara mengucapkan kata demikian. Hamish sibuk dengan mengunyah kue yang sekarang tertata rapi di atas meja sembari bermain ponsel, sedangkan Chiara meneruskan kembali pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi. Chiara harus bisa menyelesaikan pekerjaan itu dalam kurun waktu lima menit!

Ketika Chiara tengah sibuk dengan pekerjaannya, tiba tiba Rebecca datang menghampiri dirinya. Tak sengaja, manik emerald milik Rebecca melirik Hamish yang saat ini begitu sibuk dengan ponselnya. 

“Eh, kenapa kau tak langsung keruanganku saja?” tanya Rebecca dengan nada gugup. Hamish melirik Rebecca dengan ekor matanya, lalu kembali fokus pada ponselnya.

“Aku lebih suka disini. Ada hiburan menarik yang sedang aku lihat,” sahut Hamish sembari menyeringai lebar pada Chiara. Chiara membuang muka melihat seringaian Hamish yang tampak menyebalkan dimatanya.

“Oh begitu,” sahut Rebecca pelan seraya melihat kearah Chiara yang sudah selesai dengan pekerjaannya.  

“Pergilah, kau mengganggu ketenanganku, Rebecca,” usir Hamish mengibaskan tangannya, seolah ia tengah mengusir ayam. Rebecca mendengus tak terima, lalu menjitak kepala pemuda itu dengan cukup kuat. Hamish sedikit meringis karena jitakan maut dari gadis itu.

“Kenapa kau malah menjitakku?” tanya Hamish dengan nada yang cukup tinggi, membuat Chiara tersentak kaget dan langsung menyembunyikan tubuh mungilnya dibalik punggung Rebecca.

“Karena kau menyebalkan,” timpal Rebecca blak blakan, tak mempedulikan apakah Hamish akan tersinggung atau tidak. Tangan halus Rebecca langsung mengelus pelan punggung karyawannya yang saat ini tengah bergetar hebat.

“Kau membuatnya ketakutan,” ujar Rebecca pelan. Hamish mendengus lalu meraih tubuh milik Chiara, kemudian memeluknya erat. Tak lupa, tangan Hamish pun mengusap pucuk kepala Chiara agar gadis itu segera tenang.

“Maafkan aku membuatmu ketakutan, aku tak bermaksud begitu” ucap Hamish dengan nada menyesal. Chiara yang berada dalam dekapan pemuda itu langsung terdiam.

Jujur saja, Chiara merasa aman jika berdekatan dengan Hamish, seolah pemuda ini adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuknya, untuk menjaga dirinya dari orang orang jahat.

Akan tetapi, logika Chiara mengatakan jika ini adalah sebuah jebakan. Ia tak boleh terlena dengan pelukan pekuda asing yang tengah menenangkannya ini.

Akhirnya, Chiara pun memutuskan untuk melerai pelukannya dengan Hamish, yang membuat pemuda itu kebingungan.

“Tak perlu berlebihan seperti itu, aku tak apa apa kok,” ujar Chiara dengan nada datar, seolah ia tak memiliki emosi. Rebecca dan Hamish saling pandang satu sama lain. Lalu keduanya kembali memusatkan perhatiannya kembali pada Chiara.

“Aku hanya ingin menenangkanmu saja. Kulihat tadi tubuhmu bergetar ketakutan ketika aku menaikkan oktaf suaraku. Jadi menurutku, itu tak berlebihan,” sahut Hamish dengan nada tenang, namun berbanding terbalik dengan ekspresinya yang tengah menatap Chiara dengan khawatir.

“Kita hanyalah dua orang asing yang kebetulan bertemu. Jadi kau tak perlu melakukan hal sejauh itu,” perkataan Chiara yang sangat tajam bak pedang itu entah kenapa membuat Hamish terluka. Hatinya merasa tersayat sayat dan egonya merasa tersentil. Mengapa gadis itu mengatakan demikian? 

Sejenak, suasana terasa mencekam diantara ketiganya. Rebecca bahkan sampai kesulitan bernapas karena atmosfir di sini seolah menekan dadanya. Ia merasa tak nyaman dengan keadaan ini.

Akhirnya, Rebecca yang sedari tadi menonton pertengkaran kecil antara Chiara dan Hamish pun langsung berdehem, guna mencairkan suasana yang. barusan sempat mencekam.

“Chia, tugasmu sudah selesai bukan?” ujar Rebecca basa basi untuk mencairkan suasana. Chiara menatap lurus bosnya itu, lalu menganggukkan kepala.

“Kalau sudah, bisa kau urus bagian appetizer? Kebetulan disana kekurangan staff karena salah satu karyawan tengah sakit,” tutur Rebecca dengan suara rendah. Chiara mengangguk lalu meninggalkan Rebecca dan Hamish disitu. 

“Jangan terlalu menekannya. Dia itu gadis istimewa,” gumam Rebecca menyemangati Hamish. Hamish mengangguk setuju.

Kaki Chiara melangkah menuju meja tempat menyimpan makanan pembuka. Sepanjang jalan, perasaan bersalah menggerogoti hatinya. Ia merasa jika ucapannya tadi sangatlah keterlaluan, padahal pemuda bernama Hamish itu hanya berusaha menenangkan dirinya yang gemetar ketakutan.

Perasaan nyaman ketika bersama Hamish tadi, harus Chiara sangkal sekuat tenaga, agar ia tak terluka lagi seperti dulu. Untuk saat ini, Chiara menepis rasa bersalah itu, dan lebih memilih fokus pada pekerjaan yang ada didepan mata.

Ketika sampai di meja yang menghidangkan makanan pembuka, Chiara melihat bahwa anggota tim B tengah kewalahan mengurus dan menyiapkan makanan itu untuk para tamu. Sesekali, dirinya juga melihat para karyawan yang terbatuk karena kelelahan. Tanpa membuang waktu, Chiara mendekati penanggung jawab appetizer.

“Apakah boleh saya membantu, kak?” tanya Chiara dengan nada sopan. Penanggung jawab sekaligus ketua tim B menoleh, lalu memeluk Chiara dengan erat.

“Oh akhirnya kau datang juga, Chia. Aku benar benar membutuhkanmu,” ujar ketua Tim B dengan penuh haru. Chiara hanya bisa tersenyum menanggapinya.

Gadis itu langsung melepas pelukannya dengan sang ketua, lalu langsung bergegas membantu karyawan yang lain. 

Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit, appetizer sudah siap dengan sempurna. Anggota tim B langsung memeluk Chiara dengan erat seraya mengucapkan terima kasih. Chiara merasa malu diperlakukan seperti ini oleh rekan kerjanya. Seumur umur, baru kali ini ada orang yang mengapresiasi dirinya.

Sekitar lima menit kemudian, Acara pun dimulai. Chiara melihat Rebecca yang saat ini tengah menyalami tamu tamu penting dibalik pintu dapur. Para waiters langsung menyuguhkan makanan begitu para tamu sudah duduk dikursi. 

“Chia, jam kerjamu sudah selesai. Kamu bisa pulang sekarang,” ujar kepala koki ramah. Chiara yang tengah memperhatikan para tamu langsung menoleh seraya memasang wajah bingung.

“Eh, sudah selesai? Bukankah jam kerjaku sampai jam 9 malam?”

“Bos bilang kau bisa pulang, sayang,” sahut kepala koki mencubit pipi gembul milik Chiara. 

Chiara tersenyum senang mendengarnya. Ia bisa mengerjakan tugasnya lebih cepat hari ini. Seraya menunduk, Chiara mengucapkan terima kasih dengan tulus kepada kepala koki. Setelah itu, Ia langsung berganti pakaian dan mengambil tas yang berada di loker.

Ketika sampai diluar restoran lewat pintu belakang, hal yang buruk pun menimpa gadis mungil itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status