Pulang sekolah, rumah masih sepi. Aira tidak terkejut karena hal itu, apalagi dia sudah mengetahui bagaimana kedua orang tuanya yang yang gila harta. Lagi pula, kalau pun rumah ini ramai, Aira tidak yakin jika dirinya tetap tidak akan merasa sendirian.
Setelah memastikan pintu kamar Serin sedikit terbuka yang menandakan dia ada di dalam, Aira melangkah untuk mengetuk pintunya. Entah sudah berapa kali embusan napas dia buang guna menghilangkan rasa gugupnya, Aira harus tetap bersikap biasa saja di depannya Serin nantinya.
"Kak? Lo di dalem?" panggil Aira setelah mengetuk dua kali. Lalu, tidak lama terdengar suara yang memintanya untuk masuk.
Barulah, Aira bisa membuang napas lega. Setidaknya ini sudah meyakinkan dirinya jika rencananya pelan-pelan akan berhasil. Aira akhirnya masuk, kemudian kembali menutup pintunya. Dan, begitu melihat Serin yang memakai masker, dia sempat tersentak.
"L–lo ngagetin banget, sih," gerutu Aira yang membuat Serin
"Hai, calon istri?"Aira yang kebetulan berjalan di belakang sekolah tiba-tiba berpapasan dengan Rehan. Cowok itu menahan lengannya dan tersenyum menatapnya. Terpaksa, Aira menghentikan langkahnya. Tidak ingin berdebat. Tetapi sayangnya, ucapan cowok setelahnya itu membuat Aira tidak menahan untuk tidak kesal."Bisa nggak, lo jaga mulut sialan itu? Gue nggak sudi jadi siapapun di hidup lo, Re!" desis Aira, melepas kasar tangan Rehan.Rehan kembali mengambil lengan Aira, kali ini dia mencekal lebih kuat dengan tangannya. "Eits ... lo lupa?" Alis Rehan terangkat sebelah."Gue pernah nggak jawab!" sahut Aira mendecih, menatap tajam ke dalam mata Rehan yang kini menatapnya dengan hangat. Sungguh, itu hanya membuat Aira merasa jijik dan marah."Justru sekarang gue mau lo jawab," balas Rehan santai. Kini, tubuhnya sudah sempurna berhadapan dengan Aira.Aira memberontak, namun sayangnya tenaganya kalah kuat. "Nggak! Gue nggak sudi!""Ya udah
Aira baru saja selesai makan malam dengan Serin, sementara dia menuju ruang tamu hendak menutup pintu, lalu Serin berjalan ke kamar untuk menunggu aksinya tiba. Yah, malam ini kepulangan sang papa menjadi awal rencana pertama untuk mereka yang segera akan dimulai."Kamu tidak lupa dengan permintaan saya beberapa hari yang lalu, bukan?" Sang papa membuka pintu ketika Aira belum sempat menutupnya.Aira tersentak sesaat, lebih tepatnya berlagak terkejut, diikuti dengan kepalanya yang tampak menunduk setelahnya. "Maaf, Pa."Andi, sang papa tersenyum sinis. "Maaf? Kamu mau membuat saya kecewa lagi?""Maaf, tapi untuk permintaan papa yang satu itu ... Aira tetep nggak bisa," jawab Aira, mengutarakan isi hati serta benaknya. Dia memang tidak mau menerima perjodohan itu."Lagi, kamu mau membuat saya kecewa lagi, Aira?" Sang papa melangkah maju, mendudukkan diri dengan decihan pelan. Aria melihatnya tampak menghela napas, ini memang masih dalam dramanya, te
"Kenapa lo nggak cerita tentang rumor itu, Ra? Gue bisa bantu buat selesain semuanya."Di atas roof top, dengan semilir angin yang sesekali menerpa wajah. Menebarkan hawa sejuk di panasnya matahari yang terik. Tempat itu luas, lebih dari cukup untuk membuat Aira dan Daffa mencari ketenangan. Tidak banyak orang yang berada di sana. Kebanyakan lebih memilih ke kantin di jam istirahat seperti ini."Maaf."Daffa hanya membuang napas panjang ketika jawaban yang terdengar lirih itu keluar dari mulut Aira. Ada banyak kesedihan serta penyesalan di dalamnya. Daffa tahu, Aira tidak semata menyembunyikan itu darinya tanpa alasan. Maka, dia hanya membalas dengan senyum tipis setelahnya."Lo nggak salah, gue yang nggak becus buat jadi sandaran buat lo," ucap Daffa, rasa kesalnya menjadi sirna begitu saja. Padahal tadi dia ingin sekali memarahi gadis di sampingnya itu.Aira menggeleng cepat, bukan itu yang dia maksud. "Nggak ada yang bilang lo nggak becus,
Kantin sekolah ramai seperti biasanya, jam istirahat pertama sudah terlewati lima menit yang lalu. Minuman milk tea milik Aira justru masih berisi satu gelas penuh. Sementara minuman Daffa di depannya sudah hampir tandas, karena benaknya yang sudah pening dengan berbagai pikiran serta atensi."Duh, Daf. Rencana pertama aja belum tentu berhasil sepenuhnya, masa udah mikirin rencana kedua, sih?" gerutu Aira ketika tadi Daffa membahas mengenai rencana ke dua."Justru kita mulai mikirin rencana kedua sambil nungguin rencana pertama berhasil, Ra. Waktu kita nggak banyak, inget itu," jawab Daffa, dia sepertinya sudah pening dengan semuanya. Kentara jika rautnya dipenuhi peluh, padahal AC menyala di penjuru kantin.Aira tetap tidak yakin, jujur saya dia merasa lelah dengan rencana pertama yang entah bagaimana ke depannya. "Iya gue tau, tapi masa lo nggak pusing, sih? Apa lo nggak capek? Dan, mikirin rencana nggak semudah itu, Daf. Harus bener-bener matang.""Gue
"Kak, menurut lo, mama sebenernya setuju nggak sama perjodohan itu?"Aira berucap, menanyakan pertanyaan yang baru-baru ini cukup menganggu benaknya. Serin di depannya mengerutkan kening. Jarang sekali membicarakan mama, sekalinya bertanya, Aira langsung merujuk soal perjodohan itu. Ada sesuatu dalam diri Serin yang cukup tertegun."Tiba-tiba lo nanyain dia, ada rencana apa lagi?" tanya Serin, Aira mengangkat bahu, dia hanya menebak, dan bertanya kepada Serin siapa tahu dia juga berpikiran sama."Menurut gue, mama nggak setuju," jawab Aira. Di kelas masih sepi, membuatnya bebas untuk membahas rencana dengan Serin."Tunggu, jadi lo mau ajak mama kerja sama juga? Lo, nggak serius, kan?" Ada sedikit kejut yang kentara, meski demikian, ada hal lain yang membuatnya merasa cemas. Dan Aira, tidak mengetahuinya."Gue nemuin lo justru mau bahas soal itu, Kak."Serin menggeleng cepat, dia enggan melakukan hal yang diucapkann Aira bersusan. "Mend
"Aira!" Tubuh Aira terhuyung, kehilangan keseimbangan tepat di depan kelas, Serin spontan membulatkan matanya. Baru hendak menuju lapangan, tanpa diduga, Aira terjatuh pingsan. Beberapa murid di lapangan seketika buyar."Daf, Aira pingsan!" pekik Serin, Daffa yang datang dari arah Utara langsung berlari menghampiri."Kok bisa, sih?" Daffa cemas, namun juga kesal bercampur khawatir. Dia hendak mengangkat tubuh Aira, namun sebuah suara sesaat mengurungkan niatnya."Kita harus bawa dia—""Kenapa Aira?" potong Rehan, yang baru saja sampai depan kelas setelah berlari dengan napas terengah-engah.Serin menatapnya tajam. "Ini gara-gara lo!""Kok gue?" Rehan langsung mendelik ketika baru tiba sudah mendapat tuduhan."Ya karena lo Aira pingsan, Re! Dia belum sarapan seharian, dan lo malah nyuruh dia ke lapangan! Di siang hari yang panasnya minta ampun ini! Lo gila, hah?" teriak Serin, aktingnya memang benar-benar bagus.
Malam ini, masih dengan rencana Aira yang ingin berbicara dengan sang mama. Menanyakan perihal tidak atau setujunya sang mama dengan perjodohan itu, dan mengajak untuk bekerja sama dengannya agar meyakinkan sang papa supaya membatalkan perjodohannya dengan Rehan."Lo beneran mau bicara sama mama? Kalo dia—""Gue rasa mama nggak bakal sejahat itu, Kak. Nggak ada salahnya juga kita nyoba, kan?"Di kamar Serin, Aira dengan penuh yakin, sem nyata Serin yang tidak menemukan keyakinan jika rencana itu akan berhasil. Aira yang tetap kekeuh membuat Serin merasa khawatir. Cemas. Jika saja dugaannya yang negatif itu benar akan terjadi."Tapi itu beresiko banget, Ra. Mama udah berubah." Serin dengan rautnya yang tidak setuju menatap Aira, perasaan cemas dan berusaha mencegah masih kentara di wajahnya.Namun, Aira tersenyum, hatinya mengatakan jika sang mama tidaklah seburuk itu. Dia masih sama, pikirnya. "Gue tau, tapi dia nggak bakalan lupa kalo gue an
Siang menjelang sore ini, Aira mengajak Daffa ke tempat biasanya, tepi danau. Setelah pulang sekolah, mereka tidak ke rumah, anggap saja karena terlalu malas untuk sekadar berganti baju dan sandal. Udara yang tidak terlalu dingin, menemani mereka yang duduk sembari memakan beberapa camilan.Aira tersenyum tipis, menikmati alam lepas memang menjadi kesenangannya sendiri. Dia tidak bisa jika hanya sekadar memandang, melainkan juga membeli beberapa camilan. Perpaduan healing yang tepat. Makanan, dan ketenangan. Bagi Aira, itu sudah cukup membuatnya merasa damai.Tidak terlalu banyak orang di sana, sebab tidak banyak yang bisa menikmati alam sepenuhnya. Entah karena memang tidak bisa memahami alam itu sendiri, tapi terkadang kesibukan membuat mereka seolah lupa dengan kondisi lingkungan yang ditinggali.Aira ke danau itu, lalu duduk di kursi yang berada di tepi, serta sedikit pembatas yang tidak terlalu tinggi, hanya untuk membuat benaknya istirahat. Dia hanya