Share

Reuni

Author: Realia
last update Last Updated: 2021-10-05 14:52:32

Vladivostok, Mei 2025

Xabi mengamati benda kotak dan pipih di tangannya, Ia masih belum percaya benda ini adalah sebuah ponsel. Tidak ada tombol bahkan tempat baterai yang bisa dibongkar pasang. Belum lagi kameranya, satu di depan dan empat di belakang. Telepon genggam terakhir yang ia miliki adalah Blackberry paling tipis yang ia beli setelah memenangkan turnamen Dota 2. 

Suster Agnes memandanginya tak kalah takjub. Ia heran kenapa Xabi bisa melupakan semua yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir. Bahkan keberangkatannya ke Rusia sepuluh tahun silam juga telah terlupakan. 

Ia kembali memastikan apa saja yang diingat Xabi, mulai dari nama asli dirinya dan seluruh anggota keluarganya, tanggal lahir hingga daftar pertandingan game yang ia menangkan. Gadis kurus karena malnutrisi itu menjawab semuanya dengan benar. Namun, ketika ditanya tentang jenis pekerjaan dan jabatan yang dimilikinya saat ini, gadis itu mengeluh kepalanya sakit dan tidak mau menjawab. 

Ketika tiba giliran Xabi yang menanyakan perihal dirinya, suster Agnes bungkam. Ia hanya mengatakan bahwa bosnya yang bernama Okami akan datang dan menjelaskan semuanya. Terlalu rumit jika ia sebagai bawahan menjawab pertanyaan macam kenapa ia jadi kurus dan sulit berjalan, kenapa rambutnya berubah jadi gimbal, kenapa ia bisa berada sejauh ini dari keluarganya di Indonesia. 

Sebagai ganti tidak bisa menjawab ke mana sepuluh tahun masa hidupnya menghilang, suster Agnes mengajari Xabi menggunakan ponselnya. Bagaimana cara membuka kunci dengan sidik jari atau memindai retina, lalu membuka dan membalas pesan yang masuk. 

Xabi menunjukkan sebuah undangan di daftar email terbaru. Undangan ke acara reuni SMA yang diadakan secara virtual. Ia mengatakan keinginannya untuk hadir. Dengan teknologi masa kini, tentu saja hal ini sangat mungkin dilakukan tanpa meninggalkan Vladivostok selangkah pun. Namun, Xabi juga merasa malu jika bertemu dengan salah seorang teman yang pernah ditaksirnya. 

“Dia dapat beasiswa dan kuliah di luar negeri. Apa aku juga dapat beasiswa dan kuliah di sini ya?” Xabi berandai-andai sekaligus penasaran. 

Suster Agnes kembali berusaha menahan diri. Ucapan Okami saat di telepon terus terngiang-ngiang di telinganya. “Jangan ceritakan apa pun padanya. Bisa repot kalau dia salah paham dan kabur. Lebih repot lagi jika ternyata ia hanya pura-pura agar bisa melarikan diri dari tanggung jawab.” 

“Bolehkan aku hadir ke acara ini?” pinta Xabi. “Siapa tahu aku bisa mengingat beberapa hal setelah bertemu teman-teman sekolah. Perpisahan dengan mereka seolah baru terjadi kemarin.” 

Agnes mengangguk dan memindahkan Xabi ke kursi roda. Acara baru akan dimulai satu jam lagi. Namun, mereka jelas butuh persiapan. 

“Ayo, kita butuh ruang yang lebih luas untuk acara reuni ini.” 

Mereka meninggalkan ruang pribadi yang baru ditinggali Xabi selama tiga hari tiga malam. Kesehatan gadis itu cepat membaik dan ia makan cukup banyak. Agnes melihat semangatnya untuk pulih sebagai sesuatu yang membanggakan sekaligus mengkhawatirkan. 

Kamar baru Xabi masih menghadap pemandangan laut atas permintaanya. Aula yang dimaksud Agnes berada di belakang sehingga mereka harus berputar dan melewati ruang pasien kemarin. Xabi sedikit bergidik saat mencium aroma infus dan mendengar napas-napas berat mereka. Agnes meletakkan tangan kanan di bahu Xabi sambil berkata, “Mereka baik-baik saja.” Seolah mencoba menenangkan. Xabi mengangguk dan berusaha abai hingga mereka tiba di depan sebuah ruangan yang gelap dan luas. 

Mereka tetap berada di dekat pintu. Agnes menunjuk sesuatu di tengah langit-langit ruangan. 

“Benda itu disebut Coove, bentuknya seperti kelereng dan mampu menampilkan hologram hingga tiga ratus enam puluh derajat. Berikan ponselmu, kita akan lihat apakah alat ini masih berfungsi.” 

Xabi menyerahkan ponselnya pada Agnes yang kemudian mondar-mandir dalam ruangan untuk menyalakan Coove. Beberapa saat berlalu dan hasilnya nihil, 

“Izvinite (maaf), Ruangan ini sudah lama tidak dipakai. Aku yakin ada kabel listrik yang putus sehingga alatnya tidak menyala.” 

Xabi mengangguk mengerti tapi ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi kekecewaan di wajahnya. Agnes tersenyum melihatnya. 

“Aku punya beberapa alat ini di ruanganku. Ayo kita ambil dan coba di halaman.” 

Rasa senang Xabi mampu mengurangi rasa ingin protes atas penerangan di faslilitas kesehatan yang terlalu minim saat menuju tangga. Agnes memasukkan Xabi dan kursi rodanya di sebuah lift yang dioperasikan secara manual. Ruangan seluas satu kali satu meter itu turun ketika Agnes menekan tombol ‘Down’. Ia sendiri turun melalui tangga biasa di samping lift dan mengambil kembali Xabi yang sudah lebih dulu sampai. 

Setiap ruangan bahkan lift memiliki kunci dan Agnes selalu mengeluarkan kunci-kunci yang telah disatukan dari kantung jubahnya. ‘Terlalu ceroboh,’ pikir Xabi. Gadis itu agak kaget ketika melihat ruang kerja Agnes terbuka lebar, ia hanya masuk sebentar lalu mereka menuju halaman. 

Dari tempatnya berdiri, Xabi bisa melihat pintu gerbang dengan jelas. Namun, ia harus melewati ruang kerja Agnes jika ingin ke sana. Perawat yang enerjik itu meletakkan Coove di tengah-tengah halaman. 

“Yak! Tempat ini sudah cukup luas. Alat ini akan berfungsi maksimal karena malam telah turun, tapi kau hanya punya waktu sekitar satu jam hingga baterainya habis.” 

Alat berbentuk kelereng besar dalam mangkuk itu berputar lambat dan berpendar. Bola mata Xabi berkilauan melihat satu persatu hologram teman-temannya muncul. Yang ia lihat adalah tampilan utama para tamu yang hadir di lokasi. 

“Itu sudah cukup, spasibo (terima kasih),” sahut Xabi.  

“Kau bisa merubah tampilan dan bertemu dengan siapa pun dengan menggunakan ini.” Suster Agnes menyerahkan ponsel Xabi sebelum berlalu. “Aku ada di ruang kerja jika kau membutuhkan sesuatu. Selamat bersenang-senang.” 

Agak lama gadis itu terdiam dan hanya mengamati. Jangankan bergerak dan mengajak seseorang di sana bicara. Menekan ponsel untuk mengisi daftar hadir saja ia tidak berani. Ia takut salah menekan kursor lalu semuanya tiba-tiba menghilang. Para tamu pun kelihatan tak acuh padanya. Ada beberapa wajah yang terlihat familiar bagi Xabi. Kebanyakan mereka tampil membawa pasangan dan anak-anak. 

“Heiii, pengkhianat negara!” Sebuah suara renyah membuyarkan lamunan Xabi. Gadis itu sedikit terperanjat tapi berusaha tetap tenang. Panggilan itu pasti bukan untuknya. 

“Eeh sombong ya!” sambung suara itu disusul bayangan seorang wanita cantik bertubuh mungil yang kemudian duduk di depannya. 

Mata Xabi membulat dan ia menutup mulut ketika mengatakan nama sahabatnya, “Nanda!!!” 

“Hehe… Masih ingat juga ternyata. Gimana Rusia?” sapanya sambil mengajak Xabi toss secara virtual. 

“Dingin,” sahut Xabi pendek. “Kok sendirian?” 

“Iih jangan ngingetin sama hal-hal yang nyebelin deh. Masih single tauk! Bawalah sini cowok bule barang satu atau tiga.” 

“Yee, serakah! Cintailah produk dalam negeri, hahahaha!” 

“Ngaca donk! Ngaca!” 

Perut Xabi terasa sakit ketika tertawa. Sebisa mungkin ia bersikap normal di hadapan sahabatnya. Ia bersyukur Ananda tidak sedikit pun menyinggung perubahan fisiknya. 

“Ngapain?” tanya Xabi melihat Ananda mengutak-atik ponselnya. 

“Ayo kita temuin pengkhianat negara lainnya!” 

“Eeeh! Tunggu, tunggu!” Xabi ingin mengatakan betapa ia tidak siap tapi terlambat, sebuah hologram pemuda berdiri tak jauh dari mereka. 

“Halo Pak Cik!” sapa Ananda. 

“Halo Ananda!” balas sang pemuda sambil melambai. “Eh, Amara! Apa kabar?” 

Xabi tersenyum mendengar nama kecilnya disebut. ‘Kabar baik dan tidak ingat apa-apa sejak pertemuan terakhir kita,’ jawabnya dalam hati. 

“Udah lama banget ya! Suaminya mana?”

Xabi masih tersenyum dan memperlihatkan jari-jari kurusnya. Tidak ada cincin di sana. 

“Oowh! Kerja terus sih ya!” 

“Nan, bisa tolong sumpelin mulutnya?” 

Tawa pemuda itu meledak sementara Nanda menyahut, “Iya nih rese! Udah bapak-bapak juga!” 

“Mau kenalan sama keluarga gue nggak?” tawar bapak-bapak yang terlihat masih sangat muda karena usianya memang sama dengan Xabi dan Ananda. 

“Boleh aja kalau mereka lebih waras dari pada lo, Syed!” 

Tampilan berikutnya adalah seorang wanita cantik berhijab dengan tiga putri imut yang masih kecil-kecil. Syed memperkenalkan istrinya, seorang Dato diraja Malaysia. Putri pertamanya berusia lima tahun, sedangkan si kembar masih tiga tahun. Xabi dan Ananda bersikap sopan di hadapan keluarga kecil itu dan kembali brutal setelah mereka pergi. Syed tetap tinggal. 

“Enak lo ya hidup di tanah orang! Awas lo kalau pulang!” ancam Nanda setelah mengatahui Syed bekerja sebagai eksekutif manager di sebuah kilang. Jabatan yang ia peroleh setelah bertahun-tahun mengabdi sejak lulus kuliah di negara itu.

“Ngapain pulang ke negeri para barbar. Sini Nan, dijamin gak bakal mau pulang. Kalau nggak percaya tanya aja Amara.” 

 “Aku pengen pulang.” 

“Hah?” 

Ananda dan Syed kaget mendengar jawaban Xabi. Gadis itu tak kalah kaget melihat reaksi teman-temannya. 

“Ada yang salah?” tanya Xabi. 

“Uuhm, nggak juga sih. Cuma dulu lo kan pernah bilang kalau nggak mau pulang sampai kapan pun,” sahut Ananda. 

“Dan sekarang kayaknya tujuan hidup lo udah tercapai,” sambung Syed. “Jadi gipsi.” 

Mereka tertawa lalu Xabi pamit dan mematikan Coove begitu saja. Bukan karena durasi yang dikatakan Agnes telah habis. Ia hanya ingin membiarkan kabut yang menyelimuti pikirannya perlahan menghilang. Agnes tidak bohong, ia kehilangan semua memorinya selama sepuluh tahun terakhir.  

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PARALLEL   Cara Lain

    Firage Mountain, Juni 2025Lucifer tak habis pikir kenapa para Archangel bisa memiliki pasukan yang mampu menyaingi monster-monsternya. Sedangkan ia tahu persis seratus lima puluh pasukan yang mereka miliki masih berada di Twillight Valley. Perlahan tapi pasti, pasukan yang berada dibawah kendalinya tumbang dan musuh pun semakin mendekat. Ketika jarak antara mereka hanya terpaut jarak pandang mata, barulah Lucifer sadar apa yang tengah ia hadapi.“Necromancer!” desisnya lirih.Yang menjadi lawan game master kali ini adalah kumpulan nyawa-nyawa dari jiwa yang telah mati. Mereka beterbangan dalam bentuk separuh hantu separuh wujud asli ketika hidup. Meskipun Mikail belum menjadi Archmage, ia adalah seorang dark magician[1] yang bersembunyi di balik jubah putih. Orang penting nomor dua di Archangel itu bahkan bisa menggunakan jiwa orang-orang yang masih hidup. Jadilah ia menggunakan seluruh pasukan yang ia miliki unt

  • PARALLEL   Akhir Pertarungan

    Moscow, Juni 2025Begitu tiba di bandara internasional Vnukovo, Tara langsung melesat menuju apotik. Pemuda Indonesia itu mengatakan bahwa ia kehabisan obat yang biasa ia konsumsi ketika jetlag. Vash pun tidak punya pilihan selain mengikuti. Begitu tiba di konter obat yang sepi pengunjung, Tara menyerahkan secarik kertas pada sang pelayan bertubuh gempal yang terlihat sudah mengenalnya dengan baik.“Lama tak jumpa, Sergei. Aku pikir kau tidak akan ke sini dalam waktu dekat,” sapanya.“Tadinya aku juga berpikir begitu, Shasha.” Tara melempar senyum terbaiknya.Shasha melihat kertasnya sebentar, lalu melihat ke arah Tara dan Vash di belakangnya. Mata sang penjual obat seolah menanyakan sesuatu. Tara tetap tersenyum sambil mengangguk-angguk kecil.“Tunggu sebentar, aku akan mengecek persediaan.”“Okay!”Bagi

  • PARALLEL   Misi Tiga Orang

    Vorkuta, Juni 2025Ruangan itu begitu temaram dengan sedikit cahaya yang datang dari sela-sela atap. Para Ghoul berjalan pelan dan tak beraturan mengelilingi Cry yang duduk di atas gundukan koin emas dari dunia lain.“Percuma saja punya sebanyak ini kalau tidak ada partner untuk membangkitkan.” Pemuda itu mengeluh lirih. Ia menoleh ke arah serpihan-serpihan cermin yang berserakan di seantero ruangan. Kepingan-kepingan kecil itu mulai bergerak, berputar-putar lalu membentuk cermin baru dengan banyak retakan. Benda itu menghadap tepat padanya dan menampilkan pantulan diri yang perlahan berubah menjadi wajah Lucifer.“Kau masih saja bermalas-malasan,” ujar Lucifer.“Kau juga tidak ada perkembangan sama sekali,” balas Cry sambil tiduran di atas gundukan koin lalu melempar satu persatu koin pada wajah Lucifer. Hal itu tentu saja membuat sang raja iblis geram.&nb

  • PARALLEL   Para Penghubung

    Vorkuta, Juni 2025Tumpukan file di atas meja Okami terlihat lebih tinggi dari biasanya. Sejak kebangkitan Lucifer, kekacauan di Vorkuta memuncak. Meski bantuan berdatangan baik dari Pandora Box dan pemerintah, jumlah Ghoul yang berkurang belum menunjukkan angka yang signifikan seperti halnya berkas-berkas di meja kepala Seagull tersebut. Meski ia bukanlah tipe yang suka menunda pekerjaan, data-data dalam kertas itu menunjukkan betapa banyak jumlah prajurit yang berpartisipasi lengkap dengan anggaran konsumsi serta senjata.Okami tidak pernah menduga jabatan yang ia terima lima tahun lalu telah membawanya ke titik terendah dalam hidup. Pada awal pembentukannya, Seagull hanyalah unit kecil khusus yang bertugas mengawal program Vacuum. Operasi mereka tak jauh dari pengawalan para player hingga penutupan mulut para saksi yang tidak perlu.Meski bertugas mengawal, organisasi yang biasanya tak memiliki anggota lebih dari sepu

  • PARALLEL   Jalan Pintas

    Menara Trophaeum, Mei 2025Anak tangga selebar dua meter mengisi terowongan spiral yang kelihatanya mengelilingi bangunan menara. Menurut hemat Xabi, menara itu mulai berbentuk seperti cerobong asap mulai dari lantai dua puluh hingga puncak. Bagian bawah terasa seperti istana dari istana dongeng. Entahlah, Xabi belum sempat menelusuri jengkal demi jengkal semua bagian dan ruangan di sana.Xabi tak jua berhenti berjalan karena mendapati pintu-pintu tiap lantai sudah terbuka. Lumayan juga kemampuan orang ini bisa terus naik, pikirnya. Urielle yang juga berperan sebagai pendukung, terus mengalirkan energi agar teman-temannya, kecuali Xabi, tidak kehabisan tenaga.Akhirnya mereka berhenti di depan pintu lantai dua puluh satu dan yang menunggu di sana adalah sang Rhea, Florence.“Flo!” Urielle menyeruak maju. Ia membungkukkan badan sedikit lalu menyalami kedua tangan peri pendek tersebut. Tarm

  • PARALLEL   Menara Trophaeum

    Westminstone Mountains, Juni 2025Xabi terus menaiki tebing tanpa mempedulikan rasa sakit di jari-jari tangannya. Hatinya jauh lebih sakit setelah kepergian orang-orang yang dekat dengannya. Gadis itu mencoba fokus meraih satu persatu batu pegangan dan terus bergerak naik. Ada kalanya Vasily, Ravil, atau Gabriel melintas di pikirannya. Saat itu terjadi, ia akan limbung, kehilangan keseimbangan, kaki terperosok, atau hampir melepas pegangan.Pedang rantai Ramielle pernah menangkapnya sekali saat tubuhnya meluncur tertarik gravitasi bumi.“Fokus, Xavier! Fokus!” protesnya sambil berteriak.Beruntung bagi skuad Xabi yang masih terdiri dari Tarmielle dan Urielle, kali ini Ramielle ikut sebagai tenaga tambahan. Pedang besar di punggungnya bisa mengeluarkan rantai yang memudahkan mereka menaiki tebing.Tempat tujuan mereka masih jauh berada di atas. Pegunungan daerah barat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status