Langit malam di perkemahan militer kelam tanpa bintang. Api unggun menyala redup, menari-nari dalam hembusan angin dingin yang membawa aroma besi dan darah. Li Feng duduk di dalam tendanya, memijat pelipisnya yang terasa berat. Kabut kegelisahan menyelubungi pikirannya setelah mendengar kabar dari mata-mata.
Panglima Agung dari Utara sedang dalam perjalanan ke medan perang. Bibirnya mengerut tipis, matanya menyipit, menatap peta strategi yang terbentang di hadapannya. "Jika Batu Temur saja sekuat ini... lalu seperti apa kekuatan Panglima Agung?" Bayangan sosok lawan yang belum pernah ia lihat membayangi benaknya. Ia telah melihat sendiri kedahsyatan Batu Temur, seorang jenderal yang tak hanya memiliki kekuatan fisik luar biasa, tetapi juga strategi pertempuran yang licik. Panglima Agung pasti jauh lebih menakutkan. Li Feng menghela napas panjang. Ia butuh istirahat sebelum pertempuran esok hariLi Feng menatap pedang itu, mata penuh perjuangan dan keputusasaan. Pedang Naga Langit, senjata yang telah mengubah hidupnya, kini berada di tangannya. Kekuatan dan kutukannya, yang begitu lama menguasai jiwanya, bersatu dalam senjata ini. Seperti kilatan petir, ingatan tentang perjalanan panjangnya—pertempuran demi pertempuran, pengkhianatan, dan pengorbanan—terpancar jelas di matanya. Mei Yue terbaring di hadapannya, kristal beku yang dulunya adalah tubuh yang penuh jiwa dan harapan. Kini, ia hanya sebuah kenangan yang terperangkap dalam tubuh yang beku. Kristal itu mengkilap di bawah cahaya Pedang Naga Langit, seolah-olah memantulkan dunia yang telah hancur. Keringat menetes di pelipis Li Feng. Ia tahu keputusan ini adalah yang paling sulit dalam hidupnya. Tidak ada jalan kembali. Pedang Naga Langit bersinar dengan cahaya biru yang dingin, seakan menyadari apa yang akan terjadi. “Aku tidak bisa melakukan ini,” bisik Li Feng dengan suara hampir tak te
Li Feng memandangi tubuh Mei Yue yang kini tergeletak tak bergerak, beku seperti patung es. Wajahnya yang dulu penuh dengan kehidupan dan harapan kini terbungkus dalam lapisan kristal bening yang dingin. Namun, meski tubuhnya telah menjadi kristal, air mata yang menetes dari matanya masih terperangkap dalam bentuk kristal hidup—sebuah kenangan yang tak akan pernah pudar, selamanya terjaga dalam bentuk yang abadi. "Mei Yue..." Li Feng berbisik, suara itu berat dengan rasa sakit yang tak terungkapkan. Setiap helaan napasnya terasa seperti beban dunia yang tertumpuk di dada. Ia menatap wajah Mei Yue yang kini seperti tenggelam dalam tidur panjang, seolah waktu telah berhenti. Namun, ia tahu—ini bukanlah tidur. Ini adalah akhir dari segalanya, atau mungkin hanya awal dari sesuatu yang lebih besar, lebih gelap. Langit malam di atas mereka tak menunjukkan tanda-tanda kedamaian. Angin dingin bertiup kencang, seperti menangis bersama Li Feng. Sekeli
Langit memerah. Fajar menembus kabut tipis di lembah Wanshou. Di ujung tebing batu, tempat sunyi yang dahulu menjadi tanah pelatihan terakhir almarhum Guru Mo Jing, berdiri seorang pria dalam diam—Li Feng. Tubuhnya diam, tapi dadanya bergemuruh. “Kau mewarisi lebih dari sekadar jurus,” kata-kata terakhir sang guru terus menggema di benaknya. “Kau... mewarisi semangat.” Angin berembus pelan. Namun setiap tiupan seolah membawa bisikan masa lalu. Suara langkah kaki para murid yang telah tiada. Seruan tawa Mei Yue saat dulu mereka berlatih bersama. Tangisan senyap dari dirinya yang tak sanggup menyelamatkan mereka semua. “Maaf...” bisiknya lirih. “Aku terlalu lambat... terlalu lemah...” Tapi di balik suaranya yang pecah, ada bara yang tak padam. Dari balik kabut, suara langkah mendekat. Pelan. Tapi pasti. Seorang anak muda muncul. Bocah remaja berusia tak lebih dari lima belas tahun. Paka
Hening. Begitu heningnya ruang refleksi itu, hingga napas Li Feng sendiri terdengar seperti lolongan jiwa-jiwa terbuang. Di hadapannya, Mei Yue duduk lemah bersimpuh, dirantai oleh cahaya yang bukan berasal dari dunia ini. Rantai itu berkilauan bagai air, namun beratnya melebihi beban seribu kutukan. Cermin-cermin di sekeliling memantulkan bayangan luka—setiap dosa, setiap kegagalan, setiap keputusan yang pernah mereka sesali. “Li Feng…” suara itu lirih, retak, nyaris tak terdengar. Tapi bagi Li Feng, suara itu lebih nyaring dari guntur di langit. “Aku tak bisa keluar… kecuali kau membunuhku.” “Apa…?” Li Feng bergetar. Tangannya mencengkeram sarung pedangnya, lalu lepas lagi. Kakinya goyah. “Jangan… jangan katakan begitu.” Mei Yue tersenyum. Tipis. Pahit. “Kau tahu aku tak bohong. Ruang ini… ini bukan sekadar penjara. Ini adalah hukuman. Aku melihat semuanya, Li Feng. Setiap hari. Aku melihat kematianku berulang. Aku meliha
Pantulan yang Terlupakan Langkah kaki mereka bergema pelan di lorong batu yang lembab, membelah keheningan pekat di ruang bawah tanah Istana Giok Tua. Dinding di sekeliling ditumbuhi lumut, dan hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Tidak ada nyala obor, tidak ada cahaya bulan, namun entah mengapa Li Feng dapat melihat jalannya dengan jelas—seolah-olah kegelapan itu sendiri memberi ruang baginya untuk lewat. Ling’er mengekor di belakang, napasnya bergetar halus, penuh kekhawatiran. “Feng-ge… kau yakin ini tempatnya?” Li Feng tidak menjawab. Matanya tertumbuk pada sesuatu di ujung ruangan—sebuah cermin perak raksasa berdiri tegak, dikelilingi oleh kabut hitam yang terus berputar seperti asap dari api yang tak padam. Permukaannya tak memantulkan apa pun, hanya kekosongan. Begitu kakinya melangkah lebih dekat, kabut menyusut. Suasana berubah. Bukan hanya dingin yang menyentuh kulitnya—tetapi juga rasa sesak, seperti ada tangan
“Mei Yue…?” Suara itu nyaris tercekat di tenggorokan Li Feng saat ia menatap sosok di hadapannya. Matanya menyipit, mencoba mengusir keraguan yang menggumpal seperti kabut dingin di dalam hatinya. Di ujung arena Api dan Salju itu, berdiri seorang perempuan dengan gaun putih robek yang tampak melambai-lambai ditiup angin dingin. Rambut panjangnya basah dan kusut, menempel di wajah pucatnya. Tapi… mata itu… tatapan itu… Ah! “Itu kau… atau bukan?” gumam Li Feng, satu langkah maju. Tapi langkahnya goyah. Nafasnya terengah, tubuhnya masih bergetar karena suhu ekstrem arena yang telah ia lewati. Tapi bukan itu yang membuatnya ragu. Itu tatapan yang tidak wajar. Terlalu tenang. Terlalu… kosong. “Li Feng…” ucap sosok itu. Suaranya lembut, seperti bisikan di malam yang sunyi. “Kau datang juga…” Brak! Jantung Li Feng seperti dilempar keluar dari dadanya. “Tidak… Kau bukan dia!” serunya tiba-tiba. Ia mencabut Pedang Nag
Li Feng melangkah ke dalam arena yang dikenal sebagai "Api dan Salju", tempat ujian terakhir sebelum mencapai gerbang kultus Pedang Kegelapan. Di sekelilingnya, dinding-dinding es menjulang tinggi, memantulkan cahaya merah dari lava yang mengalir di bawah lantai kristal transparan. Setiap langkahnya terasa seperti menapaki batas antara kehidupan dan kematian. "Huh... tempat ini benar-benar menguji batas tubuh dan jiwa," gumam Li Feng sambil menahan rasa panas dan dingin yang menyerang bersamaan. Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara tawa yang familiar namun mengerikan. "Li Feng... akhirnya kau sampai juga," suara itu bergema, disertai kemunculan sosok Mei Yue dalam wujud iblis. Matanya menyala merah, dan aura kegelapan menyelimuti tubuhnya. "Mei Yue? Tidak... ini pasti ilusi!" teriak Li Feng, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun, sosok itu mendekat, mengulurkan tangan dengan lembut. "Datanglah padaku, Li F
Li Feng menatap ke dalam lembah yang diselimuti kabut kelabu. Udara di sekitarnya terasa berat, seolah dipenuhi oleh bisikan-bisikan yang tak kasat mata. Setiap langkah yang diambilnya menggema, menciptakan irama yang menyeramkan di antara keheningan. "Hati-hati, Li Feng," bisik Mei Yue yang berjalan di sampingnya. "Tempat ini bukanlah dunia yang kita kenal." Li Feng mengangguk, matanya tetap fokus menatap ke depan. Mereka telah melewati banyak rintangan untuk mencapai tempat ini, dan kini mereka berada di ambang kebenaran yang selama ini tersembunyi. Kabut yang Menyesatkan Kabut di lembah semakin tebal, menyelimuti segala sesuatu dalam bayangan abu-abu. Li Feng merasakan hawa dingin merayap di kulitnya, menusuk hingga ke tulang. Suara-suara aneh mulai terdengar, seperti bisikan yang memanggil-manggil namanya. "Li Feng..." Ia berhenti sejenak, mencoba mencari sumber suara terse
Langit di atas Kota Perbatasan Luoying berwarna kelabu pekat, seperti pertanda duka yang belum usai. Angin utara membawa aroma besi dan darah, menggulung debu dan bisikan tak kasatmata. Li Feng berdiri di atas gerbang kayu kota, memandangi gulungan surat yang diikat dengan benang merah—warna darah. "Hah... ini bukan sekadar tantangan," gumamnya, suara serak seakan tertahan dalam kerongkongan. Di tangannya, cap hitam berbentuk naga berbalut duri menandai pengirimnya: Penerus Pedang Kegelapan. Mei Yue berdiri di sampingnya, gaun putihnya berkibar diterpa angin. “Kalau kau pergi... kau tahu konsekuensinya, kan?” bisiknya pelan. Li Feng tidak menjawab. Matanya memandangi jauh ke utara, ke arah Pegunungan Hitam yang diselimuti kabut keabadian. Di balik puncak-puncak beku itulah kultus baru Shen Lu bangkit. Dan dari sanalah undangan darah itu dikirim, bersamaan dengan ancaman yang membakar seluruh penjuru negeri. "Kita tak bisa m