Seorang pendekar akan hadir dalam dunia dimana keangkaramurkaan merajalela. Jaka Warangan seorang pemuda yang berasal dari tanah pasundan. akan mengarungi kerasnya dunia persilatan. Cerita ini hanya fiktif belaka. bila ada persamaan nama dan tempat, itu bukanlah kesengajaan.
View MoreSeorang pemuda dengan pakaian pendekar berwarna hitam sedang menikmati sore hari sambil berjalan kaki dengan menghisap rokok kaung.
Rambutnya yang panjang riap-riapan terhembus angin sore. Kulitnya coklat dengan wajah yang tampan tapi rada aneh karena gayanya yang mirip bocah. Persis di pinggir sungai yang jernih memang ada jalan setapak yang di samping nya pun terdapat taman dengan bunga berwarna-warni. Sementara di seberang sungai terdapat pepohonan yang menjulang tinggi. Dengan santai pemuda itu berjalan dan menghisap rokok sambil bernyanyi riang. Selagi ia asyik bernyanyi. Tiba-tiba di depan nya tampak ular bandotan sawah yang sangat beracun keluar dari semak belukar dan meliuk-liuk menuju sungai. "Ahaaa...halo teman. Kau mau kemana...?" Anehnya pemuda itu bukannya menjauh tapi malah menghampiri dan gila nya lagi menangkapnya "happp..." Tanpa ragu ia pun menangkap ekor ular itu. Jelas saja ular itu berontak dan langsung menggigit tangan pemuda. Tapi pemuda itu malah mengelus-elus kepala ular yang sedang mengigit. "Oh sayanggg terus..teruss ohh mantap. haha Yah lumayan lah nemu bandotan. Mungkin nanti di depan nemu king cobra. Hehhee..." Setelah beberapa lama ular itu pun melepaskan gigitan nya. Lalu pemuda itu melepaskan nya dan kembali berjalan riang gembira sambil menghisap rokok kawung. Setelah melewati sebuah tikungan, kembali pemuda itu melihat semak belukar di pinggir jalan bergoyang. Ia pun tersenyum. "Nah kali ini mungkin king cobra..hehe..." Namun ia terkejut karena yang keluar ternyata seorang kakek yang berwajah sangar dan berbulu lebat di sekujur tubuhnya. "Aihh...kaget aku. Aku pikir ular bandotan..ternyata bandot beneran.." Kelakar sang pemuda "Heyyy apa katamu?? Coba kau ulangi lagi anak muda??" Si kakek pun tersinggung dan memelototi pemuda itu "Ohh maaf kek..aku tak sengaja mengatakannya. Habis kakek juga sih yang ngagetin aku.." "Lancang mulutmu anak muda. Apa kau tak tahu siapa aku hah..!!??" Kakek itu membentak yang membuat pemuda itu kembali terkejut. "Eh iya eh ngga..eh iyaa eh aduh..kakek ngagetin aku lagi. Tak usah galak-galak lah kek. Aku tak tahu siapa kakek. Tapi kau memang mirip sama bandot..ehh keceplosan lagi dah.." "Pemuda laknat. Mulut kau memang harus di bungkam. Tapi dengar ini. Aku memang sedang mencarimu anak muda. Bukankah kau yang bernama jaka warangan..?" Tanya sang kakek sambil bertolak pinggang dan mengacungkan telunjuknya ke arah si pemuda. "Aha...ternyata kakek adalah salah satu penggemarku. Tapi maaf kek. Aku sedang terburu-buru. Maaf aku tak bisa kasih tanda tangan.." "Bangsat kurang ajar. Kau tak tahu tinggi nya langit dan dalam nya lautan, hah?.." "Ya mana ku tahu kek. Aku belum pernah ngukur itu semua. Kurang kerjaan amat begituan pake di ukur-ukur.." mendengar itu kakek pun makin emosi. "Baik...aku adalah Warok Druga dari hutan alas roban. Aku ingin menuntut balas atas kematian anak buahku. Bersiaplah...hiyaaaa..." Warok druga langsung menerjang dengan tendangan lurus kedepan. Tapi dengan mudah jaka warangan menghindarinya. "Eitss...wussss". Tendangan itu lewat persis di depan muka jaka. Sementara si kakek yang kesal karena tendangan nya luput. Langsung menerjang kembali dengan telapak tangan nya yang membabat ke sekujur tubuh jaka warangan. Namun sekali lagi kakek itu dibuat kaget oleh gerakan jaka yang meliuk-liuk bagai ular menghindari serangan sang kakek. Dan dikala kakek itu lengah karena tertegun dengan gerakan jaka yang lincah. Maka jaka pun dengan sigap melepaskan tinjunya lurus ke depan dan tepat melesak di dada sang kakek. "Bugg...akhhh.." Sang kakek pun melotot kesakitan dan tersurut ke belakang sambil memegangi dada nya. "Bangsat kau anak muda. Ternyata jurus belut putih mu boleh juga". "Hehehe. Kau salah kek. Ini jurus ular lanang sapi melilit bumi menampar awan dan meninju langit.." Kakek itu pun mengerutkan keningnya keheranan. "Jurus macam apa itu hah..??" "Ya pokoknya jurus lah. Emang kenapa? Suka-suka ku lah menamakan jurus ku.." Jawab Si pemuda sambil menyunggingkan bibirnya "Pemuda sinting...baiklah kau boleh bangga dengan jurus mu itu. Tapi sebentar lagi kau akan mampus..happp". Kakek itu pun tiba-tiba duduk bersila. lalu ia menyilangkan tangan nya dan membaca mantra. Tak lama kemudian telapak kaki jaka warangan secara tiba-tiba telah mendarat di mukanya. "Buggg..huachhh..." Karuan aja Sang kakek kaget dan terguling di tanah. Lalu mengumpat-ngumpat. "Pemuda kurang ajar. Kenapa kau tiba-tiba menyerangku...? Aku belum selesai membaca mantra.." Ujar sang kakek sambil.memegangi dadanya yang kesakitan "Ohh ku pikir tadi kakek sudah kelar. Jadi aku harus menunggumu selesai membaca mantra gitu??..baiklah silakan kek. Maafkan seranganku tadi hehehehe.." Maka warok druga pun kembali bersila dan membaca mantra. Tak lama tangan nya menghitam dan mengeluarkan asap. "Widihh ada asep nya.. keren kek. Gimana caranya itu kek bisa berasep gitu..??" "Dasar kau pemuda gila. Terimalah jurus bara geni ku ini. Hiyaaaa..." Kakek itu pun berkelebat menyerang jaka dengan telapak tangannya yang menghitam dan berasap. Jaka yang paham bahwa serangan itu mengandung tenaga dalam yang tinggi bertindak cepat meningkatkan jurus ular lanang sapi nya menjadi jurus kobra hijau yang juga memiliki tak hanya kecepatan yang tinggi. Namun juga mengandung racun yang dahsyat. Lengan jaka tiba-tiba menghijau dan langsung menangkis serangan kakek itu. Maka pertempuran pun semakin sengit. Asap putih berkelebat di sekeliling jaka warangan akibat dari terjangan jurus bara geni sang kakek. Pukulan sang kakek menimbul kan bara api di tiap benturan. Sementara jaka yang terus menangkis serangan sang kakek mulai merasakan panas di lengan nya akibat benturan-benturan. Namun sang kakek pun juga mulai menyeringai kesakitan akibat racun yang mulai menjalar di urat-urat tangan nya. Namun mereka terus begelut sengit. Melompat dan menerkam. Berguling lalu menendang. Lalu saling beradu pukulan. 'Bag bug bag bug" Debu dan angin pun bertebaran karena pertarungan yang sengit itu. Dan tubuh mereka terlihat bagai bayang-bayang saja karena sangking cepatnya gerakan mereka. Namun dalam satu benturan. Karena Mulai terdesak, terpaksa jaka warangan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkis pukulan sang kakek. "Bugggg..." Sang kakek pun terpental jauh kebelakang lalu berguling-guling dan akhirnya terjengkang di tanah. Ia mencoba bangkit namun jatuh kembali. Kini tubuh sang kakek telah diliputi oleh racun dan berwarna kehijauan. Tangkisan-tangkisan jaka warangan ternyata berakibat buruk bagi sang kakek. Ia pun mengerang kesakitan karena racun yang telah menjalar di sekujur tubuhnya. Sang kakek pun tiba-tiba menggelepar dan menggelinjang sesaat. Namun tak lama kemudian tubuh itu pun melemas dan diam tak bernyawa lagiLangit Mandira menjadi gelap tak wajar. Bukan karena malam, tapi karena sesuatu yang lebih tua dari malam itu sendiri. Di ujung cakrawala, awan membentuk pusaran kelam. Cahaya petir menyambar tanpa suara. Di barak Pengawal Dalam, Raja Mandira menatap peta yang kini berubah warna. Jalur ke Gunung Sepuh menghitam. Tinta pada kertas menetes sendiri, seperti luka yang mengalirkan darah. > “Gerbangnya terbuka...” bisik Raja. Panglima Adikara berdiri gelisah di belakangnya. > “Paduka, pasukan siap digerakkan. Tapi kabut yang datang... menghapus jejak.” > “Kita terlambat,” jawab sang Raja. “Satu-satunya harapan kita… adalah Warangan.” --- Di kaki Gunung Sepuh, Jaka dan rombongan membangun perlindungan darurat bagi anak-anak korban ritual. Kabut tipis terus menyelimuti tanah, dan hawa menjadi dingin seperti habis hujan padahal langit kering. Putri Lintang duduk di samping api kecil, menggenggam tangan seorang anak perempuan yang masih gemetar. > “Namamu siapa?” > “Nira,” b
Kabut pagi menyelimuti tepian Sungai Rengganis, tempat Jaka Warangan dan rombongannya mendirikan kemah darurat. Api unggun telah padam, menyisakan bara merah yang nyaris mati. Burung-burung rawa belum bernyanyi, seakan tahu dunia sedang tak tenang. Jaka berdiri di tepi air, mencuci wajah. Di balik aliran sungai, bayangan perbukitan Gunung Sepuh menjulang pucat. Tempat itu kini menjadi petunjuk yang harus mereka kejar. Putri Lintang muncul dari balik pohon, mengenakan pakaian rakyat biasa. Rambutnya dikepang seadanya. Tak ada lagi sanggul atau perhiasan. Tapi matanya masih menyala—bukan dengan kebangsawanan, tapi tekad. > “Aku sudah siap,” katanya pelan. Jaka menatapnya sebentar. Tak ada yang diucapkan, tapi pandangan itu cukup. Mereka saling percaya. Dan itu lebih penting dari segala sumpah. --- Di sisi lain, Tarno memeriksa tali pelana kuda sewaan mereka. Ia bersiul kecil, tapi sorot matanya gelisah. > “Kang,” gumamnya ke Sura, “kalau ketahuan kita bawa Putri, kita bisa dicap
Langit Mandira menyambut Jaka Warangan dengan awan kelabu. Gerbang utama istana terbuka perlahan, diiringi suara genderang kecil dari penjaga kehormatan. Tapi tak ada perayaan, tak ada senyum.Karena yang ia bawa… bukan kemenangan, melainkan tuduhan.Sura dan Tarno menyusul di belakang, berdebat soal nasi bungkus yang katanya dicuri penjaga gudang. Tapi Jaka hanya diam. Langkahnya ringan, tapi pikirannya berat.---Di dalam Balairung Wiyata, tempat para penasihat kerajaan berkumpul, suasana terasa panas. Pangeran Wirabasa duduk dengan tenang, memainkan cincin emas di jarinya. Di sampingnya, Putri Lintang menunduk dalam. Ratu Ayu tak hadir—konon sedang sakit karena kabut mimpi dari arah selatan.> “Jaka Warangan,” ujar Raja Mandira, suaranya berat. “Apa yang kau temukan di Langgasari?”Jaka meletakkan sehelai kain bersimbol darah di atas meja batu.Semua menahan napas.> “Aku menemukan pengkhianatan. Tapi bukan dari Langgasari… dari dalam.”> “Kau menuduh siapa?” tanya sang Raja.Jaka
Tiga hari setelah Festival Pendekar berakhir, Istana Langit Timur kembali sunyi. Namun pagi itu, langit berubah kelabu. Seekor burung hitam raksasa—Rajawali Gelap dari Kerajaan Langgasari—mendarat di pelataran istana, membawa dua orang bertudung ungu.Mereka adalah utusan khusus dari Raja Langgasari, kerajaan di utara yang selama ini bersikap netral, namun terkenal dengan siasat politik dan kekuatan mata-mata.> “Kami datang membawa undangan pertemuan rahasia,” kata salah satu utusan. Suaranya berat, matanya tajam seperti menyimpan racun.> “Dan kami minta satu orang saja untuk datang mewakili Kerajaan Mandira: Jaka Warangan.”---Raja Mandira terdiam lama saat menerima berita itu. Para penasihat protes. Bahkan Panglima Agung menolak keras.> “Itu jebakan! Kita tidak tahu siapa mereka sebenarnya!”Namun Putri Lintang berdiri, menatap ayahnya.> “Kalau mereka ingin bicara dengan Jaka… maka biarlah ia yang memutuskan. Bukan kita.”Jaka hanya mengangguk.> “Aku akan pergi. Tapi aku tak a
Fajar menyapu langit dengan warna emas pucat ketika genderang istana mulai ditabuh. Turnamen Cahaya Timur—ajang silat tertua antar perguruan di seluruh negeri—resmi dimulai. Kali ini, bukan hanya kehormatan yang dipertaruhkan, tapi juga aliansi politik dan takhta masa depan.Jaka Warangan berdiri di barisan peserta, mengenakan pakaian hitam sederhana, tak membawa lambang perguruan manapun. Di sebelahnya, Sura dan Tarno bersandar di pagar kayu, tak ikut bertanding, tapi ikut berjaga.> “Kau yakin ikut ini, Kang?” tanya Sura. “Pendekar dari segala arah datang. Ada yang pernah melawan harimau, ada yang katanya bisa membelah batu pakai suara.”> “Justru itu. Aku ingin tahu… apakah dunia masih sekejam dulu, atau sudah lebih adil untuk orang-orang seperti kita,” jawab Jaka tenang.---Turnamen dimulai.Babak penyisihan berlangsung cepat. Pendekar-pendekar saling menunjukkan teknik khas: jurus kipas sakti, pukulan halilintar, langkah kabut, bahkan gaya bertarung dari barat yang mirip tari pe
Langit di atas Kerajaan Mandira mulai cerah, tapi angin tetap dingin membawa kabar buruk dari timur. Di pelataran batu istana, Jaka Warangan berdiri di antara para pengawal. Jubahnya sudah berganti—bukan lagi gelap dan penuh luka, melainkan jubah biru laut dengan motif awan perak.Sura dan Tarno, kini berpakaian seperti ksatria istana, berdiri di sampingnya. Tarno bahkan mengenakan ikat kepala baru bertuliskan “ANTI SETAN”, hasil kreativitasnya sendiri.> “Kakang, kita sekarang jadi orang penting ya?” bisik Tarno sambil menyikut Sura.> “Iya, penting buat bersih-bersih kalau disuruh,” sahut Sura datar.Tapi suasana berubah saat seorang wanita turun dari tandu istana—anggun, berselendang merah muda, dan membawa tongkat bergagang kristal.Dialah Putri Lintang Madura, anak Raja Mandira yang dikabarkan memiliki ilmu membaca mimpi dan pengendali hujan. Dan begitu matanya bertemu dengan Jaka…> “Jadi… ini dia, pendekar yang katanya bisa mengusir kutukan langit?” katanya dengan senyum tipis.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments