Perkenalkan, namaku Mira. Tepatnya, Amira Larasati. Wanita cantik berkarir cemerlang seketika harus redup karena nasib jadi istri kedua. Mba Sinta adalah istri pertama Mas Lengga. Cantik …, cerdas …, tapi angkuh menurutku. Beberapa tahun yang lalu, aku adalah sahabat kecil Mas Lengga. Pernikahan ini terjadi ketika aku bekerja menjadi sekretaris di kantornya. Karena seringnya bersama, akhirnya ada rasa diantara kami berdua, rasa itu semakin hari semakin kuat dan berubah menjadi cinta. Aku tahu, Mas Lengga sudah menikah dan memiliki istri serta anak laki-laki yang tampan. Tapi perasaan cinta yang aku miliki dapat mengalahkan segalanya. Suatu kejutan ketika sahabat masa kecil mengajak untuk melangkah ke pelaminan.
"Aku nyaman sama kamu, Mir …" kata Mas Lengga saat itu."Aku juga nyaman sama, Mas." ucapku kala itu. Indah memang ketika mengingatnya. Kedekatan aku dengannya, membuat banyak staf kantor bergunjing sepanjang hari. Masa bodo dengan semua itu. Sungguh, aku tidak peduli. Hampir semua orang menggunjing kalau akulah yang menggoda Mas Lengga. Sebenarnya tidak juga begitu, aku tidak menggoda, hanya saja, mencari perhatiaannya, bagaimana caranya? Tentunya memperlakukannya dengan lembut, manis, selalu tersenyum, dan berpenampilan cantik tentunya. Satu lagi, laki-laki sangat suka kalau dimengerti, aku berusaha mengerti tentangnya, mencoba membuatnya merasa nyaman, hingga akhirnya diapun tidak sungkan berbagi masalah rumah tangga denganku. Disitu, lubang kecil untuk dapat menyusup ke dalam hati Mas Lengga.
Huhuhu …. betul saja, Mas Lengga menaruh hati padaku. Mulus, usahaku berjalan dengan lancar. Dan satu hal yang semakin membuat diri ini semakin percaya diri, kecantikanku setara dengan istrinya, jelas dong aku mampu tersenyum puas. Setelah menjalin hubungan terlarang dengan suami orang, semakin lama aku meras jenuh, masa iya setiap mau bertemu atau sekedar berjalan harus mengumpat dan sembunyi-sembunyi, jelas tidak bisa terus seperti ini. Sebagai seorang wanita, berhak dong meminta kejelasan hubungan. Tanpa berfikir panjang aku meminta Mas Lengga menikahiku dan dia menyetujui.
Gerak cepat dan sigap, sepulang dari kantor, Mas Lengga membawaku bertemu istrinya. Yuhu … betapa senangnya diriku. Beberapa rekan ada yang sudah tahu kalau aku akan menikah dengan atasan mereka. Sumpah serapah dari setaf nyinyir menghujam jantung, oh … aku tak peduli.
Sampai di rumah Mas Lengga, awalnya aku disambut manis oleh istrinya. Namun, setelah Mas Lengga memperkenalkanku dan mengutarakan maksud serta niatnya, wajah orang yang menyebut namanya Sinta, berubah menjadi masam seperti buah kedondong mentah, bayangkan, betapa kecut rasanya. Tidak ada protes dari Mba Sinta. Dia bilang, dari pada kami berzinah, lebih baik menikah. Lagi dan lagi lampu hijau …. 'ckckck aku tertawa puas'
"Tunggu … aku memberikan dua syarat pernikahan," pintanya saat itu.
"Apa itu?" tanya Mas Lengga.
"Mira harus berhenti bekerja dan tinggal di rumah ini, itu syarat pertama."
"Dan yang kedua?" tanya Mas Lengga lagi.
"Tidak ada pembantu di rumah ini, dan aku akan memulai karirku kembali seperti dulu. Bagaimana? Setuju?" jawab Mba Sinta memberi pilihan. Mas Lengga menatap ke arahku, aku yang sudah siap mengangguk mantap. Tapi apa maksudnya tidak ada pembantu di rumah sebesar ini. Oh, mungkin Mba Sinta akan bekerja sama denganku. Tidak masalah, justru enak ungkang-ungkang kaki shoping menghabiskan uang suami.
***Pernikahan di laksanakan sederhana hanya di hadiri beberapa rekan dan keluarga. Keluargaku awalnya menolak, tapi setelah dijelaskan mereka menyetujui. Mba Sinta tidak hadir di pernikahan kami. Padahl Mas Lengga menunggu kehadirannya. Revan juga tidak nampak di acara, hanya ada rekan, keluarga besar Mas Lengga, dan keluargaku. Awalnya Ibu Mas Lengga juga menolak, tapi akhirnya dia pasrah dengan keputusan anak emasnya. Iyalah anak emas, dia penghasil puing-puing rupiah. Revan itu anak tiriku.****
Setelah acara pernikahan usai, baru Mba Sinta dan Revan keluar dari kamar. Menghampiri kami dan mengucapkan selamat. Setelah sebulan pernikahan, baru terasa tidak ada pembantu yang dimaksud Mba Sinta, huft lemes deh aku, apes … apes …****
"Mira … ngapain kamu bengong?" Suara lantang Mba Sinta membuyarkan lamunanku. Ternyata Nyonya sudah kembali dari pekerjaannya.
"Eh iya, Mba. Baru pulang?" tanyaku sok manis, tapi hati Ingin melemparnya menggunakan lap meja yang kupegang.
"Nah kamu lihatnya gimana? Pake nanya!" jawabnya lantang sambut berlalu ke kamarnya. Dasar malas! Sepatu saja tidak di masukan langsung ke rak, masa iya pekerjaan seringan ini juga harus aku yang melakukannya. Dasar keterlaluan.
Awas saja kamu Mba, aku balas nanti. Biar sekarang aku mengalah terlebih dahulu. Wah dikasih hati minta jantung sepertinya mengajak untuk peperangan sengit. Mari kita mainkan game kita Mba. Siapa yang akan menang. Masa iya hidupku harus berakhir menjadi babu di tempat Kaka maduku. Terlalu ... awas saja nanti.
"Mira! Sepatu saya mana?" tanya Mba Sinta keluar dari kamarnya."Mau Mira ambilin, Mba?" tanyaku berbasa basi. Harapannya Mba Sinta ambil sendiri."Boleh, tolong ya, Mir," pintanya."Eh, Iya, Mba." Dengan berat hati aku mengambil sepatunya. Udah persis babu beneran. "Mba Sinta mau pergi?" tanyaku sambil memberikan sepatunya. "Kelihatannya gimana? Emang kamu gak bisa lihat?" jawabnya ketus. Nyebelin banget si. Lagian aku juga cuma basa-basi. Uh, ingin sekali kuberi racun."Mau kemana kamu, Sinta?" tanya Mas Lengga yang baru saja pulang kantor. "Bukan urusan kamu! Awas deh aku mau ketemu teman," ketusnya pada Mas Lengga. 'ckckckck sukurin kamu, Mas. Emang enak di ketusin'"Ngapain cengengesan?" Mas Lengga terlihat merah padam."Seneng aja." Aku mulai berlendot di bahunya yang kekar."Iya, kenapa?""Gak apa-apa. Ayo kita makan udah kusiapkan makanan favoritnya.****"Mas … pindah yuk," rengekku manja."Lho, kenapa?" "Ya aku capek tinggal di sini. Mana enggak ada pembantu. Masa iya ak
Semalaman bergadang membuat badan lemas dan mata menjadi ngantuk. Gini amat si nasib gue. Udah persis babu. Sialan emang si Sintahe. Lagian Mas Lengga jadi suami kenapa mesti lembek coba. Dia itu kan yang punya kuasa di rumah ini, tapi kenapa harus takluk sama Sintahe. Tidak bisa dibiarkan kalau seperti ini. Tidak adil namanya.*****"Mira tolong setrikain baju saya." Mba Sinta melemparkan sekranjang pakaian lalu meninggalkannya begitu saja. Apa-apaan ini, enak saja dia mau menjadi nyonya di rumah ini. Aku yang gemas menarik kencang pergelangan tangannya sebelum dia pergi. "Mba! Tunggu! Maksudnya apa seperti ini?" kesalku padanya. "Kamu tuli? buta? Atau bodoh? Aku nyuruh kamu nyetrikain pakaianku. Kalau tidak kamu kerjakan, jatah bulanan kamu dari Lengga akan saya kurangi! Ngerti! Enak saja kamu masuk ke rumah tangga saya ketika kehidupan kami sudah jauh dari kata miskin! Kamu itu sahabat Lengga kan? Lalu kenapa kau menggodanya di saat Lengga sudah sukses dan memiliki istri serta an
Allhamdullillah …. Mba Sinta beneran pergi. Hatiku gembira riang tak terkira, mendengar berita, kabar nan bahagia. Mba Sinta kan pergi … jangan pernah kembali,,,, eh salah nyanyinya. Lupa lirik wajar, maaf ya sang pencipta lagu boneka India, Mira gak sengaja sangking seneng Mba Sinta mau ke Irlandia, eh salah, ke Bali maksudnya.**** "Mir … saya pergi dulu. Jaga Revan! Yang bener jangan macem-macem," pamitnya sambil membawa koper. "Kan Revan udah gede, Mba. Masa di jagain?" protesku. Mba Sinta tidak menjawab lagi, dia segera pergi.Yuhuuuuuuuuuu …. yes … yes …."Kenapa kamu kaya belatung nangka begitu?" Mas Lengga, kalau ngomong gak ada saringannya. "Mas … Mba Sinta ke Bali …." "Udah tahu! Aku juga mau ke Balik papan seminggu." "Serius, Mas? Ikut ya, please." Aku memohon."Gak usah, mau ngapain ikut-ikut segala! Suami mau cari duit juga!" tolaknya mentah-mentah."Mas, tapi inget, kalau digoda sekretaris, Mas cuekin aja, ya." Wanti-wanti lebih baik. Nanti dia diambil orang repot.
Setelah pulang dari salon, rasanya badan lumayan lebih enak, wajah sedikit terasa lebih kencang. Ya ampun, nikmat sekali rasanya. Baru terasa setelah pernikahan, ternyata tidak seindah waktu menjadi selingkuhan. Kukira Mba Sinta akan ninggalin Mas Lengga, tapi masih bertahan. Hem …. Entahlah, sampai kapan aku terus seperti ini, rasanya batin juga sudah tidak kuat. Bagaimana kalau Ayah dan Ibu tahu nasib anak perempuannya? 'Bu, hidup Mira di sini tidaklah seindah dalam angan.' Ini sebenarnya gara-gara Mas Lengga yang lembek ngadepin Mba Sinta. Pergerakanku tidak sebebas dulu, semua di bawah kendali Mba Sinta. Mira capek di sini, Bu. Tapi Mira takut ngelawan Mba Sinta. Mira juga malu cerita sama Ibu, Ibu pernah menentang pernikahan ini, tapi Mira tetap bersikeras. *****"Cantik-cantik kok jadi pelakor!" Aku teringat ucapan Bu Inem. Pelakor, perebut laki orang. Perasaan aku bukan pelakor, aku kan gak ngerebut Mas Lengga dari Mba Sinta. Pusing ih, mikirin kata-kata pelakor. Pesan masu
"Jurus jitu melawan pelakor supaya tidak kurang ajar ya memang kitanya harus tegas." Aku membahas seputaran tentang pelakor bersama Maya temanku. Dia baru saja mengalami apa yang aku alami, hanya saja Maya tidak sekuat aku, bodohnya dia malah langsung menyerahkan suaminya. "Sekarang Pelakor memang sedang merajarela, seperti sudah tidak ada pria single saja," ucap Ratna."Sebenarnya, ini semua tergantung mereka, mampu menahan hawa nafsu atau tidak. Tapi biarkan saja, aku tidak sebodoh itu menerima Mira. Setelah puas menjadikan babu, cepat atau lambat, semua surat-surat penting akan kuganti menjadi namaku. Kemudian, aku akan meminta cerai dari Lengga. Biar …. Jika sudah seperti ini, aku akan membuat mereka hancur, sehancurnya. Bermain cantik, butuh taktik," ungkapku pada kedua sahabatku."Gila! Sadis lu, Sint!" Ratna berucap sambil menengok ke arah Maya. "Laki-laki, jika sudah berani berselingkuh di belakang kita, tidak menutup kemungkinan dia akan mengulangi lagi. Selingkuh itu penya
Huaaaaaa … capek! Hik hik hik …. Tubuhku terkulai lemah akibat kelelahan, Mba Sinta kurang ajar! Aku terus berteriak memaki namanya. Capek, Mak! Lelah, capek, huuuaaaaaaaa! Awas lo, Mba! Aku siapkan racun besok! Dasar Sintahe! Gila! Gila! Gila! Sumpah aku gak kuat. ***Kebetulan Revan lewat mau kemana dia. "Revan! Kamu mau kemana?!" triaku beraharap anak tiriku mau menghampiri dan merasa iba."Ke rumah Nenek, Tan …." "Tolongin dong, bantuin Tante jemur korden yuk," pintaku dengan wajah penuh harap."Enggak ah, Tant, males. Tante kerjain sendiri aja, bye," jawabnya sambil berlalu mengabaikanku. Astagfirullah, Ya Robb. Mira … sabar … Mir. ****Akhirnya, setelah berjam-jam aku bergelut dengan korden selesai juga. Gila, capek banget. Untuk menghilangkan penat, aku duduk santai di ruang tamu sambil menonton televisi. Salah satu tema di sebuah chanel menarik perhatianku. Ya, tema itu mengusung tentang sebuah karma untuk pelakor. Sedikit takut melihatnya, tapi rasa penasaran mampu mengala
Huaaa … masih ngantuk. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 10. 00 pagi. Huwwwaa … kesiangan. Bisa di gorok aku sama Mba Sinta. Mudah-mudahan dia belum kembali, bisa repot aku. Dengan berat hati bahkan sampai tidak mencuci muka, aku bergagas lari ke tempat Mang Udin si tukang sayur. Ya Allah, mudah-mudahan masih ada sayuran. ***"Enak banget ya si Mira, jam segini baru bangun tidur," cetus Bu Nuning sesampainya aku di tempat Mang Udin. Astaga … aku kira kang gosip udah pada di kandang jam segini, ternyata masih ada yang berkeliaran. "Jangan sirik Napa, sama hidup saya, Bu Nuning," sungutku sambil memilih beberapa sayur. Untung masih ada ikan bandeng sama kacang panjang. "Ih amit-amit saya sirik sama kamu, Mira. Nauzubillah Minzalik." Wah, sembarangan Bu Nuning. Emang saya sehina itu pake ucap kata nauzubillah Minzalik. "Bu Nuning, jangan terlalu pedas kalau ngomong, dijaga sedikit perasaan orang, Bu," cetusku sedikit tersinggung. "Mang buruan bungkus, mumet saya sama ucapan
Hari ini aku akan memasak makanan kesukaan Mas Lengga.Karena, hari ini dia akan pulang. Aku bangun lebih pagi takut kalau sampai Mas Lengga pulang belum ada makanan yang tersedia. Mataku seketika terbelalak melihat makanan yang aku masak kemarin tidak sama sekali tersentuh. Aku hanya bisa menggeleng kepala, mengelus dada dengan kelakuan mereka. Dengan terpaksa aku membuang semua masakanku, terkecuali nasi karena masih bagus, dan Baru tersentuh sedikit olehku.***Pagi ini Revan berangkat ke sekolah menyiapkan sarapannya sendiri, dia mulai memanggang roti tanpa menyapaku. Sedikit sapaan Tante, tidak terdengar seperti biasanya. Mungkin dia marah dengan perlakuanku kemarin. Setelah sarapan, dia melewatiku begitu saja."Ayok jalan," ucap Mba Sinta pada Revan. Tidak seperti biasa, Mba Sinta menyuruhku mengerjakan sederetan pekerjaan rumah, dia sama seperti Revan mengabaikanku begitu saja. Baguslah, memang itu yang aku inginkan. Sebentar lagi, aku akan mendepak kalian keluar dari rumah